Bugis-Makassar adalah salah satu, atau salah dua, etnis di Nusantara yang memiliki tradisi literasi yang kuat. Nilai yang menjadi rujukan bertindak sebagai kearifan lokal hampir semuanya dapat ditemukan rujukannya dalam naskah warisan para leluhur.
Rujukan adat, rujukan hukum sampai pengaturan hubungan dagang semuanya dapat dibaca sumbernya dari naskah lontara yang tersebar di seantero Sulawesi Selatan, wilayah administratif modern yang mendukung dan memelihara perwilayahan kultur tersebut.
Bugis dan Makassar sejatinya adalah etnis yang berbeda namun dalam aktualisasi kultur hampir identik kalau tidak mau disebut sebangun sempurna. Dengan bahasa yang berbeda, Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar, setiap terminologi adat dan hukum tradisional dapat ditemukan persamaan atau sandingan kosa kata antara kedua bahasa tersebut.Â
Tidak berlebihan kalau dikatakan Bugis dan Makassar adalah dua etnis yang dipersatukan oleh bahasa yang berbeda menjadi budaya yang sama.
Lontara', tulisan di daun lontar, sebagai sumber naskah tradisional menjadi penanda betapa tradisi literasi sudah mengakar kuat. Tulisan di lembaran-lembaran daun lontar yang menggunakan aksara tersendiri memuat banyak hal mulai dari kronik (catatan kerajaan), kisah suatu peristiwa penting (sastra), pedoman memilih hari baik hari buruk, hukum dagang, tata pemerintahan dan sampai ke seksologi.
Tema yang terakhir ini, seksologi, terangkum dalam naskah yang dikenal sebagai Assikalaibineng, Bahasa Bugis yang berarti hubungan suami istri.
Mendapat kiriman buku hasil penelitian Muhlis Hadrawi (2017) ini, awalnya saya terkejut dengan "kejujuran" pemilihan judulnya yaitu Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis. Anggap saja judul itu sebagai click bait, namun setelah membaca sepintas keseluruhannya, stereotype dalam benak yang terbawa dalam pemilihan kosakata di judul itu berubah.
Bagaimana tidak berubah, kalau dalam setiap uraiannya ternyata persetubuhan suami istri bukan hanya perihal hubungan badan namun harus juga mencakup hubungan bathin yang diiringi dengan doa dan dzikir.
Contoh salah satu kutipan terjemahan dalam buku tersebut.
.......
Kemudian ciumlah hidungnya dan bacalah ini
Yaa kariimu yaa rahmaanu
Yaa rahiimu yaa Allah yaa hayyu yaa qayyumu yaa rahiim
Kemudian cium dagunya, bacalah ini
Farauhun waroihaanu wajjannatun na'iim
Kemudian cium ubun-ubunnya dan bacalah ini
Nuurussamawati war ardhi
Kemudian cium lehernya, bacalah ini
Addunia war-ami arhaat
Nuuru iimani min ibaadikassholihin
Kemudian pegang kedua lengannya
.....
Dari kutipan tersebut tampak bahwa kearifan lokal memang sungguh arif.Â
Hubungan badan yang mungkin bagi sebagian orang diposisikan sebagai aktifitas badaniah semata, dalam pandangan leluhur Bugis memiliki dimensi spiritual yang dengannya membuktikan bahwa hubungan kelamin di antara manusia berbeda dengan hubungan kelamin yang dilakukan oleh binatang.
Pembaca yang ingin meneruskan menelaah seksologi Bugis ini dipersilahkan membacanya sendiri dengan menghubungi penulis bukunya atau Penerbit Ininnawa (Makassar). Poin yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini lebih kepada kontek literasi.
Sebagai kosakata yang muncul menjadi isu dan lalu menguat menjadi tema penting pembicaraan seputar pendidikan di negara tercinta ini, literasi seolah-olah hadir sebagai sesuatu yang baru. Seketika kita didorong untuk terus menerus menyelipkan kosakata ini dalam setiap perbincangan tentang kualitas manusia Indonesia.
Konteks wacananya adalah lemahnya daya saing bangsa salah satunya karena literasi yang rendah. Contoh dari belahan Utara, terutama negara-negara Skandinavia dan Asia Timur, seringkali dijadikan rujukan bagaimana menyelenggarakan dan mengelola pendidikan yang ideal.
Tentu saja belajar dari bangsa yang sudah maju tidak salah, apalagi kalau mengingat struktur wacananya adalah persaingan global dan persaingan antar bangsa. Mengenali pesaing sudah barang tentu wajib dilakukan.
Namun setelah (merasa) mengenal keunggulan pesaing untuk disandingkan dengan potensi yang kita miliki, atau minimal pernah kita miliki, pertanyaan tersisa adalah seberapa jauh, seberapa luas atau seberapa dalam kita sudah mengenal rekam jejak bangsa dalam lintasan sejarah.Â
Jangan-jangan kita berjuang berlari mengejar sesuatu yang serupa yang dimiliki bangsa lain namun pada saat bersamaan meninggalkan hal yang sudah dimiliki dan diwariskan dari pendahulu kita.
Pendidikan seks atau seksologi contohnya. Antara perasaan tabu, malu-malu tapi butuh terkadang kita dengan cepat merujuk ke sumber yang kita anggap modern. Ketersediaan teknologi dan informatika memang memudahkan untuk melakukan hal tersebut. Buka Google, ketik kaca kunci maka berjuta tawaran informasi tersaji di layar gawai. Tinggal comot dan terapkan. Masalah selesai? Ternyata tidak!
Selain informasi yang sebagiannya memang memiliki intensi negatif, boleh jadi informasi yang tersaji di dunia maya sebenarnya merupakan bagian dari suatu struktur atau konstelasi wacana tertentu. Kajian akademis satu aspek tertentu dalam suatu bidang keilmuan misalnya.
Materi seksologi yang tertayang di dunia maya bisa jadi menyajikan wacana dalam bahasan kesehatan reproduksi, pelajaran biologi atau bahkan seni. Literasi yang mengandaikan kondisi adanya pemahaman tentang kontek situasi lalu memilih tanggapan tertentu dalam suatu hal dapat disebut bagian dari kecerdasan individu dan sosial.
Kitab Assikalaibineng membuktikan bahwa leluhur Nusantara, Bugis dalam contoh ini, memiliki kecerdasan dalam menempatkan topik yang sangat intim ini dalam konstelasi kultur dan religi masyarakat. Kedalaman dan ketuntasan bahasan perihal hubungan suami istri yang termasuk dalam wilayah privat tidak terlepas dari sistem nilai yang dianut masyarakat.
Agama Islam yang menjadi rujukan dalam elaborasi nilai diterjemahkan dengan anggun dalam bahasan tentang bagaimana mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan dalam laku hubungan intim suami istri.
Pendadaran bahasan tanpa mengabaikan kontek sistem nilai pada akhirnya mempertegas batasan antara karya tulis yang bernilai tinggi dengan sajian bernuansa pornografi yang, apa boleh buat, banyak beredar.
Kalau uraian di atas berbicara tentang cara penyajian dan pola konsumsi informasi, laku hubungan suami istri dalam hal ini, yang lebih menarik lagi sebenarnya adalah budaya literasi atau kebiasan tulis-menulis dalam suatu etnis atau kelompok masyarakat tertentu. Bukankah kemampuan literasi juga diukur dari kemampuan menghasilkan karya tulis mandiri?
Dalam buku Membaca Manusia Bugis-Makassar yang ditulis oleh Mukhlis PaEni (2014) disebutkan bahwa pada tahun 1653, Alexandre de Rodhes seorang Jesuit berkunjung ke Makassar dan bertemu dengan seorang bangsawan bernama I Mangada Cina Daeng Sitaba alias Karaeng Pattingaloang mangkubumi kerajaan Gowa. Dia menulis dalam catatan perjalanannya:
.......
Seorang yang sangat bijaksana. Dengan minat yang tinggi dia telah membaca seluruh sejarah raja-raja Eropa. Dia selalu membawa buku-buku kita khususnya yang berhubungan dengan Matematika, yang sangat dia kuasai.
.......
Mendengarnya berbicara tanpa melihatnya, orang akan menyangka dia seorang asli Portugis karena menggunakan bahasa ini amat lancar sebagaimana yang bisa kita dengan di Lisbon.
Karaeng Pattingaloang dikisahkan memiliki lebih dari 10 ribu buku dan fasih berbahasa Portugis, Spanyol, Latin, Perancis, Arab dan Inggris.
Apa yang dapat kita pelajari dari informasi ini? Bangsawan tinggi sebuah kerajaan Islam yang menguasai banyak bahasa Eropa yang penting termasuk Bahasa Latin banyakkah kita temukan sandingannya pada pejabat publik dewasa ini? Selain pejabat di Kementerian Luar Negeri barangkali, rasanya figur seperti ini adalah makhluk langka.
