Dengan konsep kekuasaan yang berpusat pada panggung teater upacara, Geertz mengistilahkan negara teater, maka kegagalan seorang atau sekelompok rakyat meraih kesejahteraan sebenarnya berhubungan dengan seberapa taat seorang kepada penguasa yang merupakan representasi langit di bumi.Â
Dengan kata lain yang bersangkutan tidak mendapat restu dari langit karena menolak atau membangkang terhadap kekuasaan langit yang diemban seorang raja.
Hubungan timbal balik dalam ikatan patron-klien menjadi faktor penting keberlangsungan sebuah kekuasaan. Pada sisi rakyat kepatuhan mengabdi, sementara pada sisi penguasa terdapat kebutuhan untuk menjaga kesetiaan rakyatnya. Upacara yang megah yang biasanya diiringi dengan pesta dan hiburan rakyat menjadi salah satu cara penguasa memelihara kesetiaan tersebut.
Ketidakhadiran seseorang dalam sebuah upacara, apalagi kalau yang bersangkutan dipandang representasi sekelompok rakyat atau sebuah wilayah tertentu dapat dinilai sebagai kondisi melemahnya hubungan kekuasaan di antara keduanya.Â
Semakin banyak yang tidak hadir menunjukkan legitimasi yang memudar. Upacara yang dinilai dalam bingkai piker tersebut tidak hanya berlaku pada upacara kenegaraan, bahkan upacara yang sifatnya internal keluargapun akan dinilai dengan cara yang sama.
Upacara perkawinan dapat dijadikan contoh. Siapa yang diundang dan siapa yang kemudian hadir, siapa yang turut membantu penyelenggaraannya semuanya dapat dijadikan indikator kedekatan atau kerenggangan hubungan tersebut.
 Apabila kedekatan-kerenggangan diukur pada orang-orang yang setara dalam masyarakat, gambaran tersebut menunjukkan ikatan social, namun beda dalam konteks penguasa dan rakyat atau penguasa bawahan. Kehadiran-ketidakhadiran adalah ukuran hegemoni yang ujungnya adalah delegitimasi.
Â
Dalam konteks kita bernegara di era modern sekarang, praktik dan cara pikir tersebut tidak serta-merta hilang. Meski pandangan modern dalam penyelenggaraan birokrasi terus-menerus dipompakan kepada rakyat, dan kepada aparatur negara, nyatanya cara berpikir tradisional tersebut masih menjadi penggerak utama penyelenggaraan administrasi pemerintahan kita.
Siapa bisa, dengan mudah, membedakan seorang kepala daerah sebagai seorang pejabat dan sebagai seorang pribadi atau kepala keluarga? Meski regulasi menjelaskan kapan seorang pejabat dinilai dalam konteks kedinasan, namun genealogis dan jejak-jejak antropologis kekuasaan menyulitkan kita untuk tidak menyebut dan memanggil dengan sebutan Pak Menteri, Ibu Gubernur, Pak Bupati bahkan Pak/Ibu Camat dalam sebuah prosesi pernikahan misalnya.
Kembali ke upacara peringatan hari kemerdekaan negara kita tercinta.