Urgensi sebuah upacara kenegaraan dalam praktiknya dapat dilihat pada dua dimensi yaitu dimensi politik kekuasaan dan dimensi bernegara. Bedakan dulu antara berpolitik dengan bernegara meski keduanya berhubungan erat.Â
Bernegara adalah konsep hidup komunitas yang karenanya mengandung cita-cita dan kesepakatan bersama sedangkan politik menyangkut bagaimana cita-cita dan kesepakatan bersama tersebut dikelola dan digerakkan. Karena keduanya memiliki dimensi aksional yang berbeda, jangka panjang (masa depan) dan jangka pendek keseharian nyata, maka distorsi maupun deviasi dapat saja terjadi dengan beragam alasan pembenarnya.
Pada konteks bernegara, maka upacara hari kemerdekaan merupakan salah satu tolok ukur hubungan negara-warga/rakyat. Hubungan yang kuat akan tercermin pada gairah dan antusias mengikuti sebagian atau seluruh rangkaian-rangkainnya yang juga disepakati bersama.
Namun pada sisi lain, politik penguasa, penerimaan publik dan kehadiran dalam upacara kenegaraan dapat didaku sebagai pengakuan atas legitimasi. Bukankah dalam prosesinya, semua akan tunduk kepada protokol yang telah diatur?Â
Bagi mereka yang dianggap bukan bagian (penting) dari kekuasaan, siaplah menerima kenyataan tidak menjadi bagian dari yang diharapkan hadir. Berapapun biayanya, yang penting adalah upacara berlangsung dengan meriah, khidmat, lancar dan silahkan tambahkan sendiri kata sifat lainnya.
Apa poin dari uraian ini semua?
Pertama, ritual upacara merupakan pengakuan bahwa kita tidak terlepas dari sejarah yang membentuk budaya kita bermasyarakat dan bernegara. Bahwa sejarah tersebut meninggalkan jejak dalam bentuk relasi kuasa yang bersifat tradisional, kalau tidak ingin menyebut kata feodal, patron-klien dan sejenisnya yang bagi sebagian kalangan justru menguntungkan untuk memelihara keberlangsungan hegemoni.
Kedua, upacara memberi penegasan di mana posisi para pihak berinteraksi dalam sebuah tatanan sosial, apakah sebagai penyelenggara, sebagai pendukung/penggembira bahkan obyek untuk dipertontonkan. Warga yang hadir dan ikut akan menunjukkan kesediaan untuk berada dalam sebuah tatanan pengelolaan kekuasaan yang sebagai media kemudian menjadi bukti legitimasi
Ketiga, bagaimana detail sebuah upacara digelar menunjukkan keutuhan kuasa penyelenggara untuk masuk tidak hanya pada tingkatan ide atau gagasan tapi juga sampai ke pengaturan gerak dan aksi peserta di lapangan. Tidak hanya sampai di situ, sajian tampilan sebuah upacara yang menarik hati penonton membawa pesan, meski samar-samar namun berbentuk, tentang sebuah pengakuan.
Jadi upacara bukan semata soal dimana digelar, kapan dilakukan dan siapa yang terlibat dalam pelaksanaan, namun juga soal seberapa jauh berita kejadiannya menyebarkan. Bukankah kabar yang harum semerbak juga menjadi penilaian penting ketika berbicara eksistensi sebuah entitas atau kekuasaan ingin ditempatkan dalam bingkai sejarah?
Bukankah kata upacara sendiri dengan beragam jenis, waktu dan skala penyelenggaranya sudah menjadi bagian integral dalam budaya kita?