Sila yang mungkin sedang mendapat ujian formal hari-hari ini adalah tentang Persatuan Indonesia. Sebagaimana di bagian awal tulisan ini mempersoalkan identitas "kita" dan "semua", menarik menunggu penjelasan operasional dari BPIP seperti apa "persatuan" yang sejatinya Indonesia butuh sekarang? Tentu penjelasan yang digali dari bumi Indonesia yang akan menyatukan Indonesia menghadapi ancaman pandemi.
Wacana di media memberikan fenomena bahwa makna persatuan sedang kita sisihkan. Bukankah ada berita anggota DPR yang justru sedang liburan ke Eropa?
Kalaupun berita tersebut sudah dikonfirmasi, tetap saja itu menunjukkan ragam cara kita memandang mana yang penting dan mana yang tidak penting. Ada media atau kelompok yang memandang lebih penting mewartakan perilaku anggota lefislatif ketimbang ekspor masker di tengah instruksi penggunaan masker secara massal misalnya.
Tentu tidak salah karena pemberitaan adalah bagian dari proses pendidikan publik, namun menjadi absurd ketika tidak ada berita dari sisi lain yang sepadan dan seimbang untuk menjelaskan pokok masalah yang sedang kita hadapi.
Saatnya menguji prinsip musyawarah yang bagi sebagian kalangan dipandang paradok dengan praktik perwakilan dalam struktur politik negara dewasa ini. Pengujian yang dimaksud bukan pada bangunan sistem kenegaraan, namun lebih kepada menunggu munculnya respon kebijakan publik yang efektif yang apabila prinsip musyawarah menjadi ruh-nya pasti akan diterima setiap warga.
Kearifan lokal warisan leluhur adalah setiap keputusan yang diperoleh dari musyawarah berlaku untuk "semua" karena "tiap-tiap" peserta musyawarah mendapat hak yang adil dan setara untuk menyampaikan pandangannya. Keputusan berlaku untuk "semua" karena "tiap" anggota telah meleburkan diri dalam kesatuan identitas. Penolakan segelintir adalah pengingkaran identitas yang konsekuensinya adalah tereliminasinya yang bersangkutan sebagai pengusung identitas komunitas.
Pandemi hari ini memang telah memaksa kita untuk meninjau ulang praktik relasi antar manusia, praktik eksploitasi alam lingkungan oleh aristokrat ekologi bahkan sampai efektifitas kebijakan publik dalam menjamin pencapaian tujuan keadilan sosial dalam Pancasila.
Apa yang dapat kita pelajari dari kejadian tindakan Staf Khusus Presiden yang menyurati para Camat untuk mendukung perusahaan yang bersangkutan dalam salah satu proyek? Tujuan proyek untuk memperkuat ketahanan sosial menghadapi ancaman pandemi nyatanya bisa saja menghadirkan godaan akan potensi keuntungan yang kalau dikapitasi akan signfikan nilainya.
Debat bisa saja muncul tergantung perspektif dari prinsip keadilan yang diusung, mengutamakan orang banyak penerima manfaat atau mengedepankan kesetaraan dalam proses dan lalu membiarkan setiap warga memaksimalkan peluang masing-masing.
Paradok ancaman bersama dan respon yang tidak (ber)sama menjadi tantangan yang menunggu penjabaran untuk membuktikan bahwa Pancasila yang kita jadikan sebagai ideologi sungguh memampukan kita menemukan jalan keluar dan lalu menuntun "kita semua" menapakinya secara bersama. Sebagaimana sejarah sudah memberikan kisahnya, Kesaktian Pancasila hari ini dan esok tergantung kepada kesetiaan pendukungnya yaitu Saya, Anda, Kita dan Semua yang sering menggelorakan Saya Pancasila!
Salam.