Jumlah limbah tekstil di Indonesia meningkat dari tahun 2015 hingga 2023, seperti yang ditunjukkan pada grafik di atas. Data ini menunjukkan bahwa mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi konsumsi pakaian fast fashion sangat penting.
1. Limbah Tekstil yang Membahayakan
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 2,3 juta ton limbah tekstil dihasilkan di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah ini, hanya 0,3 juta ton yang berhasil didaur ulang. Yang lainnya mencemari sungai dan tempat pembuangan akhir. Sebagai negara yang mengekspor pakaian bekas, seperti ke Pasar Senen di Jakarta, Indonesia juga menjadi tempat pembuangan pakaian dari luar negeri. Limbah ini berasal dari pakaian fast fashion yang sering dibuang setelah dipakai, menempatkan tekanan besar pada sistem pengelolaan limbah nasional. Meskipun demikian, hanya sekitar 12% limbah tekstil yang dapat didaur ulang, sedangkan yang tersisa mencemari lingkungan.
2. Polusi Air
Bahan kimia berbahaya digunakan dalam proses pewarnaan pakaian. Sungai Citarum, yang dianggap sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia, menunjukkan konsekuensi industri tekstil Indonesia. Seringkali, limbah pewarna tekstil dibuang langsung ke sungai, yang mencemari air dan membahayakan masyarakat sekitar.
3. Eksploitasi Tenaga Kerja
Sebagian besar pekerja tekstil di Indonesia adalah perempuan yang bekerja di pabrik tekstil dengan upah minimum. Sebagai contoh, di daerah seperti Bandung, rata-rata pekerja pabrik tekstil hanya mendapatkan Rp 3 juta per bulan, sementara mereka harus bekerja selama 12 jam sehari dalam lingkungan yang tidak aman.
Solusi untuk Mengurangi Dampak Fast Fashion
Meskipun mudah dan murah, fast fashion berdampak besar pada lingkungan kerja dan kesehatan karyawan. Namun, ada beberapa cara untuk mengurangi efek buruk industri ini.