Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Cascara dan "Desakota" di Rimba Sumbawa

12 Juni 2020   16:30 Diperbarui: 14 Juni 2020   10:50 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut Dusun Punik (dokpri)

Warisan penjajah Belanda yang masih dinikmati sampai harı ini, selain birokrasi, adalah hamparan kebun kopi di pegunungan dan pedalaman di seluruh penjuru Nusantara, termasuk Pulau Sumbawa.

Pelan-pelan mulai menikmati kopi, seorang teman mengajak jalan-jalan ke salah satu destinasi di Kabupaten Sumbawa yang dikenal dengan hamparan kebun kopinya. 

Desa yang berada di pedalaman, arah selatan dari Kota Sumbawa Besar yang dimaksud adalah Desa Batu Dulang di Kecamatan Batu Lanteh. Kecamatan ini memang dikenal sebagai wilayah yang banyak diwarisi dengan tanaman kopi peninggalan Belanda dahulu.

Hm, ternyata selain mewariskan birokrasi yang sampai hari ini kita nikmati peran dan sepak-terjangnya, Belanda juga mewariskan hamparan kebun kopi. 

Kopi yang berasal nun jauh di Afrika, melewati Malabar India ke Nusantara dibawa oleh VOC dan sampai ke salah satu pelosok wilayah Indonesia yaitu Dusun Punik di Desa Batu Dulang Kecamatan Batu Lanteh.

Perjalanan ke Dusun Punik merupakan perjalanan melintasi hutan lindung yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat karena menjadi daerah tangkapan dan resapan air untuk cadangan sumber air bagi sebagian besar wilayah di Kabupaten Sumbawa. 

Salah satu sudut Dusun Punik (dokpri)
Salah satu sudut Dusun Punik (dokpri)
Meskipun sebagian besar jalan sudah beraspal mulus, namun karena berada dalam kawasan hutan kita harus siap dengan tanjakan yang pada beberapa titik bisa mencapai 40 derajat dan diselingi belokan tajam plus jurang di sisi jalan. 
Salah satu sudut Dusun Punik (dokpri) 
Salah satu sudut Dusun Punik (dokpri) 
Memasuki Dusun Punik yang berada di ketinggian 1000-an meter dari permukaan laut suasana desa yang sejuk dan tenang menyambut, tentu setelah melewati beberapa portal yang mengingatkan pemakaian masker dan cuci tangan. New Normal ternyata sudah sampai jauh ke pedalaman.
Mencuci tangan (dokpri)
Mencuci tangan (dokpri)
Di beberapa tempat, anak-anak desa bermain di hamparan kebun di kiri-kanan jalan. Banyak rumah penduduk yang menampilkan aktifitas warga, terutama yang wanita, sedang menjemur kopi atau mengupas kemiri. 

Selain menjadi salah satu pusat madu di Sumbawa, Kecamatan Batu Lanteh, dan Dusun Punik menjadi salah satu bagiannya, juga memiliki banyak kebun kemiri sehingga tidak aneh banyak warga yang memanfaatkan buah yang kulitnya keras ini.

Perjalanan ke Dusun Punik membawa kami ke salah satu sentra kelompok masyarakat yang mengembangkan usaha dalam produksi dan penjualan kopi

Kopi Punik Sumbawa
Kopi Punik Sumbawa
.
Pak Hamsi,
Pak Hamsi, "sesepuh" petani kopi Dusun Punik
Pak Hamsi yang sudah berpengalaman dalam proses penanaman sampai pengolahan buah dan biji kopi bersama Mas Gatot, sang Barrista, menyambut kami di teras rumah yang sekaligus menjadi pusat pemasaran produksi kopi dari kelompok masyarakat.

Setelah melakukan ritual cuci tangan, protokol anti Covid-19, kami duduk dan berbincang di teras rumah yang asri dengan beragam tanaman penyegar suasana.

Racikan dan seduhan kopi dari Gatot sang barrista silih berganti disajikan. Arabica berganti Robusta membasahi tenggorokan dengan citarasa yang unik. Memang citarasa sesungguhnya dari kopi sejati hanya bisa diresapi para pecinta dan maniak kopi.

Kami yang sesekali masih menyeruput kopi sachet-an mungkin belum terlalu fasih membedakannya. Namun sensasi rasa kopi, tanpa gula, yang fresh masih dapat kami rasakan.

Beda kopi sachet-an dengan kopi yang betul-betul kopi mulai terasa apalagi tanpa imbuhan gula. Pelan-pelan rasa yang menjadi ciri kopi sesuai dengan karakteristik lingkungan dimana kopi tumbuh dikenali lidah.

Rasa asam dari kopi arabika, rasa strong dan bold dari kopi robusta juga perlahan-lahan menghadirkan sensasi rasa manis di lidah. Tentu bukan sekuat rasa manis dari gula. Mau minum kopi atau minum gula?

Sang Barissta selain menyajikan kopi dengan teknik flat bottom juga dengan teknik aeropress.

Aeropress (dokpri)
Aeropress (dokpri)
Kami agak terkejut juga karena di dusun yang cukup jauh dari ibukota kabupaten ini, ditempuh sekitar 90 menit untuk jarak sekitar 35 km, ternyata ada yang mampu menyajikan kopi dengan teknik modern seperti itu. Di tempat kerja, kami malah hanya kenal teknik tubruk, alias langsung saja disiram air panas.

Meniris kopi
Meniris kopi
Oh ya jarak yang kami rasakan cukup jauh itu jangan diukur dari panjang ruas jalan semata, tapi karena memperhitungkan belokan tajam dan tanjakan yang cukup menantang di sepanjang jalan dan sesekali menepi kalau berpapasan dengan kendaraan roda empat.

Belum puas dengan hanya menampilkan ragam cara penyajian kopi, Pak Hamsi dan Mas Gatot menawarkan kami mencoba kopi lanang (peaberry coffee). 

Bagi yang belum mengenal peaberry coffe, kopi lanang adalah kopi yang dianggap “produk gagal” karena tidak seperti kopi normal yang bijinya berbelah, kopi lanang tidak membelah sehingga bentuknya cenderung bulat dan ukurannya agak kecil dari kopi biasa.

Jumlah biji kopi yang menjadi kopi lanang biasanya tidak banyak, namanya juga produk gagal, sehingga dalam sekali produksi mungkin hanya 5% dari keseluruhan biji kopi. 

Kopi lanang (dokpri)
Kopi lanang (dokpri)
Langka atau sedikitnya kopi lanang kemudian menimbulkan cerita yang mengeksploitasi kelangkaan ketersediaannya. Mau percaya atau tidak, ada yang menganggap kopi lanang bisa menambah vitalitas bagi pria. Dari sisi rasa saat dicicip, kembali kepada jenis kopinya arabica atau robusta dan juga teknik penyajian.

Antusiasnya Sang Barrista, kami kemudian ditawari wine coffe. Dari namanya mungkin ada yang menganggap kopi jenis ini berasal dari buah anggur, tapi sebenarnya penamaan wine coffe, apapun jenis kopinya, berasal dari proses pengeringan yang lebih lama dibanding kopi biasa.

Di Dusun Punik ini, wine coffe umumnya diperam (difermentasi) sekitar 1 (satu) sampai 2 (dua) bulan. Lama dikeringkan inilah yang membuat proses fermentasi biji kopi berjalan maksimal.

Ketika dinikmati, wine coffe tidak lagi terlalu dominan rasa strong dari kopinya, justru sensasi semacam rasa anggurlah yang muncul. Dan tentu saja bagi yang muslim tetap memenuhi kriteria halal.

Sambil tetap sesekali menyeruput kopi, pilihan di meja banyak, kami berbincang-bincang seputar tantangan pengembangan usaha masyarakat.

Di tengah diskusi, kembali Gatot Sang Barrista menawarkan sesuatu yang, jujur, baru kami ketahui. Produk yang bisa dihasilkan dari kopi yang mungkin tidak disadari selama ini.

Produk itu adalah sajian semacam teh namun bahannya dari kulit kopi yang sudah melalui proses tertentu sehingga ketika dituangkan air panas rasanya sungguh nikmat. Teh rasa kopi! Mereka menamakannya CASCARA. Iseng tanya ke Mbah Google, ternyata Cascara memang ada.

Dikutip dari Fresh Cup Magazine, cascara yang berarti “kulit” dari Bahasa Spanyol adalah kulit kopi yang sudah dipisahkan dari bijinya lalu dikeringkan. Setelah dianggap cukup kering, cascara yang direndam dalam air panas disajikan sebagaimana minuman teh. Tentu saja ukuran rendaman cascara lebih besar dari rajangan teh.

Bagaimana rasanya?

Cascara bukan kopi, bukan juga teh, dan jangan juga bayangkan semacam teh herbal karena asalnya dari buah bukan ramuan. Bayangkan saja cascara sebagai kombinasi rasa antara kopi dan teh, dengan sensasi rasa manis bercampur sedikit asam dan yang pasti menyegarkan.

Rasa yang keluar dari cascara tentu saja dipengaruhi oleh jenis kopinya sendiri. Suasana dan udara pedesaan yang masih segar tanpa banyak polusi, lalu menyeruput hangatnya cascara membuat kesegaran terasa lengkap. Segar di udara dan segar di lidah

Cascara, teh kulit kopi dari Desa Punik (dokpri)
Cascara, teh kulit kopi dari Desa Punik (dokpri)

Kulit kopi yang selama ini kami ketahui hanya akan menjadi limbah atau dijadikan pakan ternak, nyatanya bisa menjadi sesuatu yang bisa dinikmat lidah dan menyegarkan tenggorokan.

Jauh di pedalaman, di tengah hutan lindung dan dalam kawasan penyangga pasokan air sebagian pulau Sumbawa ini pemisah antara pemahaman kekotaan alias urban dan geliat pedesaan tetiba menjadi kabur.

Kopi dengan ragam variasinya memang kita kenal berasal dari pedesaan atau pegunungan. Warga desa sangat terbiasa dengan ritual minum kopi. Namun ketika kopi disandingkan dengan gaya hidup, nuansa perkotaan selama ini lebih kuat. Urban style sulit dipisahkan dengan kedai kopi atau bahasa kotanya café. Kota tanpa café rasanya bukan kota yang sempurna.

Di tempat yang dipercaya menjadi penyulut banyak revolusi di dunia ini, kopi yang awalnya hanya produk alam biasa mendapat perlakuan yang "terhormat".

Tahapan roasting (pemanggangan), brewing (penyeduhan) sampai penyajian kopi di atas meja kaya dengan variasi teknik. Tak bisa dipungkiri bahwa selain ragam teknik itu mempengaruhi citarasa seduhan, juga memberi nilai tambah pada harga sajian kopi.

Hanya di café yang lengkap dengan peralatan lah tahapan ini bisa sempurna dilakukan. Umumnya di pedesaan atau rumah-rumah warga peralatan semacam ini tidak banyak atau jarang tersedia lengkap kecuali segelintir maniak kopi barangkali.

Batas antara “ngopi” orang kota dan “ngopi” orang desa justru di Dusun Punik Desa ini menjadi kabur menjadi kami. Barrista nyatanya ada berdiam di dusun. Peracik kopi dengan kekayaan teknik ini nyatanya memilih tetap bertahan di dusun.

Sambil meracik bahan seduhan kopi kami si barrista dengan piawai menjelaskan pengaruh dari setiap tahapan terhadap cita rasa kopi. Konfirmasi lewat Mbah Google yang membawa selancar saya sampai ke mancanegara, apa yang disampaikan Barrista Punik ini benar adanya.

Lewat seruputan Cascara Punik timbul kesadaran untuk tidak memandang enteng mereka yang memilih tetap tinggal di dusun. 

Tinggal di kota atau berdiam di dusun tidak selamanya menentukan tingkat pengetahuan terhadap sesuatu hal. Mereka yang tinggal di kota tidak selamanya menanggalkan ciri desa dalam aktifitas sehari-harinya. 

Pembuangan tokoh pergerakan nasional dalam sejarah dulu nyatanya tidak membuat pengetahuan, pemahaman dan pemikiran mereka menjadi terkungkung. Ibarat bertapa, selepas dari pembuangan dan kembali ke kota, api semangat dan wawasan mereka justru semakin menjulang.

Mereka yang pernah belajar geografi atau planologi khususnya pada tema urbanisasi pasti kenal dengan istilah desakota yang dikenalkan oleh T.G McGee yang menjelaskan gaya hidup, perilaku dan aktifitas orang kota namun masih dipengaruhi atau bercampur dengan gaya hidup dan perilaku orang desa. Istilah ini tidak ada padanannya dalam Bahasa Inggris sehingga dalam dunia akademis istilah itu diserap langsung.

Pemahaman “desakota” dari bangku kuliah dulu si sini saya resapi lewat seduhan Cascara di Dusun Punik pedalaman Sumbawa. Selain madu yang selama ini lekat dengan Sumbawa, kopi dengan beberapa varietas dan ragam turunannya juga tersedia melimpah di sini.

Mari menikmati kopi Sumbawa, tinggal pilih mau kopi luwak, kopi lanang ataupun wine coffe.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun