Warisan penjajah Belanda yang masih dinikmati sampai harı ini, selain birokrasi, adalah hamparan kebun kopi di pegunungan dan pedalaman di seluruh penjuru Nusantara, termasuk Pulau Sumbawa.
Pelan-pelan mulai menikmati kopi, seorang teman mengajak jalan-jalan ke salah satu destinasi di Kabupaten Sumbawa yang dikenal dengan hamparan kebun kopinya.
Desa yang berada di pedalaman, arah selatan dari Kota Sumbawa Besar yang dimaksud adalah Desa Batu Dulang di Kecamatan Batu Lanteh. Kecamatan ini memang dikenal sebagai wilayah yang banyak diwarisi dengan tanaman kopi peninggalan Belanda dahulu.
Hm, ternyata selain mewariskan birokrasi yang sampai hari ini kita nikmati peran dan sepak-terjangnya, Belanda juga mewariskan hamparan kebun kopi.
Kopi yang berasal nun jauh di Afrika, melewati Malabar India ke Nusantara dibawa oleh VOC dan sampai ke salah satu pelosok wilayah Indonesia yaitu Dusun Punik di Desa Batu Dulang Kecamatan Batu Lanteh.
Perjalanan ke Dusun Punik merupakan perjalanan melintasi hutan lindung yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat karena menjadi daerah tangkapan dan resapan air untuk cadangan sumber air bagi sebagian besar wilayah di Kabupaten Sumbawa.
Selain menjadi salah satu pusat madu di Sumbawa, Kecamatan Batu Lanteh, dan Dusun Punik menjadi salah satu bagiannya, juga memiliki banyak kebun kemiri sehingga tidak aneh banyak warga yang memanfaatkan buah yang kulitnya keras ini.
Perjalanan ke Dusun Punik membawa kami ke salah satu sentra kelompok masyarakat yang mengembangkan usaha dalam produksi dan penjualan kopi
Setelah melakukan ritual cuci tangan, protokol anti Covid-19, kami duduk dan berbincang di teras rumah yang asri dengan beragam tanaman penyegar suasana.
Racikan dan seduhan kopi dari Gatot sang barrista silih berganti disajikan. Arabica berganti Robusta membasahi tenggorokan dengan citarasa yang unik. Memang citarasa sesungguhnya dari kopi sejati hanya bisa diresapi para pecinta dan maniak kopi.
Kami yang sesekali masih menyeruput kopi sachet-an mungkin belum terlalu fasih membedakannya. Namun sensasi rasa kopi, tanpa gula, yang fresh masih dapat kami rasakan.
Beda kopi sachet-an dengan kopi yang betul-betul kopi mulai terasa apalagi tanpa imbuhan gula. Pelan-pelan rasa yang menjadi ciri kopi sesuai dengan karakteristik lingkungan dimana kopi tumbuh dikenali lidah.
Rasa asam dari kopi arabika, rasa strong dan bold dari kopi robusta juga perlahan-lahan menghadirkan sensasi rasa manis di lidah. Tentu bukan sekuat rasa manis dari gula. Mau minum kopi atau minum gula?
Sang Barissta selain menyajikan kopi dengan teknik flat bottom juga dengan teknik aeropress.
Belum puas dengan hanya menampilkan ragam cara penyajian kopi, Pak Hamsi dan Mas Gatot menawarkan kami mencoba kopi lanang (peaberry coffee).
Bagi yang belum mengenal peaberry coffe, kopi lanang adalah kopi yang dianggap “produk gagal” karena tidak seperti kopi normal yang bijinya berbelah, kopi lanang tidak membelah sehingga bentuknya cenderung bulat dan ukurannya agak kecil dari kopi biasa.
Jumlah biji kopi yang menjadi kopi lanang biasanya tidak banyak, namanya juga produk gagal, sehingga dalam sekali produksi mungkin hanya 5% dari keseluruhan biji kopi.
Antusiasnya Sang Barrista, kami kemudian ditawari wine coffe. Dari namanya mungkin ada yang menganggap kopi jenis ini berasal dari buah anggur, tapi sebenarnya penamaan wine coffe, apapun jenis kopinya, berasal dari proses pengeringan yang lebih lama dibanding kopi biasa.
Di Dusun Punik ini, wine coffe umumnya diperam (difermentasi) sekitar 1 (satu) sampai 2 (dua) bulan. Lama dikeringkan inilah yang membuat proses fermentasi biji kopi berjalan maksimal.
Ketika dinikmati, wine coffe tidak lagi terlalu dominan rasa strong dari kopinya, justru sensasi semacam rasa anggurlah yang muncul. Dan tentu saja bagi yang muslim tetap memenuhi kriteria halal.
Sambil tetap sesekali menyeruput kopi, pilihan di meja banyak, kami berbincang-bincang seputar tantangan pengembangan usaha masyarakat.
Di tengah diskusi, kembali Gatot Sang Barrista menawarkan sesuatu yang, jujur, baru kami ketahui. Produk yang bisa dihasilkan dari kopi yang mungkin tidak disadari selama ini.
Produk itu adalah sajian semacam teh namun bahannya dari kulit kopi yang sudah melalui proses tertentu sehingga ketika dituangkan air panas rasanya sungguh nikmat. Teh rasa kopi! Mereka menamakannya CASCARA. Iseng tanya ke Mbah Google, ternyata Cascara memang ada.
Dikutip dari Fresh Cup Magazine, cascara yang berarti “kulit” dari Bahasa Spanyol adalah kulit kopi yang sudah dipisahkan dari bijinya lalu dikeringkan. Setelah dianggap cukup kering, cascara yang direndam dalam air panas disajikan sebagaimana minuman teh. Tentu saja ukuran rendaman cascara lebih besar dari rajangan teh.
Bagaimana rasanya?
Cascara bukan kopi, bukan juga teh, dan jangan juga bayangkan semacam teh herbal karena asalnya dari buah bukan ramuan. Bayangkan saja cascara sebagai kombinasi rasa antara kopi dan teh, dengan sensasi rasa manis bercampur sedikit asam dan yang pasti menyegarkan.
Rasa yang keluar dari cascara tentu saja dipengaruhi oleh jenis kopinya sendiri. Suasana dan udara pedesaan yang masih segar tanpa banyak polusi, lalu menyeruput hangatnya cascara membuat kesegaran terasa lengkap. Segar di udara dan segar di lidah
Kulit kopi yang selama ini kami ketahui hanya akan menjadi limbah atau dijadikan pakan ternak, nyatanya bisa menjadi sesuatu yang bisa dinikmat lidah dan menyegarkan tenggorokan.
Jauh di pedalaman, di tengah hutan lindung dan dalam kawasan penyangga pasokan air sebagian pulau Sumbawa ini pemisah antara pemahaman kekotaan alias urban dan geliat pedesaan tetiba menjadi kabur.
Kopi dengan ragam variasinya memang kita kenal berasal dari pedesaan atau pegunungan. Warga desa sangat terbiasa dengan ritual minum kopi. Namun ketika kopi disandingkan dengan gaya hidup, nuansa perkotaan selama ini lebih kuat. Urban style sulit dipisahkan dengan kedai kopi atau bahasa kotanya café. Kota tanpa café rasanya bukan kota yang sempurna.
Di tempat yang dipercaya menjadi penyulut banyak revolusi di dunia ini, kopi yang awalnya hanya produk alam biasa mendapat perlakuan yang "terhormat".
Tahapan roasting (pemanggangan), brewing (penyeduhan) sampai penyajian kopi di atas meja kaya dengan variasi teknik. Tak bisa dipungkiri bahwa selain ragam teknik itu mempengaruhi citarasa seduhan, juga memberi nilai tambah pada harga sajian kopi.
Hanya di café yang lengkap dengan peralatan lah tahapan ini bisa sempurna dilakukan. Umumnya di pedesaan atau rumah-rumah warga peralatan semacam ini tidak banyak atau jarang tersedia lengkap kecuali segelintir maniak kopi barangkali.
Batas antara “ngopi” orang kota dan “ngopi” orang desa justru di Dusun Punik Desa ini menjadi kabur menjadi kami. Barrista nyatanya ada berdiam di dusun. Peracik kopi dengan kekayaan teknik ini nyatanya memilih tetap bertahan di dusun.
Sambil meracik bahan seduhan kopi kami si barrista dengan piawai menjelaskan pengaruh dari setiap tahapan terhadap cita rasa kopi. Konfirmasi lewat Mbah Google yang membawa selancar saya sampai ke mancanegara, apa yang disampaikan Barrista Punik ini benar adanya.
Lewat seruputan Cascara Punik timbul kesadaran untuk tidak memandang enteng mereka yang memilih tetap tinggal di dusun.
Tinggal di kota atau berdiam di dusun tidak selamanya menentukan tingkat pengetahuan terhadap sesuatu hal. Mereka yang tinggal di kota tidak selamanya menanggalkan ciri desa dalam aktifitas sehari-harinya.
Pembuangan tokoh pergerakan nasional dalam sejarah dulu nyatanya tidak membuat pengetahuan, pemahaman dan pemikiran mereka menjadi terkungkung. Ibarat bertapa, selepas dari pembuangan dan kembali ke kota, api semangat dan wawasan mereka justru semakin menjulang.
Mereka yang pernah belajar geografi atau planologi khususnya pada tema urbanisasi pasti kenal dengan istilah “desakota” yang dikenalkan oleh T.G McGee yang menjelaskan gaya hidup, perilaku dan aktifitas orang kota namun masih dipengaruhi atau bercampur dengan gaya hidup dan perilaku orang desa. Istilah ini tidak ada padanannya dalam Bahasa Inggris sehingga dalam dunia akademis istilah itu diserap langsung.
Pemahaman “desakota” dari bangku kuliah dulu si sini saya resapi lewat seduhan Cascara di Dusun Punik pedalaman Sumbawa. Selain madu yang selama ini lekat dengan Sumbawa, kopi dengan beberapa varietas dan ragam turunannya juga tersedia melimpah di sini.
Mari menikmati kopi Sumbawa, tinggal pilih mau kopi luwak, kopi lanang ataupun wine coffe.
Salam.