Namun kelangkaan kompetensi literasi nyatanya tidak menyurutkan gairah dan nafsu para petinggi negeri dan daerah untuk menggebu-gebu menggelorakan literasi. Kalau bisa dirangkum kira-kira kondisinya akan menjadi pertanyaan sudah seberapa kuatkah literasi para penganjur literasi negeri? Tentu saja secara statistik akan ada bagian dari populasi itu yang merupakan pengecualian.
Bagaimana kalau dibalik, Karaeng Pattingaloang adalah pencilan dalam statistik literasi Nusantara sehingga tidak bisa disimpulkan sebagai representasi budaya literasi lokal?
Pemimpin adalah gambaran kelompok yang dipimpin yang menjadi representasi komunitas termasuk sebagai rujukan dalam pembentukan stereotype.
Faktanya, Bugis Makassar memiliki beragam naskah tradisional. Sebut saja Attorioloang yang dalam khazanah naskah Melayu disebut sebagai kronik lokal. Korpus lainnya adalah naskah Lontara Pangadereng yang memuat hukum adat atau norma sosial.
Terdapat juga catatan harian kerajaan yang disebut Lontara Bilang atau sastra perang yang disebut Sure' Tolo' . Setiap ragam naskah tersebut banyak ditemukan di banyak pelosok Sulawesi Selatan dan dirawat oleh pewarisnya.
Kekayaan koleksi dan muatan naskah tradisional ini sudah tentu menggambarkan budaya literasi yang hidup subur dalam masyarakat. Keberadaan naskah dalam penguasaan masyarakat dan terdapatnya aksara yang dikembangkan dan digunakan dalam penulisannya menunjukkan bahwa tradisi ini pernah hidup di alam Nusantara.
Kejadian penting dicatat dengan teliti oleh juru tulis tanpa bumbu puja-puja kepada penguasa dalam Lontara Bilang sehingga beberapa peneliti Barat mengakui kualitasnya sebagai sumber rujukan dalam konstruksi sejarah.
Sekalipun penguasaan Tradisi Besar ini mayoritas menjadi domain elit bangsawan, yang menjadi pembeda antara cerdik pandai dan awam dalam komunitas, pada contoh budaya Bugis-Makassar ini muatan naskah lokal menjadi rujukan dalam interaksi sosial, politik dan perdagangan antar bangsa yang berarti pesan Nilai yang disampaikan juga dipraktikkan.
Assikalaibineng pun tidak lepas dari pemaknaan sosial bahwa laku hubungan suami istri, sekalipun masuk dalam ranah privat, tetap harus merujuk kepada sistem nilai yang dianut, dalam hal ini nilai yang merujuk kepada Islam.
Penggunaan nama Ali dan Fatimah dalam contoh dan tata cara pergaulan suami-istri, yang cukup banyak disebut dalam Assikalaibineng, menunjukkan penyesuaian laku privat yang layak dengan rujukan kepada laku yang diatur dalam agama. Ali dan Fatimah adalah personifikasi pelaku dalam deskripsi.
Dengan melihat ragam jenis, spektrum muatan dan kepemilikan naskah lokal Bugis-Makassar tersebut, maka dapat diperoleh korelasi dengan kekayaan koleksi KaraEng Pattingaloang di atas yang menunjukkan bahwa literasi bukan sesuatu yang asing di bumi Nusantara, bukan sesuatu yang datang dari negeri antah berantah lalu tiba-tiba hendak kita doktrinkan kepada publik.
Bugis-Makassar adalah bagian dari Nusantara dan menjadi salah satu pondasi struktur politik yang bernama Indonesia dewasa ini. Aksara Lontara menurut Mukhlis PaEni sebenarnya berasal dari huruf Kawi yang akarnya dari Sansekerta. Leluhur Bugis-Makassar melakukan penyesuaian agar sistem aksara ini dapat menjadi alat yang mampu menangkap dan mengartikulasikan kekhasan kultur setempat.
Menilik akar aksara dan menelusuri wilayah persebaran pengaruh Hindu-Budha dulu, maka kita dapat mengutarakan hipotesis bahwa semua etnis di Nusantara sebenarnya sudah memiliki tradisi literasi.
Pembeda hari ini barangkali hanya pada cara menempatkan warisan naskah-naskah tersebut sebagai sumber pusaka atau sumber pustaka. Negara-negara Asia yang kita akui berada pada posisi sebagai negara maju hari ini nyatanya mereka tidak melupakan budaya warisan leluhurnya.
Jangan-jangan kita hari ini sebagai bangsa termasuk ke dalam kelompok yang tidak maju dan juga tidak merawat warisan leluhur. Dari mana dan hendak kemana menjadi tanda tanya yang tidak kunjung jelas jawabannya.
Mudah-mudahan tidak.
Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H