Buktinya dapat dilihat dari cara kita dan para pihak saling menanggapi yang cenderung terjebak dalam kesesatan bernalar ad hominem yaitu bernalar dengan melihat sisi baik atau buruk pribadi seseorang, bukan kekuatan logikanya.Â
Kesesatan ini sering terjadi ketika kita tidak mampu mengenali struktur bernalar seseorang atau kita sendiri yang tidak mampu mengutarakan penalaran dengan sistematis dan pada saat bersamaan kita memiliki preferensi personal terhadap seseorang.Â
Karena dia seorang guru besar, maka pasti pernyataannya benar semua, karens dia seorang tokoh agama, tentulah semua tindakan pribadinya adalah gambaran agamanya, adalah beberapa contoh kesesatan jenis ini.
Seseorang dengan logika yang runut, mungkin, berada dalam ruang debat yang sama dengan seseorang yang bahkan tidak bisa membedakan antara fakta dan opini. Pertengkaran pikiran akhirnya menjadi umbaran kebencian personal.
Latar literasi juga bisa menjadikan kita tidak bisa memutuskan dari awal, apakah sesuatu itu memang harus diperdebatkan?Â
Kalau harus, konsekuensi dari setiap kesepakatan atau kesimpulan seberapa jauh, seberapa luas dampaknya bagi yang bersangkutan? Pemetaan semacam itu sayangnya membutuhkan kesadaran untuk mengendalikan ego.
Itu semua adalah kontek atau lingkungan dimana banjir informasi mendera keseharian. Kemajuan teknologi informasi membuat kita setiap waktu terpapar dengan ragam data dan informasi yang kalau dihubungkan dengan latar tingkat literasi maka dapat dibayangkan kerancuan publik dalam meraba opini, menimbang pendapat atau menilai argumentasi.Â
Celakanya terkadang sesuatu yang sebenarnya adalah fakta, yang karenanya tidak masuk akal untuk didebatkan karena fakta mudah divalidasi, diperlakukan sebagai penalaran.Â
Hal sebaliknya juga sering terjadi. Sesuatu yang sejatinya adalah penalaran, karenanya terbuka ruang untuk didebat melalui adu argumentasi, pada kelompok tertentu yang malas membaca akan dianggap sebagai fakta yang tidak bisa didebat.
Apa yang telah dilakukan pendidikan?
Pendidikan dipercaya sebagai proses untuk mencerdaskan dan dengan perjalanan panjang pendidikan yang lebih panjang dari usia republik, menjadi menarik menilai apakah pendidikan telah memberi andil dalam pencerdasan bangsa.Â