Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Normal Baru tapi Lama di Punik, Sumbawa

22 Juni 2020   12:10 Diperbarui: 22 Juni 2020   14:43 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencuci tangan, normal baru? (dokpri)

Dengan kenyataan demikian, sebenarnya cuci tangan merupakan kebiasaan yang melekat dalam siklus aktifitas keseharian dalam budaya leluhur kita yang sayangnya sudah banyak ditinggalkan. Rumah panggung atau berbahan kayu dan bambu sudah banyak ditinggalkan, selain karena alasan mahal dan sulitnya mencari kayu juga tidak ingin dikategorikan sebagai kolot.

Jaman berganti kebiasaan juga mengalami pergeseran. Waktu bergulir pola aktifitas juga mengalami perubahan. Tanpa disadari nilai dan artikulasi budaya juga mengalami pergeseran bahkan sampai ke aktivitas keseharian yang juga bersalin tampilan.

Ketika pandemi mendera, anjuran menerapkan normal baru yang, salah satunya, menganjurkan pembiasaan cuci tangan sekilas mendorong kita semua untuk menerapkan pola hidup yang baru. Perubahan konteks dan keseharian hidup yang awalnya berlandaskan kebiasaan tradisional menjadi lingkungan yang menjauh dari aktifitas agraris menempatkan isu cuci tangan sebagai sesuatu yang baru.

Namun nyatanya aktivitas cuci tangan bukanlah sesuatu yang baru jikalau perspektif waktu yang lebih panjang digunakan. Waktu yang yang lebih panjang akan menampilkan generasi demi generasi sebagai pelaku aktifitas. 

Waktu yang lebih panjang juga akan menampilkan tatanan demi tatanan dari setiap tahap dalam kontinum waktu tersebut dan ketika ditarik garis dari sekian banyak pola niscaya kita akan menjumpai bahwa mencuci tangan bukanlah sesuatu yang baru. 

Tambahkan gambaran sosiologis dari komunitas muslim maka kita juga akan menemui ritual mencuci tangan yang menjadi bagian dari proses berwudhu dan ini dilakukan minimal 5 (lima) kali dalam sehari semalam.

Dengan latar lingkungan yang terpapar pandemi, melihat bagaimana respon kita terhadap ancaman yang dibawa pandemi tersebut lalu membandingkannya dengan apa yang pernah kita miliki dan mewujud dalam bentuk artikulasi kebudayaan berupa tradisi dan kebiasaan akan menjadi kesempatan yang menarik untuk berkaca.

Seperti apa kita mengambil sesuatu tawaran baru pada saat kita sudah meninggalkan yang lama terkadang membawa kepada kenyataan bahwa apa yang dipandang sebagai sesuatu yang baru sebenarnya sudah kita miliki. Kebiasaan cuci tangan, dalam arti harfiah, nyatanya sudah berakar sehingga ketika diusung sebagai sesuatu yang baru sebagai bagian dari protokol melawan pandemi maka terkandung kesepakatan bahwa kita telah mengabaikannya selama ini.

Tanpa melihat tampilan fisik, penyematan kata "baru" dalam kenormalan mencuci tangan akhirnya menjadi beban tambahan yang memerlukan "pemaksaan". Memaksa menerapkan kebiasaan baru namun praktiknya kembali kepada kebiasaan lama. Merubah yang "lama" menjadi "sesuatu yang baru" akhirnya menjadi upaya yang memerlukan pengerahan sumber daya baru.

Nun jauh di pelosok Sumbawa, polemik antara "baru" tapi "lama" itu terjawab dengan mengembalikan kebiasaan menyediakan tampungan air di depan rumah warga desa sebagaimana orang Sumbawa jaman dulu memilikinya. Tampungan air yang bisa ditumpangi dan digunakan oleh siapa saja yang lewat untuk mencuci tangan tersedia di semua rumah di Dusun Punik, Batu Dulang Kabupaten Sumbawa.

Mengatakan bahwa warga desa menerapkan normal baru sebagaimana yang dilakukan oleh orang kota dengan menyediakan fasilitas baru untuk mencuci tangan di depan rumah, depan pusat perbelanjaan ataupun di perkantoran nyatanya tidak membutuhkan sumber daya yang sama sekali baru.

Warga desa memanfaatkan bahan dan potensi yang tersedia di lingkungan. Didukung oleh potensi air yang melimpah, warga Punik cukup memanfaatkan Bambu Petung (Bambu Betung) alias Dendrocalamus Asper sebagai wadah.

Bambu Petung (Betung) sebagai penampungan air (dokpri)
Bambu Petung (Betung) sebagai penampungan air (dokpri)
Bambu yang memiliki lingkar batang yang cukup besar ini, bisa sampai berdiameter 20 cm dengan panjang ruas 40 cm -- 50 cm memiliki tebal dinding berkisar 11 mm -- 36 mm. Dengan memanfaatkan 3 atau 4 ruas maka volume tampungan dan ketebalan dinding bambu cukup untuk penggunaan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun