Ini adalah artikel pertama dari seri cara-cara bertahan hidup untuk pekerja gaji pas-pasan.Â
Jaman semakin berkembang, informasi begitu cepat, gaya hidup konsumtif dan mewah bertebaran di mana-mana melalui layar gadget multifungsi kita.Â
Keinginan untuk hidup "lega" pasti juga meningkat. Sayangnya, penghasilan tidak sejalan dengan keinginan, bahkan kebutuhan.Â
Sebagai makhluk Tuhan yang dianugerahi akal untuk berpikir, tentu saja kita perlu bersyukur dengan mengatur hidup kita agar dapur tetap mengepul, anak tetap sekolah, presensi kantor tidak bolong karena tidak ada biaya berangkat kerja.Â
Salah satu cara bertahan hidup ialah berhemat, atau istilah keren saat ini "decluttering". Berhemat bukan berarti kikir. Berhemat berarti menggunakan seperlunya dengan bijak.Â
Terlebih, kita membicarakan energi listrik. Energi yang nampaknya akan menjadi sumber mayor untuk menyokong aktifitas kehidupan manusia. Bagaimana tidak? Semua sudah serba digital.Â
Mau isi ulang token listrik saja harus menunggu ada aliran listrik karena butuh sinyal. "Lagi offline, Kak!" Sering kita dengar kalau sedang beli token di "mart-mart". Apalagi, kendaraan sekarang katanya hemat energi dengan menggunakan sumber daya listrik.Â
Mungkin menghasilkan dan mendapatkan daya listrik lebih mudah daripada sumber daya alam minyak bumi sehingga kendaraan ramah lingkungan berenergi listrik itu dianggap sebagai solusi.Â
Sayangnya, listrik belum menyeluruh dirasakan rakyat Indonesia. Ketika Pandemi Covid-19, terjadi perubahan sistem tatap muka menjadi tatap maya.Â
Listrik lagi-lagi menjadi lakon yang menunjang kesuksesan BDR (Belajar dari Rumah) dan WFH (Work from Home). Sebagai pendidik, penulis sendiri merasakan betapa repotnya ketika listrik padam.Â
Kelas tidak berlangsung sesuai harapan. Jadwal jadi molor. Belum lagi mahasiswa yang tinggal di daerah luar Jawa. Listrik bisa padam sampai 2 hari. Listrik padam, sinyal juga tenggelam.Â