Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Literasi dari "Assikalaibineng", Kitab Persetubuhan Bugis

23 Juli 2020   11:32 Diperbarui: 25 Juli 2020   02:52 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assikalaibineng dan Lontara Sakke (dokpri)
Assikalaibineng dan Lontara Sakke (dokpri)
Sebagai kosakata yang muncul menjadi isu dan lalu menguat menjadi tema penting pembicaraan seputar pendidikan di negara tercinta ini, literasi seolah-olah hadir sebagai sesuatu yang baru. Seketika kita didorong untuk terus menerus menyelipkan kosakata ini dalam setiap perbincangan tentang kualitas manusia Indonesia.

Konteks wacananya adalah lemahnya daya saing bangsa salah satunya karena literasi yang rendah. Contoh dari belahan Utara, terutama negara-negara Skandinavia dan Asia Timur, seringkali dijadikan rujukan bagaimana menyelenggarakan dan mengelola pendidikan yang ideal.

Tentu saja belajar dari bangsa yang sudah maju tidak salah, apalagi kalau mengingat struktur wacananya adalah persaingan global dan persaingan antar bangsa. Mengenali pesaing sudah barang tentu wajib dilakukan.

Namun setelah (merasa) mengenal keunggulan pesaing untuk disandingkan dengan potensi yang kita miliki, atau minimal pernah kita miliki, pertanyaan tersisa adalah seberapa jauh, seberapa luas atau seberapa dalam kita sudah mengenal rekam jejak bangsa dalam lintasan sejarah. 

Jangan-jangan kita berjuang berlari mengejar sesuatu yang serupa yang dimiliki bangsa lain namun pada saat bersamaan meninggalkan hal yang sudah dimiliki dan diwariskan dari pendahulu kita.

Pendidikan seks atau seksologi contohnya. Antara perasaan tabu, malu-malu tapi butuh terkadang kita dengan cepat merujuk ke sumber yang kita anggap modern. Ketersediaan teknologi dan informatika memang memudahkan untuk melakukan hal tersebut. Buka Google, ketik kaca kunci maka berjuta tawaran informasi tersaji di layar gawai. Tinggal comot dan terapkan. Masalah selesai? Ternyata tidak!

Selain informasi yang sebagiannya memang memiliki intensi negatif, boleh jadi informasi yang tersaji di dunia maya sebenarnya merupakan bagian dari suatu struktur atau konstelasi wacana tertentu. Kajian akademis satu aspek tertentu dalam suatu bidang keilmuan misalnya.

Materi seksologi yang tertayang di dunia maya bisa jadi menyajikan wacana dalam bahasan kesehatan reproduksi, pelajaran biologi atau bahkan seni. Literasi yang mengandaikan kondisi adanya pemahaman tentang kontek situasi lalu memilih tanggapan tertentu dalam suatu hal dapat disebut bagian dari kecerdasan individu dan sosial.

Kitab Assikalaibineng membuktikan bahwa leluhur Nusantara, Bugis dalam contoh ini, memiliki kecerdasan dalam menempatkan topik yang sangat intim ini dalam konstelasi kultur dan religi masyarakat. Kedalaman dan ketuntasan bahasan perihal hubungan suami istri yang termasuk dalam wilayah privat tidak terlepas dari sistem nilai yang dianut masyarakat.

Agama Islam yang menjadi rujukan dalam elaborasi nilai diterjemahkan dengan anggun dalam bahasan tentang bagaimana mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan dalam laku hubungan intim suami istri.

Pendadaran bahasan tanpa mengabaikan kontek sistem nilai pada akhirnya mempertegas batasan antara karya tulis yang bernilai tinggi dengan sajian bernuansa pornografi yang, apa boleh buat, banyak beredar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun