Mencoba untuk meringkas pengertian dari rangkaian dalam kontinum itu, sederhanakan saja bahwa semakin berada di ujung kanan virtual space (hiper reality) posisi kita maka akan semakin berbaurlah antara apa yang nyata dan apa yang hanya ada dalam benak. Seberapa nyata sebenarnya uang yang sedang anda pertaruhkan dalam, misalnya, judi dalam jaringan? Bukankah anda tidak membuka dompet di saku celana sama sekali?
Kalau ruang kehidupan nyata dapat dirasakan dengan panca indera maka sebaliknya ruang virtual dikecap melalui psikis karena kehadirannya melalui simbol atau citra tertentu. Teknologi digital menjadi salah satu kondisi yang mempertegas pembeda antara kedua kutub tersebut dengan virtual reality yang paling optimal menggunakannya. Bahwa respon fisik dapat memberi dampak ke psikis sebagaimana juga rangsang psikis dapat mempengaruhi kondisi fisik itu merupakan konsekuensi dari setiap tindakan.
Kontinum yang membentang antara real life space dan virtual space jika kita gunakan untuk meletakkan posisi antara orang banyak dan elit dalam pusaran informasi di ruang pandemi kita hari ini, kita akan mendapatkan pandangan kenapa respon dari setiap anggota "orang banyak" itu berbeda. Demikian juga pernyataan publik dari elit yang beragam dapat diterjemahkan dengan meletakkannya pada kontinum yang sama.
Orang banyak dalam relasi kita berada pada real life space. Itu yang terungkap dari kalimat "lebih baik mati karena Corona di jalanan daripada mati kelaparan dalam rumah terisolasi". Corona hanya bersifat virtual baginya, dia tidak punya cukup waktu untuk melakukan abstraksi sehingga Corona baginya tidak hadir di real life reality-nya ketimbang kehadiran sekantong beras, sebotol minyak goreng dan satu galon air minum isi ulang. Tanyakan pada "orang banyak" lainnya, ungkapan serupa meski tidak persis sama akan kita temui.
Sebaliknya elit yang hadir di layar kaca dan jendela media datang dari ujung virtual space kontinum tadi. Kemewahan yang dimiliki elit dalam bentuk keterpenuhan kebutuhan dasar, perlindungan fisik dari keterpaparan dan jarak sosial yang bisa terjaga oleh kondisi sekelilingnya menjaga elit untuk tetap berada di ujung virtual kontinuum realitas tadi.Â
Dipicu oleh ukuran Corona yang memang tidak terlihat secara kasat mata, maka sedari awal elit berangkat dari abstraksi fakta. Elit membungkus informasi, dan muatan lainnya yang sering menumpang, dengan berupaya menghadirkan realitas dari sis virtual ke hadapan orang banyak menggunakan representasi tertentu. Bandingkan dengan orang banyak  yang harus berjuang melakukan abstraksi dari narrais elit tadi di tengah himpitan realitas!
Jangan abaikan fakta bahwa sebagian dari elit juga mengabstraksikan ancaman Corona dengan skala dan ancaman yang berbeda. Demikian juga beragamnya hasil abstraksi sebagian elit terhadap citra Corona.
Kerabunan elit dalam melakukan identifikasi siapa saja orang banyak itu dan keterbatasan kemampuan abstraksi orang awam terhadap pesan yang disampaikan elit, menunjukkan betapa ternyata elit dan orang banyak berada pada ujung berbeda dari kontinum kenyataan di atas.
Banyak faktor yang harus dibenahi sebelum orang banyak mampu melakukan abstraksi yang optimal terhadap fenomena Corona sebagaimana banyak juga yang harus dibenahi dari cara elit melakukan abstraksi pesan virtualnya. Edukasi dan peningkatan literasi bisa membantu namun sayangnya tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, apalagi dengan pendekatan represif, sehingga keterbukaanlah yang bisa membantu kedua pihak untuk saling membantu saling mendekat.
Pada titik "elit" dan "orang banyak" bertemu di koordinat yang sama barulah kita semua bisa bersepakat tentang seberapa nyata ancaman Covid-19 ini dan menentukan bersama apa yang harus dilakukan masing-masing. Sebagai contoh, untuk elit bisa mendekat ke orang banyak, pernahkah ada simulasi dampak bagi mereka orang banyak yang setiap hari berjuang di real life reality itu?Â
Pilot atau tentara sering menggunakan model ini untuk berlatih menghadapi situasi atau ancaman yang sebenarnya masih berada di ujung virtual. Laporan dan rekap data setiap hari sepertinya tidak cukup mendekatkan orang banyak itu ke ancaman nyata karena pada saat bersamaan di ruang media berseliweran juga informasi bohong.