Mohon tunggu...
Ami Prayogo
Ami Prayogo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan Pendidikan Khusus, Penulis

Pegiat sosial yang suka sharing. Konsultan pendidikan luar biasa / pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Bekerja menjadi pendidik di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Cara Bertahan Hidup, Decluttering Energi Listrik di Jaman Serba Elektrik

20 Januari 2023   16:22 Diperbarui: 26 Januari 2023   17:00 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah artikel pertama dari seri cara-cara bertahan hidup untuk pekerja gaji pas-pasan. 

Jaman semakin berkembang, informasi begitu cepat, gaya hidup konsumtif dan mewah bertebaran di mana-mana melalui layar gadget multifungsi kita. 

Keinginan untuk hidup "lega" pasti juga meningkat. Sayangnya, penghasilan tidak sejalan dengan keinginan, bahkan kebutuhan. 

Sebagai makhluk Tuhan yang dianugerahi akal untuk berpikir, tentu saja kita perlu bersyukur dengan mengatur hidup kita agar dapur tetap mengepul, anak tetap sekolah, presensi kantor tidak bolong karena tidak ada biaya berangkat kerja. 

Salah satu cara bertahan hidup ialah berhemat, atau istilah keren saat ini "decluttering". Berhemat bukan berarti kikir. Berhemat berarti menggunakan seperlunya dengan bijak. 

Terlebih, kita membicarakan energi listrik. Energi yang nampaknya akan menjadi sumber mayor untuk menyokong aktifitas kehidupan manusia. Bagaimana tidak? Semua sudah serba digital. 

Mau isi ulang token listrik saja harus menunggu ada aliran listrik karena butuh sinyal. "Lagi offline, Kak!" Sering kita dengar kalau sedang beli token di "mart-mart". Apalagi, kendaraan sekarang katanya hemat energi dengan menggunakan sumber daya listrik. 

Mungkin menghasilkan dan mendapatkan daya listrik lebih mudah daripada sumber daya alam minyak bumi sehingga kendaraan ramah lingkungan berenergi listrik itu dianggap sebagai solusi. 

Sayangnya, listrik belum menyeluruh dirasakan rakyat Indonesia. Ketika Pandemi Covid-19, terjadi perubahan sistem tatap muka menjadi tatap maya. 

Listrik lagi-lagi menjadi lakon yang menunjang kesuksesan BDR (Belajar dari Rumah) dan WFH (Work from Home). Sebagai pendidik, penulis sendiri merasakan betapa repotnya ketika listrik padam. 

Kelas tidak berlangsung sesuai harapan. Jadwal jadi molor. Belum lagi mahasiswa yang tinggal di daerah luar Jawa. Listrik bisa padam sampai 2 hari. Listrik padam, sinyal juga tenggelam. 

Listrik yang sangat penting saat ini tidak gratis untuk mengaksesnya. Semua warga negara harus membayar atas semua penggunaan peralatan listrik di rumah, di kantor, di mana saja. Baik untuk keperluan pribadi, sosial, belajar, maupun karir. 

Jadi intinya, listrik ini sangat penting dan berharga untuk kehidupan manusia. Dia adalah energi yang harus didapatkan dengan mengorbankan energi yang lain yaitu uang (money is energy). 

Sayangnya, seringkali kita tidak sadar ketika menggunakan listrik itu. Ketika tiba saatnya membayar tagihan, barulah terasa sangat berat membuka dompet. 

Terdapat cara-cara menyelamatkan hidup dari tagihan listrik yang tinggi. Berikut beberapa cara yang bisa dicoba untuk kelangsungan hidup hingga gajian mendatang. 

Disklaimer, cara-cara ini adalah pengalaman pribadi dan beberapa relasi yang sama berjuang. Bisa jadi ini cocok untuk beberapa orang, tapi tidak juga untuk sebagian orang yang lain. Karena tulisan ini sangat subjektif. Tapi jika ingin mencoba, silahkan saja. 

Prinsip dasarnya ialah, "menggunakan listrik untuk memenuhi kebutuhan vital". Kebutuhan vital setiap orang pasti berbeda-beda. Tapi sederhananya, gunakan listrik untuk hal-hal yang tidak bisa digantikan perannya jika tidak dinyalakan dengan listrik. 

Pertama, nyalakan lampu di malam hari dan untuk ruangan yang dipakai saja. Kalau sedang mendung dan kebetulan rumah kurang penerangan, bolehlah nyalakan lampu. Karena akan repot kalau pakai lampu semprong. 

Kedua, cabut colokan listrik yang sudah tidak dipakai. Charger laptop dan smartphonetidak perlu terpasang 24 jam. Jika sudah tidak diperlukan, cabut saja. Lebih aman. 

Ketiga, gantikan peran peralatan elektronik dengan tenaga sendiri. Ini berlaku untuk mesin cuci, kipas angin, dan penyedot debu. Kain yang sering dicuci dengan mesin cuci itu cepat rusak. 

Lebih baik berhemat dengan mencuci dengan tangan. Sekaligus membakar kalori, latihan pernapasan, dan menguatkan otot. Begitu juga kipas angin. Jika situasi dan kondisi masih bisa diatasi dengan "kepet-kepet", tidak perlu menyalakan kipas angin. 

Penyedot debu bisa digantikan dengan mengelap permukaan benda berdebu dengan lap basah. Lagi-lagi bergerak fisik yang bisa membuat otak kita rileks dan mencegah kepikunan. 

Keempat, hindari penggunaan elektronik penyedot daya tinggi seperti ricecooker , magicom, airfryer, microwave, kompor listrik, dan dispenser. Jika tidak digunakan untuk hal produktif seperti jualan makanan, lebih baik gunakan cara manual. 

Masak nasi secara manual itu selain hemat, nasinya juga lebih sedap dan sehat. Nasi yang dihangat terus menerus menggunakan magicom juga tidak baik untuk kesehatan. 

Banyak artikel yang bisa dicari di internet terkait hal ini. Tidak perlu pakai dispenser. Rebuslah air untuk minum jika memang tinggal di daerah yang airnya bisa dikonsumsi.

Kelima, tidak perlu terbawa tren menggunakan chopper, airfryer, dan microwave. Mereka-mereka yang sering posting di social media menggunakan peralatan dapur modern untuk membuat konten. 

Belum tentu untuk konsumsi sehari-hari. Kalau untuk mengulek bawang putih saja harus pakai chopper, tagihan listrik bisa membengkak. 

Mereka saja cari tambahan (mungkin juga sumber utama) dengan menjadi content creator. Lain cerita kalau memang tidak ada masalah dengan penghasilan. 

Sah-sah saja untuk menggunakan berbagai alat dapur elektronik. Bahkan jika bukan untuk produktif. Tetapi biasanya "rich is whispering", jadi yang sungguh-sungguh hidup dengan ala sultan jarang diekspos. 

Fokus pada apa yang kita punya saja. Toh yang penting peralatan di rumah layak dan bisa digunakan untuk mengolah makanan sehat sumber energi sekeluarga. 

Keenam, kurangi penggunaan setrika. Mengurangi penggunaan setrika bisa dengan membeli pakaian dengan bahan yang tidak mudah kusut atau justru kusut adalah tekstur dasarnya. 

Atau, saat menjemur pakaian, kibas-kibaskan terlebih dahulu lalu jemur dengan cara dihanger. Setelah kering, pakaian jangan menumpuk di keranjang. Jelas-jelas tumpukan pakaian ini membuat pakaian jadi kusut dan perlu disetrika. 

Ketujuh, pikirkan lagi kalau mau memakai kompor listrik. Daya yang tinggi bisa membuat rekening listrik cepat minta diisi. 

Berdasarkan yang pernah penulis terapkan di atas, bukan berarti penulis hidup tanpa aliran listik. 

Penulis masih menggunakan listrik untuk keperluan sekeluarga sehari-hari seperti untuk penerangan, komunikasi, kulkas, laptop, pompa air. Untuk alat elektronik yang dipakai hanya sekali seminggu ada setrika dan blender. 

Dengan daya listrik 900 watt, sebulan penulis hanya mengisi ulang listrik dengan membeli token seratus ribu rupiah. 

Penulis pernah menggunakan dispenser karena anak masih bayi dan sering butuh air panas. Tagihan listrik bisa mencapai 150 ribu per bulan. Setelah tidak menggunakan dispenser, listrik hanya perlu 100 ribu perbulan. 

Atas prestasi berhemat ini, rekan-rekan kerja penulis juga ikut menerapkan dan bangga merasakan manfaatnya. Pengalaman ini sangat subjektif, sekali lagi. Pengalaman berhemat listrik seperti apakah yang pernah Anda lakukan?? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun