Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Normal Baru tapi Lama di Punik, Sumbawa

22 Juni 2020   12:10 Diperbarui: 22 Juni 2020   14:43 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencuci tangan, normal baru? (dokpri)

Entah kenapa ketika kampanye cuci tangan digencarkan kembali, tidak banyak yang menyinggung atau berkenan menggencarkan kembali istilah Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) yang sebelum Covid-19 datang selalu dikampanyekan oleh Kementerian Kesehatan. Belum lagi kampanye Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang berisi 5 (lima) pilar dan salah satunya adalah Mencuci Tangan.

Entah kenapa kampanye-kampanye yang selama ini menggunakan dana besar itu tergilas dengan tema kampanye New Normal yang isinya juga memiliki kesamaan. Paling tidak materi-materi yang terpublikasi di media yang bisa kita tangkap hari-hari ini hanya menekankan pada istilah New Normal. Atau saya yang kurang termutakhirkan, entah.

Namun terlepas seperti apa efektifitas kampanye CTPS dan STBM selama ini, lebih menarik sebenarnya untuk mendedah seberapa baru kebiasaan cuci tangan dalam masyarakat.

Pandemi Covid-19 memang telah berhasil memaksa manusia untuk menyesuaikan cara beraktifitasnya. Selain mereka yang terpaksa kehilangan pekerjaan, kehilangan sanak keluarga, kehilangan keuntungan ekonomi dan kehilangan sentuhan dalam pergaulan sesama, semua yang ingin tetap menjaga kebiasaan, meneruskan keseharian dan melanjutkan perjuangan hidupnya akhirnya harus memperhitungkan keberadaan "musuh tak terlihat" namun mematikan kalau dipandang enteng itu.

Terminologi Normal Baru (New Normal) kemudian muncul untuk menjembatani kondisi dan harapan akan keberlanjutan. Adaptasi kondisi baru namun tetap dengan atau pada aktifitas lama.

Salah satu dari kebiasaan yang sering digaungkan adalah untuk sering-sering mencuci tangan setiap berpindah tempat, berganti aktifitas dan berubah mitra interaksi. Masuk rumah, masuk kantor atau masuk ke pusat perbelanjaan tetaplah untuk selalu mengawalinya dengan mencuci tangan. Penjelasan di balik kebutuhan itu adalah untuk memutuskan rantai penyebaran jika sekiranya ada virus yang ikut nempel di tangan.

Tentu saja cuci tangan yang lebih dipentingkan daripada cuci kaki, karena tangan kitalah yang sangat aktif dan sering tanpa sadar tangan mengusap ke wajah, menyentuh hidung ataupun sekadar menutup mulut.

Perubahan gaya hidup dari sebelumnya rural, "katrok" katanya Tukul, yang terbiasa dengan telanjang kaki menjadi urban dengan sepatu atau minimal sandal dianggap sudah cukup melindungi badan, apalagi tidak lumrah orang timur masuk rumah dengan sepatu atau sandal. Kalaupun masuk ke kantor tetap bersepatu, tapi kaki kita kan tidak bersentuhan langsung dengan sumber virus.

Di masyarakat kita sebenarnya kebiasaan mencuci tangan sebelum masuk rumah sudah lumrah, dulunya sih. Sayangnya kelumrahan ini kini hanya dapat ditemui di rumah-rumah di segelintir pedesaan yang selalu dilengkapi dengan gentong penampung air di depan rumah. 

Sepulang dari aktivitas di sawah dan kebun, bertelanjang kaki biasanya, lumpur atau kotoran yang barangkali masih ada menempel di kaki dan anggota badan lainnya dapat dibersihkan terlebih dahulu sebelum kita masuk ke rumah.

Bagi penduduk muslim, keberadaan gentong di depan rumah juga sering difungsikan sebagai sumber air untuk bersuci (wudhu) dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lainnya yang kebetulan lewat. Wadah dan air di depan rumah dalam budaya tradisional memiliki kegunaan sebagai media untuk merekatkan kohensi sosial.

Dengan kenyataan demikian, sebenarnya cuci tangan merupakan kebiasaan yang melekat dalam siklus aktifitas keseharian dalam budaya leluhur kita yang sayangnya sudah banyak ditinggalkan. Rumah panggung atau berbahan kayu dan bambu sudah banyak ditinggalkan, selain karena alasan mahal dan sulitnya mencari kayu juga tidak ingin dikategorikan sebagai kolot.

Jaman berganti kebiasaan juga mengalami pergeseran. Waktu bergulir pola aktifitas juga mengalami perubahan. Tanpa disadari nilai dan artikulasi budaya juga mengalami pergeseran bahkan sampai ke aktivitas keseharian yang juga bersalin tampilan.

Ketika pandemi mendera, anjuran menerapkan normal baru yang, salah satunya, menganjurkan pembiasaan cuci tangan sekilas mendorong kita semua untuk menerapkan pola hidup yang baru. Perubahan konteks dan keseharian hidup yang awalnya berlandaskan kebiasaan tradisional menjadi lingkungan yang menjauh dari aktifitas agraris menempatkan isu cuci tangan sebagai sesuatu yang baru.

Namun nyatanya aktivitas cuci tangan bukanlah sesuatu yang baru jikalau perspektif waktu yang lebih panjang digunakan. Waktu yang yang lebih panjang akan menampilkan generasi demi generasi sebagai pelaku aktifitas. 

Waktu yang lebih panjang juga akan menampilkan tatanan demi tatanan dari setiap tahap dalam kontinum waktu tersebut dan ketika ditarik garis dari sekian banyak pola niscaya kita akan menjumpai bahwa mencuci tangan bukanlah sesuatu yang baru. 

Tambahkan gambaran sosiologis dari komunitas muslim maka kita juga akan menemui ritual mencuci tangan yang menjadi bagian dari proses berwudhu dan ini dilakukan minimal 5 (lima) kali dalam sehari semalam.

Dengan latar lingkungan yang terpapar pandemi, melihat bagaimana respon kita terhadap ancaman yang dibawa pandemi tersebut lalu membandingkannya dengan apa yang pernah kita miliki dan mewujud dalam bentuk artikulasi kebudayaan berupa tradisi dan kebiasaan akan menjadi kesempatan yang menarik untuk berkaca.

Seperti apa kita mengambil sesuatu tawaran baru pada saat kita sudah meninggalkan yang lama terkadang membawa kepada kenyataan bahwa apa yang dipandang sebagai sesuatu yang baru sebenarnya sudah kita miliki. Kebiasaan cuci tangan, dalam arti harfiah, nyatanya sudah berakar sehingga ketika diusung sebagai sesuatu yang baru sebagai bagian dari protokol melawan pandemi maka terkandung kesepakatan bahwa kita telah mengabaikannya selama ini.

Tanpa melihat tampilan fisik, penyematan kata "baru" dalam kenormalan mencuci tangan akhirnya menjadi beban tambahan yang memerlukan "pemaksaan". Memaksa menerapkan kebiasaan baru namun praktiknya kembali kepada kebiasaan lama. Merubah yang "lama" menjadi "sesuatu yang baru" akhirnya menjadi upaya yang memerlukan pengerahan sumber daya baru.

Nun jauh di pelosok Sumbawa, polemik antara "baru" tapi "lama" itu terjawab dengan mengembalikan kebiasaan menyediakan tampungan air di depan rumah warga desa sebagaimana orang Sumbawa jaman dulu memilikinya. Tampungan air yang bisa ditumpangi dan digunakan oleh siapa saja yang lewat untuk mencuci tangan tersedia di semua rumah di Dusun Punik, Batu Dulang Kabupaten Sumbawa.

Mengatakan bahwa warga desa menerapkan normal baru sebagaimana yang dilakukan oleh orang kota dengan menyediakan fasilitas baru untuk mencuci tangan di depan rumah, depan pusat perbelanjaan ataupun di perkantoran nyatanya tidak membutuhkan sumber daya yang sama sekali baru.

Warga desa memanfaatkan bahan dan potensi yang tersedia di lingkungan. Didukung oleh potensi air yang melimpah, warga Punik cukup memanfaatkan Bambu Petung (Bambu Betung) alias Dendrocalamus Asper sebagai wadah.

Bambu Petung (Betung) sebagai penampungan air (dokpri)
Bambu Petung (Betung) sebagai penampungan air (dokpri)
Bambu yang memiliki lingkar batang yang cukup besar ini, bisa sampai berdiameter 20 cm dengan panjang ruas 40 cm -- 50 cm memiliki tebal dinding berkisar 11 mm -- 36 mm. Dengan memanfaatkan 3 atau 4 ruas maka volume tampungan dan ketebalan dinding bambu cukup untuk penggunaan sehari-hari.

Kalaupun kebaruan ingin ditelisik, maka di Punik kebaruan muncul dalam bentuk kombinasi bambu petung dengan sumber air dari kran jaringan perpipaan air bersih yang sudah tersedia. Beberapa warga bahkan menggunakan buluh bambu yang berukuran lebih kecil sebagai pengganti stop-kran.

Rumah warga dengan bambu wadah air di depannya (dokpri)
Rumah warga dengan bambu wadah air di depannya (dokpri)
Wadah air dan stop kran bambu (dokpri)
Wadah air dan stop kran bambu (dokpri)
Stopkran dari bambu (dokpri)
Stopkran dari bambu (dokpri)
Wadah air dan stopkran dari bambu (dokpri)
Wadah air dan stopkran dari bambu (dokpri)
Penggunaan bahan lokal dalam penyediaan fasilitas cuci tangan dan membangkitkan kembali kearifan lokal memancing pemikiran untuk pendefinisian lokal terhadap jargon New Normal. New Normal dapat dimaknai sebagai penyegaran, penataan dan pemanfaatan kembali nilai-nilai arif yang sekian lama terkubur digilas godaan modernisasi yang sayangnya seringkali hanya menjangkau kulit semata.

Jauh di pedalaman, ditingkahi hamparan kebun kopi dan kemiri, tanpa banyak kampanye warga Dusun Punik, Desa Batu Dulang di Kabupaten Sumbawa sedang memelihara warisan leluhur berupa nilai berbagi dan kohesi sosial tanpa mengabaikan tuntutan kondisi terkini yang terpapar pandemi.

Perempuan pengupas kemiri (dokpri)
Perempuan pengupas kemiri (dokpri)
Warga desa di Punik (dokpri)
Warga desa di Punik (dokpri)
Sembari menyeruput kopi organik dan juga diselingi Cascara (teh rasa kopi), di Punik Desa Batu Dulang Kecamatan Batu Lanteh  kami menikmati irama kearifan lokal yang mengalun bersama aktifitas keseharian warga Kabupaten Sumbawa.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun