Berbeda pikiran tentang bagaimana negara berjalan kemudian dianggap sebagai ancaman. Bahkan parlemen yang sejatinya tempat beradu gagasan, beradu pendapat, beradu argumen sampai beradu solusi, sesuai asal-usul namanya parle yang berarti "bicara", kemudian ikut-ikutan mendesakkan agar semua menghindari perdebatan, karena dianggap tidak produktif.
Sampai di sini maka kita dapat menangkap bahwa debat sebagai aktifitas intelektual dalam interaksi antar warga negara ternyata telah mengalami peyorasi dan menjadi tindakan yang mengangkangi kesopansantunan.
Jika sejenak kita mengambil jarak dari semua keriuhan di atas, lalu merenung tentang salah satu tujuan negara ini berdiri yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, maka sebenarnya layak dipertanyakan sudah secerdas apa rakyat di negeri yang sudah cukup berumur ini?Â
Rakyat di sini tentu saja termasuk juga saya, termasuk anda yang sedang membaca tulisan ini dan juga mereka yang sedang berseliweran di ruang fisik dan ruang maya.
Rakyat negeri ini adalah mereka yang ketika diagregasi skor-skor capaian pembangunan manusianya memberikan gambaran peringkat pembangunan manusia yang berada di peringkat 107 dengan skor 0,718 dalam rilis UNDP (diakses 7 Januari 2021 pkl 12:12).Â
Sumber yang sama memberikan informasi bahwa rata-rata lama sekolah penduduk negeri ini adalah 8,2 tahun alias jenjang SMP dan harapan lama sekolah adalah 13,6 tahun atau maksimal kuliah semester III.
Apa yang dapat dimaknai dari data tersebut dan dihubungkan dengan tema tulisan ini?
Riuh-rendah silang pendapat di media negeri ini dan mereka yang alergi dengan perdebatan ternyata dilakukan oleh mereka yang pendidikannya masih di bangku SMP dan sedang bersiap-siap masuk ke jenjang SMA!
Bukankah ada para pakar dengan pendidikan maksimal yang menjadi sumber dalam semua perbincangan itu? Betul tapi dalam analisa datanya, entah menghitung like atau dislike, jumlah berbagi sampai menjadi trending topic.
Latar belakang pendidikan seseorang tidak menjadi variabel yang menentukan suatu wacana bergema kuat di media. Siapa masih peduli dengan latar belakang buzzer atau influencer ketika yang jadi ukuran adalah jumlah followers-nya?
Dari data UNDP di atas sebenarnya kita dapat menarik pelajaran betapa keinginan untuk memanfaatkan kebebasan berpendapat yang disediakan oleh demokrasi ternyata berada dalam konteks lingkungan yang memiliki keterbatasan dalam hal tingkat literasi. Dan ketimpangan itu kemudian dibungkus dengan keinginan untuk menghindari perdebatan.