Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Literasi dari "Assikalaibineng", Kitab Persetubuhan Bugis

23 Juli 2020   11:32 Diperbarui: 25 Juli 2020   02:52 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekalipun penguasaan Tradisi Besar ini mayoritas menjadi domain elit bangsawan, yang menjadi pembeda antara cerdik pandai dan awam dalam komunitas, pada contoh budaya Bugis-Makassar ini muatan naskah lokal menjadi rujukan dalam interaksi sosial, politik dan perdagangan antar bangsa yang berarti pesan Nilai yang disampaikan juga dipraktikkan.

Assikalaibineng pun tidak lepas dari pemaknaan sosial bahwa laku hubungan suami istri, sekalipun masuk dalam ranah privat, tetap harus merujuk kepada sistem nilai yang dianut, dalam hal ini nilai yang merujuk kepada Islam.

Penggunaan nama Ali dan Fatimah dalam contoh dan tata cara pergaulan suami-istri, yang cukup banyak disebut dalam Assikalaibineng, menunjukkan penyesuaian laku privat yang layak dengan rujukan kepada laku yang diatur dalam agama. Ali dan Fatimah adalah personifikasi pelaku dalam deskripsi.

Dengan melihat ragam jenis, spektrum muatan dan kepemilikan naskah lokal Bugis-Makassar tersebut, maka dapat diperoleh korelasi dengan kekayaan koleksi KaraEng Pattingaloang di atas yang menunjukkan bahwa literasi bukan sesuatu yang asing di bumi Nusantara, bukan sesuatu yang datang dari negeri antah berantah lalu tiba-tiba hendak kita doktrinkan kepada publik.

Bugis-Makassar adalah bagian dari Nusantara dan menjadi salah satu pondasi struktur politik yang bernama Indonesia dewasa ini. Aksara Lontara menurut Mukhlis PaEni sebenarnya berasal dari huruf Kawi yang akarnya dari Sansekerta. Leluhur Bugis-Makassar melakukan penyesuaian agar sistem aksara ini dapat menjadi alat yang mampu menangkap dan mengartikulasikan kekhasan kultur setempat.

Menilik akar aksara dan menelusuri wilayah persebaran pengaruh Hindu-Budha dulu, maka kita dapat mengutarakan hipotesis bahwa semua etnis di Nusantara sebenarnya sudah memiliki tradisi literasi.

Pembeda hari ini barangkali hanya pada cara menempatkan warisan naskah-naskah tersebut sebagai sumber pusaka atau sumber pustaka. Negara-negara Asia yang kita akui berada pada posisi sebagai negara maju hari ini nyatanya mereka tidak melupakan budaya warisan leluhurnya.

Jangan-jangan kita hari ini sebagai bangsa termasuk ke dalam kelompok yang tidak maju dan juga tidak merawat warisan leluhur. Dari mana dan hendak kemana menjadi tanda tanya yang tidak kunjung jelas jawabannya.

Mudah-mudahan tidak.

Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun