Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sakti-kah Pancasila Menghadang Corona?

20 April 2020   07:48 Diperbarui: 20 April 2020   10:46 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dok: Diego F Parra/pexels.com)

Kita mulai bergerak mendekati puncak paparan Covid-19. Semua provinsi sudah melaporkan kejadian Covid-19 meski pada tingkat kabupaten/kota terdapat perbedaan antara yang mencatat kejadian positif dan yang masih negatif.

Pelan-pelan wacana publik tidak lagi didominasi oleh DKI, Jawa Barat dan Jawa Timur. Ketika pada awal Anies berupaya mengangkat tingkatan isu dari sebatas DKI menjadi Jabodetabek, masih terdapat pandangan sinis dan respon negatif. 

Namun saat langkah Gubernur DKI diikuti juga, paling tidak disepakati sisi integrasinya, oleh Jawa Barat lalu Banten dan ketika Pemerintah Pusat memposisikan diri sebagai tuan pemberi izin atau wasit, tanpa sadar ada sesuatu yang sedang diuji. Sesuatu yang bersifat kasat mata namun selalu diupayakan menyata.

Sesuatu yang saat ini sedang diuji itu adalah identitas kebangsaan.

Saat beberapa negara, yang terbukti berhasil menekan ancaman penyebaran Covid-19, mengambil langkah terpadu untuk membendung penyebaran Corona, negara kita justru menambahkan prosedur baru yaitu daerah harus mengajukan permohonan dulu kepada pemerintah pusat sekalipun Presiden sudah menyatakan kita dalam Bencana Nasional. Bencana nasional tapi penanganannya lokal dan harus dengan persetujuan Pusat sebelumnya.

Karena rezimnya adalah persetujuan, maka bisa saja langkah yang akan dilakukan daerah tidak mendapat persetujuan dari Pusat. Beda pendapat antara Anies dan Luhut adalah contohnya. 

Penetapan langkah daerah dalam menangani penyebaran Covid-19 akan tertuang dalam sebanyak daerah otonom itu yang bisa jadi akan memiliki keragaman yang tinggi juga. Efektifkah kalau dilihat dari skala nasional? 

Semakin banyak regulasi semakin berkuranglah keadilan 

kata Cicero.

Dengan melihat bentang Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dan ragam warganya, seberapa nyata ancaman Corona terhadap identitas kita berbangsa?

Mungkin kita harus mendedah kembali siapa "kita" dalam situasi pandemi ini. Implementasi pernyataan Presiden bahwa negara dalam status Bencana Nasional menyisakan pertanyaan perihal penerapannya di lapangan yaitu apakah yang dimaksud kita adalah "semua" sebagai satu bangsa atau "setiap" daerah sebagai bagian dari bangsa?

Sebagaimana status subyek menentukan makna dalam suatu kalimat, mengubah status predikat dan kedudukan obyek nya, ketegasan antara obyek dan subyek menjadi pembeda antara status aktif atau pasif. Inkonsistensi imbuhan dalam kalimat akan membuat susunan konsep menjadi rancu dan akhirnya makna akan membias.

Tidakkah pembiasan makna ini yang sedang terjadi dewasa ini? Masker medis digunakan publik awam, tenaga medisnya sendiri kesulitan mendapat masker, dan ternyata ada juga mengekspornya ke luar negeri!

Siapa kita, siapa mereka dan siapa Corona?

Dalam situasi negara atau bangsa menghadapi ancaman bersama, dibutuhkan adanya kejelasan ide dan ketegasan narasi barulah praksis akan menyata. Bangunan koheren antara ide, narasi dan tindakan secara sederhana dapat disebut sebagai ideologi. 

Meski terdapat kecenderungan bahwa kebutuhan akan ideologi biasanya terjadi dalam suatu situasi yang menyimpang, situasi yang akan membelokkan jalannya sejarah dan boleh jadi pandemi Hari ini tidak termasuk dalam potensi penyimpangan jalannya sejarah tersebut.

Namun pembelok sejarah yang dimaksud dalam kontek kalimat di atas lebih tepat kalau ditujukan kepada sesuatu yang kasat mata, musuh yang sedang berdiri di gerbang kota. 

Ketika musuh tersebut tidak kasat mata dan "hanya" terlekat di tangan-tangan kita, pakaian yang kita kenakan lalu keluar menyebar melalui batuk dan bersin yang kita semburkan, kenapa negara mengambil posisi menyatakannya sebagai bencana nasional? 

Urgensi apa lagi penetapan status bencana nasional ini kalau langkah operasionalnya tergantung setiap kepala daerah dan juga menggunakan sumber daya yang ada di setiap daerah masing-masing?

Jargon kita sebagai Negara Kesatuan rasanya tidak pernah terdengar lagi. Identitas kita sebagai "semua" yang mengandung arti menyeluruh dalam kesetaraan nyatanya tereduksi, atau memang terdelineasi, sebagai "setiap". 

Identitas "semua" yang memiliki korelasi dengan tindakan yang bersifat "menyatu", tanpa ada pembedaan, tergantikan oleh "setiap" (yang melekat dalam dirinya potensi keragaman) dari kita yang dihimbau memproteksi diri. Proteksi lah diri mulai dari individu, keluarga dan komunitas.

Negara dimana hadir?

Sayangnya negara lebih sering hadir sebagai pewarta setia.  

Apa yang sedang terjadi dan siapa yang sedang berjuang lebih mudah kita kenali sebagai bagian dari identitas "setiap" tadi, bukan wakil dari pengertian "semua". 

Setiap komunitas agama silahkan menyesuaikan ritualnya. Setiap komunitas kantoran silahkan mengatur sendiri cara bekerjanya dan setiap komunitas pendidikan dipersilahkan meninjau kembali teknik pembelajarannya.

Dan warga negara pun memperkuat proteksi diri dengan mengidentifikasi kembali di dalam kelompok komunitas mana dia berada, karena di luar ada identitas baru yang kini membayang, Orang Dalam Pengawasan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), bahkan Orang Tanpa Gejala (OTG) dan di ujung bagi mereka yang ternyata menjemput takdirnya adalah jenazah dengan Protap Covid-19. Setiap yang mendapat labelnya masing-masing hanya akan ditandai dengan nomor!

Di mana negara hadir?

Dalam situasi grafik kasus Covid-19 terus meningkat, arah dan bentuk seperti apa hari esok, minggu depan, bulan mendatang dan tahun baru yang akan kita jelang nanti sebagai bangsa yang bersatu sayangnya tidak cukup mengemuka ke publik. 

Tenggelam dalam silang pendapat para pejabat negara, maladministrasi hubungan Staf Khusus dengan pejabat daerah, wajah kecewa ASN yang sebagiannya tidak akan mendapat THR atau tertunda tunjangan profesinya, Pancasila yang diharapkan sebagai PENUNTUN sepertinya masih menjadi PENONTON.

Kesaktian Pancasila sedang diuji, bisakah dia menuntun kita keluar dari pandemi ini?

Meski bukan anggota BPIP, saya, sebagai bagian dari "kita", sah-sah saja menatap ke citra yang dulunya gagah perkasa membendung komunisme itu. Komunisme dulu hadir dalam fikiran pengusungnya, dan Pancasila mampu menyatukan bangsa membendung dan lalu menghancurkannya.

Tidak bisakah kini Pancasila juga kita hadirkan membendung pandemi yang juga tidak kasat mata itu? Sebagai ideologi, tentu Pancasila sebagai penuntun lah yang dibutuhkan, bukan Pancasila sebagai penuntut ketidakpatuhan warga kepada elit apalagi Pancasila dalam bentuk dan citra seekor burung bernama Garuda.

Penyelenggara negara yang terjebak atau tercebur dalam bermacam kalkulasi menghadirkan kecemasan psikologis di setiap sudut pemukiman berportal, bahkan sampai ke areal pemakaman yang prosesi pemakaman pun sering dikawal polisi!

Ketika penganut agama dengan alasan social distancing diminta kembali ke dalam ruang privat masing-masing untuk menjalankan ritualnya, bukankah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sedang diuji bahkan pada tingkat individu, setiap dari "kita" kini berdiri sebagai individu menghadap Tuhan kita masing-masing.

Resiprokal antara ritual individu dan anjuran negara mestinya akan saling menguatkan dan lalu mewujud dalam dimensi kemanusiaan. Sudah beradab dan adilkah perlakuan kita sebagai manusia beriman terhadap jazad yang menjemput takdir gegara corona, bahkan pejuang medis pun masih sering kita beri perlakuan diskriminatif.

Sila yang mungkin sedang mendapat ujian formal hari-hari ini adalah tentang Persatuan Indonesia. Sebagaimana di bagian awal tulisan ini mempersoalkan identitas "kita" dan "semua", menarik menunggu penjelasan operasional dari BPIP seperti apa "persatuan" yang sejatinya Indonesia butuh sekarang? Tentu penjelasan yang digali dari bumi Indonesia yang akan menyatukan Indonesia menghadapi ancaman pandemi.

Wacana di media memberikan fenomena bahwa makna persatuan sedang kita sisihkan. Bukankah ada berita anggota DPR yang justru sedang liburan ke Eropa? 

Kalaupun berita tersebut sudah dikonfirmasi, tetap saja itu menunjukkan ragam cara kita memandang mana yang penting dan mana yang tidak penting. Ada media atau kelompok yang memandang lebih penting mewartakan perilaku anggota lefislatif ketimbang ekspor masker di tengah instruksi penggunaan masker secara massal misalnya. 

Tentu tidak salah karena pemberitaan adalah bagian dari proses pendidikan publik, namun menjadi absurd ketika tidak ada berita dari sisi lain yang sepadan dan seimbang untuk menjelaskan pokok masalah yang sedang kita hadapi.

Saatnya menguji prinsip musyawarah yang bagi sebagian kalangan dipandang paradok dengan praktik perwakilan dalam struktur politik negara dewasa ini. Pengujian yang dimaksud bukan pada bangunan sistem kenegaraan, namun lebih kepada menunggu munculnya respon kebijakan publik yang efektif yang apabila prinsip musyawarah menjadi ruh-nya pasti akan diterima setiap warga.

Kearifan lokal warisan leluhur adalah setiap keputusan yang diperoleh dari musyawarah berlaku untuk "semua" karena "tiap-tiap" peserta musyawarah mendapat hak yang adil dan setara untuk menyampaikan pandangannya. Keputusan berlaku untuk "semua" karena "tiap" anggota telah meleburkan diri dalam kesatuan identitas. Penolakan segelintir adalah pengingkaran identitas yang konsekuensinya adalah tereliminasinya yang bersangkutan sebagai pengusung identitas komunitas.

Pandemi hari ini memang telah memaksa kita untuk meninjau ulang praktik relasi antar manusia, praktik eksploitasi alam lingkungan oleh aristokrat ekologi bahkan sampai efektifitas kebijakan publik dalam menjamin pencapaian tujuan keadilan sosial dalam Pancasila.

Apa yang dapat kita pelajari dari kejadian tindakan Staf Khusus Presiden yang menyurati para Camat untuk mendukung perusahaan yang bersangkutan dalam salah satu proyek? Tujuan proyek untuk memperkuat ketahanan sosial menghadapi ancaman pandemi nyatanya bisa saja menghadirkan godaan akan potensi keuntungan yang kalau dikapitasi akan signfikan nilainya.

Debat bisa saja muncul tergantung perspektif dari prinsip keadilan yang diusung, mengutamakan orang banyak penerima manfaat atau mengedepankan kesetaraan dalam proses dan lalu membiarkan setiap warga memaksimalkan peluang masing-masing.

Paradok ancaman bersama dan respon yang tidak (ber)sama menjadi tantangan yang menunggu penjabaran untuk membuktikan bahwa Pancasila yang kita jadikan sebagai ideologi sungguh memampukan kita menemukan jalan keluar dan lalu menuntun "kita semua" menapakinya secara bersama. Sebagaimana sejarah sudah memberikan kisahnya, Kesaktian Pancasila hari ini dan esok tergantung kepada kesetiaan pendukungnya yaitu Saya, Anda, Kita dan Semua yang sering menggelorakan Saya Pancasila!

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun