Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Upacara dan Upacara Budaya

20 Agustus 2024   10:57 Diperbarui: 20 Agustus 2024   11:10 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto (Josh Sorenson,  https://www.pexels.com)

Selamat merayakan kemerdekaan negara kita tercinta.

Selamat merenda kembali harapan akan masa depan yang sejahtera sebagaimana dicita-citakan dalam konstitusi. Jangan terjebak dan putus asa dalam sengkarut politik yang menyesakkan dada demokrasi, menanarkan mata dan memekakkan telinga batin.

Meskipun, 

ketika remaja-remaja kita ceria berlomba tarik tambang, nun jauh di pucuk-pucuk kekuasaan sedang terjadi tarik ulur siapa menguasai siapa. 

Ketika anak-anak kita bergembira memanjat pinang, nun jauh di sana banyak yang sedang bersitegang memanjat pohon kekuasaan. Bahkan ketika warga ceria mengikuti atau menonton ragam gerak jalan, di balik tembok ruang-ruang publik dan mata media sedang terjadi aneka gerak pengejar kuasa mengatur barisan berderap mengejar hegemoni ekonomi atas restu pemegang hegemoni kebijakan.

Negara sudah menggelar upacara peringatan hari ulang tahun tersebut. Dari tingkat pusat sampai ke jenjang pemerintahan terendah upacara tersebut telah digelar dengan sukses dan banyak dari kita dengan sukarela ikut dalam prosesi tersebut. Meski ada yang menyorot biaya besar yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan peringatan, namun sebagai peristiwa politik dan budaya peristiwa tersebut tetap berlangsung.

Relevankah membandingkan biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh di tengah kesulitan keuangan negara, baca APBN/APBD, untuk memenuhi kebutuhan pengentasan kemiskinan, pengurangan jumlah pengangguran sampai ke penurunan angka tengkes (stunting)? 

Pertanyaan seperti di atas biasanya muncul dari mereka yang tidak menerima manfaat langsung dari peristiwa upacara. Apabila kita menelusuri antropologi kekuasaan di Nusantara, maka diperoleh jawaban bahwa biaya untuk sebuah upacara negara tidak dapat dibanding-bandingkan dengan manfaat ekonomi, khususnya dampak langsung bagi rakyat. 

Penyelenggaraan sebuah upacara adalah sebuah keniscayaan bagi kekuasaan. Bukankah dulu pernah ada lagu Ojo Dibandingke yang dinyanyikan di penghujung upacara kenegaraan kita?

Upacara yang megah adalah tradisi bagi penguasa. Terselenggaranya upacara yang semarak adalah ritual bagi pemegang tampuk kekuasaan.

Tradisi menurut Michel Foucault (Arkeologi Pengetahuan, 2012) merupakan peristiwa berulang namun bukan praktik keseharian yang biasa dilakukan secara naluriah seperti makan, minum dan sejenisnya. Disebut tradisi ketika meski dia berulang secara rutin dan berkala namun dia memiliki tampilan berbeda dengan peristiwa-peristiwa lainnya. 

Dalam bahasa Foucault, tradisi memberikan status temporal tertentu bagi sekumpulan fenomena yang datang silih berganti dan identik atau paling kurang hampir serupa.

Kalau upacara merupakan tradisi bagi kepentingan penguasa, di sisi mana upacara disebut sebagai ritual budaya?

Beberapa pakar tentang Indonesia seperti Clifford Geertz (1926 -- 2006) dan Ben Anderson (1936 -- 2015), memberikan ulasan menarik tentang relasi kekuasaan (penguasa) dengan rakyat di wilayah yang hari ini kita sebut sebagai Indonesia.

Legitimasi seorang penguasa, selain ditentukan oleh faktor genealogis (darah biru atau bukan) juga ditentukan oleh penguasaan tokoh tersebut terhadap sumber daya alam dan manusia. Gabungan sumber daya manusia dan sumber daya alam kemudian dikenal sebagai wilayah kekuasaan. 

Namun kedua hal tersebut belum cukup, seorang penguasa harus mendapatkan restu dari "langit" berupa pulung atau wahyu cakraningrat karena seorang penguasa dianggap sebagai penghubung utama antara dunia manusia dan penguasa di langit.

Seorang Ken Arok yang tidak memiliki darah biru, paling tidak menurut sebagian orang, relatif tidak mendapat kendala ketika mengambil alih kekuasaan dan kemudian mendirikan Singhasari karena yang bersangkutan dipercaya memiliki pulung tersebut dan ketika yang bersangkutan membunuh Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes, pulung yang juga ada pada diri Ken Dedes kemudian bersatu pada sosok Ken Arok.

Kembali ke ritual upacara.

Upacara dalam praktik kekuasaan kemudian berkembang dari semula merupakan domain keagamaan menjadi salah satu bentuk ekspresi atau artikulasi kekuasaan seorang raja yang telah menggenggam restu dari langit.

Melalui upacara-lah seorang raja atau penguasa menunjukkan kepada rakyat seberapa berkuasanya dia. Berapa banyak rakyat yang hadir, berapa banyak utusan wilayah taklukan yang datang membawa upeti, berapa utusan dari negara sahabat yang hadir dan seberapa megah sebuah upacara berlangsung semuanya merupakan indikator seberapa berkuasa atau berpengaruhnya seorang penguasa.

Seberapa melarat rakyat di pelosok-pelosok kekuasaan seorang raja tidak terlalu penting, karena yang penting dilihat adalah seberapa sukses dan megah sebuah upacara berlangsung. Bagaimana kalau masih ada rakyat yang ternyata tidak sejahtera? 

Dengan konsep kekuasaan yang berpusat pada panggung teater upacara, Geertz mengistilahkan negara teater, maka kegagalan seorang atau sekelompok rakyat meraih kesejahteraan sebenarnya berhubungan dengan seberapa taat seorang kepada penguasa yang merupakan representasi langit di bumi. 

Dengan kata lain yang bersangkutan tidak mendapat restu dari langit karena menolak atau membangkang terhadap kekuasaan langit yang diemban seorang raja.

Hubungan timbal balik dalam ikatan patron-klien menjadi faktor penting keberlangsungan sebuah kekuasaan. Pada sisi rakyat kepatuhan mengabdi, sementara pada sisi penguasa terdapat kebutuhan untuk menjaga kesetiaan rakyatnya. Upacara yang megah yang biasanya diiringi dengan pesta dan hiburan rakyat menjadi salah satu cara penguasa memelihara kesetiaan tersebut.

Ketidakhadiran seseorang dalam sebuah upacara, apalagi kalau yang bersangkutan dipandang representasi sekelompok rakyat atau sebuah wilayah tertentu dapat dinilai sebagai kondisi melemahnya hubungan kekuasaan di antara keduanya. 

Semakin banyak yang tidak hadir menunjukkan legitimasi yang memudar. Upacara yang dinilai dalam bingkai piker tersebut tidak hanya berlaku pada upacara kenegaraan, bahkan upacara yang sifatnya internal keluargapun akan dinilai dengan cara yang sama.

Upacara perkawinan dapat dijadikan contoh. Siapa yang diundang dan siapa yang kemudian hadir, siapa yang turut membantu penyelenggaraannya semuanya dapat dijadikan indikator kedekatan atau kerenggangan hubungan tersebut.

 Apabila kedekatan-kerenggangan diukur pada orang-orang yang setara dalam masyarakat, gambaran tersebut menunjukkan ikatan social, namun beda dalam konteks penguasa dan rakyat atau penguasa bawahan. Kehadiran-ketidakhadiran adalah ukuran hegemoni yang ujungnya adalah delegitimasi.

 

Dalam konteks kita bernegara di era modern sekarang, praktik dan cara pikir tersebut tidak serta-merta hilang. Meski pandangan modern dalam penyelenggaraan birokrasi terus-menerus dipompakan kepada rakyat, dan kepada aparatur negara, nyatanya cara berpikir tradisional tersebut masih menjadi penggerak utama penyelenggaraan administrasi pemerintahan kita.

Siapa bisa, dengan mudah, membedakan seorang kepala daerah sebagai seorang pejabat dan sebagai seorang pribadi atau kepala keluarga? Meski regulasi menjelaskan kapan seorang pejabat dinilai dalam konteks kedinasan, namun genealogis dan jejak-jejak antropologis kekuasaan menyulitkan kita untuk tidak menyebut dan memanggil dengan sebutan Pak Menteri, Ibu Gubernur, Pak Bupati bahkan Pak/Ibu Camat dalam sebuah prosesi pernikahan misalnya.

Kembali ke upacara peringatan hari kemerdekaan negara kita tercinta.

Urgensi sebuah upacara kenegaraan dalam praktiknya dapat dilihat pada dua dimensi yaitu dimensi politik kekuasaan dan dimensi bernegara. Bedakan dulu antara berpolitik dengan bernegara meski keduanya berhubungan erat. 

Bernegara adalah konsep hidup komunitas yang karenanya mengandung cita-cita dan kesepakatan bersama sedangkan politik menyangkut bagaimana cita-cita dan kesepakatan bersama tersebut dikelola dan digerakkan. Karena keduanya memiliki dimensi aksional yang berbeda, jangka panjang (masa depan) dan jangka pendek keseharian nyata, maka distorsi maupun deviasi dapat saja terjadi dengan beragam alasan pembenarnya.

Pada konteks bernegara, maka upacara hari kemerdekaan merupakan salah satu tolok ukur hubungan negara-warga/rakyat. Hubungan yang kuat akan tercermin pada gairah dan antusias mengikuti sebagian atau seluruh rangkaian-rangkainnya yang juga disepakati bersama.

Namun pada sisi lain, politik penguasa, penerimaan publik dan kehadiran dalam upacara kenegaraan dapat didaku sebagai pengakuan atas legitimasi. Bukankah dalam prosesinya, semua akan tunduk kepada protokol yang telah diatur? 

Bagi mereka yang dianggap bukan bagian (penting) dari kekuasaan, siaplah menerima kenyataan tidak menjadi bagian dari yang diharapkan hadir. Berapapun biayanya, yang penting adalah upacara berlangsung dengan meriah, khidmat, lancar dan silahkan tambahkan sendiri kata sifat lainnya.

Apa poin dari uraian ini semua?

Pertama, ritual upacara merupakan pengakuan bahwa kita tidak terlepas dari sejarah yang membentuk budaya kita bermasyarakat dan bernegara. Bahwa sejarah tersebut meninggalkan jejak dalam bentuk relasi kuasa yang bersifat tradisional, kalau tidak ingin menyebut kata feodal, patron-klien dan sejenisnya yang bagi sebagian kalangan justru menguntungkan untuk memelihara keberlangsungan hegemoni.

Kedua, upacara memberi penegasan di mana posisi para pihak berinteraksi dalam sebuah tatanan sosial, apakah sebagai penyelenggara, sebagai pendukung/penggembira bahkan obyek untuk dipertontonkan. Warga yang hadir dan ikut akan menunjukkan kesediaan untuk berada dalam sebuah tatanan pengelolaan kekuasaan yang sebagai media kemudian menjadi bukti legitimasi

Ketiga, bagaimana detail sebuah upacara digelar menunjukkan keutuhan kuasa penyelenggara untuk masuk tidak hanya pada tingkatan ide atau gagasan tapi juga sampai ke pengaturan gerak dan aksi peserta di lapangan. Tidak hanya sampai di situ, sajian tampilan sebuah upacara yang menarik hati penonton membawa pesan, meski samar-samar namun berbentuk, tentang sebuah pengakuan.

Jadi upacara bukan semata soal dimana digelar, kapan dilakukan dan siapa yang terlibat dalam pelaksanaan, namun juga soal seberapa jauh berita kejadiannya menyebarkan. Bukankah kabar yang harum semerbak juga menjadi penilaian penting ketika berbicara eksistensi sebuah entitas atau kekuasaan ingin ditempatkan dalam bingkai sejarah?

Bukankah kata upacara sendiri dengan beragam jenis, waktu dan skala penyelenggaranya sudah menjadi bagian integral dalam budaya kita?

Jadi silahkan menikmati sajian tayangannya sembari merenungkan kita ini berperan sebagai apa dalam rangkaian tersebut. Posisi tersebutlah yang akan menentukan cara kita menilai apakah sebuah upacara penting atau tidak.

Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun