ancaman Corona terhadap kelangsungan hidup kita? Dan kalau memang nyata apakah terdapat ukuran yang jelas seberapa besarnya ancaman itu?
Sejujurnya, seberapa nyata sebenarnya
Jawaban pertanyaan itu akan menentukan cara seseorang merespon semua himbauan, perintah ataupun tuntunan menghadapi ancaman itu. Ragam respon masyarakat yang muncul di media sebenarnya menunjukkan bahwa jawaban terhadap pertanyaan di atas belum memuaskan bagi semua. Hanya pertanyaan yang terjawablah yang dapat memicu aksi!
Pedagang kaki lima yang memilih tetap berjualan daripada mati kelaparan di rumah membuktikan bahwa ada yang menilai ancaman Covid-19 tidaklah sebesar ancaman kegagalan memperoleh pendapatan harian. Pemudik yang memilih resiko tetap pulang, dan keluarga di kampung yang menunggu, juga menunjukkan bahwa ancaman dari beban sosial dan kultur lebih berat ditanggung daripada ancaman terpapar virus.
Kalau pemudik tersebut sebagiannya adalah juga pedagang kaki lima tadi, maka semakin rumitlah kita memahami ukuran ancaman Covid-19. Jangan lupakan fakta bahwa secara statistik tingkat kematian akibat Covid-19 tidak lah lebih tinggi dari kematian akibat penyakit atau penyebab kematian lainnya seperti kecelakaan lalu lintas, jantung atau diabetes misalnya.
Penerapan PSBB yang ditanggapi beragam membuka diskusi bahwa regulasi adalah cara penguasa atau elit untuk mengendalikan situasi, tapi keterlaksanaan di lapangan menunjukkan ada situasi lain yang berbeda dengan situasi yang difahami pembuat regulasi. Elit yang kemudian mendesakkan perlunya peningkatan edukasi dan kampanye kepada publik demi keselamatan bersama tidak menjelaskan siapa yang dimaksud publik dan siapa yang disebut atau bagian dari kelompok bersama itu.
Siapa mengedukasi siapa tentang situasi yang dihadapi masing-masing? Apakah elit yang mengedukasi masyarakat agar tetap diam di rumah menunggu pandemi berlalu, sambil terus memakai masker dan mencuci tangan?Â
Jangan-jangan masyarakat yang perlu mengedukasi elit agar melepas masker yang selama ini menutupi pandangan dan penciuman elit terhadap buruknya kondisi masyarakat kecil selama ini. Jangan-jangan rakyat yang perlu mengkampanyekan kepada elit agar "berhenti cuci tangan" terhadap kegagalan meningkatkan literasi kesehatan publik selama ini.
Term "masyarakat", "publik" atau "orang banyak" dan "orang biasa"Â (ordinary people) dalam wacana publik seringnya merupakan pengganti yang halus terhadap kata "mereka" yang bukan "kami" apalagi "kita". Penggunaan term masyarakat dalam kerangka edukasi, informasi dan kampanye mengandung nada eufimisme, penghalusan terhadap relasi yang tidak berimbang. Orang banyak artinya orang yang tidak memiliki kepakaran. Orang banyak adalah sinonim dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Orang banyak adalah mereka yang dapat dimanfaatkan.
Pada sisi lain "orang banyak", karena mengandung frase "banyak", adalah sumber kekuasaan dalam bentuk pengakuan atau penguat legitimasi. Bukan kata "orang" yang paling penting, tapi pada kata "banyak".Â
Banyak orang artinya banyak suara, perlombaan meraih suara terbanyak adalah perlombaan mendorong atau menarik orang mendekat ke kita sebanyak mungkin. Tak peduli siapa saja anda sebenarnya, yang dipedulikan adalah ketika berkumpul membentuk frase "orang banyak" yang sejalan dengan keinginan kita. Bukankah pemilik suara terbanyak adalah penguasa, penentu dari nasib orang banyak itu nantinya? Kira-kira begitu alur fikirnya.
Saat saya tidak memiliki legitimasi kekuasaan untuk bertitah atau legitimasi akademik untuk berorasi apalagi legitimasi kapital untuk menentukan arah transaksi, maka saya adalah bagian dari "orang banyak" tadi. Orang yang hanya ditandai, diingat dan diperhitungkan karena terhitung keberadaannya dalam kerumunan. Tanpa membentuk dan tergabung dalam jumlah yang signifikan, maka saya tidak berarti apa-apa.
Siapakah pedagang kopi tubruk keliling yang saban hari dengan setia menelusuri trotoar jalanan menawarkan segelas kopi dari sachet-an kepada pejalan kaki yang tak mampu duduk di kafe-kafe mewah itu?
Siapakah pedagang soto, penjual ketoprak, penjaja siomay yang selama ini setia menemani sarapan para sopir taksi dan pengemudi angkot di pinggir jalan? Dan siapakah konsumen mereka yang sabar dan setia membentuk jejaring simbiosis mutualisme itu?
Dalam bahasa para elit, mereka inilah yang disebut "orang banyak", masyarakat awam yang perlu lebih keras lagi diberi edukasi agar mereka faham bahwa Corona itu mengancam kelangsungan hidup "kita" semua. "Kita" yang dimaksud dalam bahasa elit disampaikan dalam bungkus term administratif misalnya "kita" yang berada di wilayah Provinsi X, "kita" yang mernjadi warga Kabupaten B atau "kita" yang bekerja di Kota C dan paling tinggi adalah kita sebagai bagian dari negara. Pada saat bersamaan "kita" itu adalah "orang banyak" yang berjarak dengan elit.
Elit tidak mesti selalu berarti penguasa yang secara formal kita kenal. Penerbit buku tidak melihat siapa sebenarnya setiap pembaca buku yang dicetaknya karena jumlah buku terjual lah yang jauh lebih penting. Kelompok pembaca sebuah buku menjadi "orang banyak" dalam relasi dengan penerbit yang berkuasa menentukan buku tema apa, perwajahan seperti apa dan tulisan siapa. Penulis sebagai pemilik gagasan dan pembaca sebagai pencari dan penikmat asupan pengetahuan dan inspirasi hanya menjadi bagian dari struktur kekuasaan tersebut. Siapa kita dan siapa mereka menjadi kenyataan yang  pewujudan fisiknya ditentukan kemampuan abstraksi masing-masing.
Dalam situasi pandemi yang kita semua ada di dalamnya, penggunaan term "kita" menjadi pembuka dari setiap narasi himbauan elit yang mengasumsikan bahwa "orang banyak" dan elit sudah bersepakat tentang siapa musuh bersama kita. Elit dan orang banyak itu juga sudah sepakat tentang betapa berbahanya musuh tak kasat mata bernama Corona itu. Bukankah kesepakatan merupakan ciri luhur penduduk negeri ini?Â
Cara pandang ini yang diam-diam digunakan saat elit mendorong social distancing. Siapapun anda, dari manapun anda berasal, dan apapun aktifitas untuk penghidupan anda, segeralah menjaga jarak antar sesama. Hindarilah kontak fisik dengan sesama. Batasi tampilan identitas wajah anda dengan menutupinya sebagian dengan masker dan sarung tangan. Siapapun yang datang mendekat, segeralah suruh dia mencuci tangan terlebih dahulu.
Sayangnya asumsi tadi nyatanya tidak berjalan lancar di lapangan karena beberapa unsur dari relasi "orang banyak" dan elit di atas justru bertindak yang tidak sepenuhnya didasarkan pada kesepakatan dan kesepahaman itu.
Mahasiswa yang nekat mudik, pedagang informal yang tak lagi bisa beraktifitas optimal karena PSBB dan pekerja lainnya yang pendapatannya tergantung dari sirkulasi orang dan barang nyatanya memilik simpulan tersendiri tentang siapa yang terancam. Mengenal siapa "kita" menjadi penting saat ancaman datang tapi tidak dianggap penting saat tindakan dirumuskan.Â
Corona tidak peduli siapa kita karena, sebagaimana elit memandang "orang banyak", ancaman virus hanya berkepentingan dengan banyak dan dekatnya orang, bukan siapa orangnya. Banyaknya orang berarti besarnya peluang bagi virus untuk berbiak, berdekatannya orang yang banyak itu berarti meningkatnya peluang dan bertambahnya kecepatan pembiakan virus. Nampak bahwa virus dan elit memiliki "cara pandang" yang sama melihat orang, banyaknya orang lebih penting dari siapa saja orangnya.
Tetangga, sahabat atau anggota keluarga pun sebisa mungkin kita kenali dengan label atau status PDP, ODP atau OTG. Status ini pun akan terbawa ketika sebagian di antara harus menerima takdir berakhir hidupnya. Penyematan label tersebut pada jenazah menentukan bisakah jasad dimakamkan dengan cara dan penerimaan biasa dan semestinya. Penolakan jenazah yang teridentifikasi pasien Covid-19 membuktikan hal ini.
Stigma Covid-19 nyatanya melekat sampai terbawa mati.
Pertanyaan seberapa besar sebenarnya ancaman Corona adalah pertanyaan seperti apa kita mengukur tingkat nyata atau tidak-nyata nya ancaman itu. Hasil pengukuran itu yang menentukan tindakan. Rangsangan menghasilkan respon.
Dalam skala pandemi, sangat mudah kita terbawa ke cara berfikir memandang bahwa "orang banyak", "orang biasa" atau "awam" harus bertindak sesuai dengan prosedur yang hanya pemilik hegemoni lah yang menentukan seperti apa dan apa saja isi prosedur itu.
Saat prosedur memiliki konsekuensi atau membawa sanksi atas setiap ketidakpatuhan, saat itulah hirarki menampakkan wajahnya. Pada setiap pengenaan tindakan memaksa akan tergambar siapa mendominasi siapa. Orang banyak yang diwakili oleh pedagang kecil, pengemudi angkot, pekerja harian sampai pengemudi Ojol adalah mereka yang tidak berada dalam hirarki, tidak berhak atas dominasi dan tidak memegang hegemoni.
Orang banyak karenanya perlu diedukasi untuk patuh agar "kita" semua selamat. Siapa yang menjamin keselamatan "orang banyak"? Pada relasi yang seimbang, karena menghadapi ancaman bersama yang sama, jaminan akan muncul dari kesepakatan bersama. Sayangnya kesepakatan bersama hanya akan muncul kalau juga disepakati bersama ukuran atau besaran ancaman itu.
Maka pertanyaannya akan kembali lagi ke awal tulisan ini, ukuran apa yang membuat kita semua, orang banyak dan elit, mampu menentukan skala ancaman itu? Siapa sebenarnya yang terancam dan seberapa besar dan nyata ancaman itu?
Asumsi saya, anda membaca artikel ini melalui gawai (gadget) yang lekat sekali dengan istilah "virtual", karenanya mari kita coba telisik lebih jauh pertanyaan di atas dengan perspektif "virtual" juga.
Ancaman Covid-19 tersuarakan dominan lewat media. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memang memungkinkan dan sungguh memudahkan narasi perihal ancaman itu diedarkan di ruang publik. Peredaran narasi itu sering menggunakan eufimisme sebagai bentuk langkah edukasi, kampanye, penyadaran atau istilah lain yang sejenis.
Siapakah orang banyak, kita dan elit itu di ruang virtual dan bagaimana kemampuan nya mengekspresikan pengetahuan atau mengabstraksikan informasi berupa edukasi tersebut? Melalui media, kita semua berupaya menghadirkan narasi menjadi bentuk atau citra yang memampukan kita semua mengambil langkah nyata.
Jebakan atau tantangannya ada di sini. Melakukan transformasi sesuatu yang virtual menjadi sesuatu yang nyata. Dalam kontinum antara ruang kehidupan nyata (real life space) dan ruang virtual (virtual space), pembeda keduanya ada pada tingkat abstraksi. Semakin abstrak rangsang dan respon maka semakin virtual keberadaan kita dalam sesuatu, sebaliknya sebuah situasi (rangsang dan respon) yang tidak memerlukan abstraksi berarti kita sepenuhnya berada di ruang kehidupan nyata.
Secara berturut-turut dalam kontinum itu dapat didaftar rangkaiannya mulai dari "real life space"Â yang terdiri dari real life reality, simulasi dan augmented reality sampai ujung "virtual space" yang terdiri dari virtual reality dan yang terjauh hiper reality. Lebih lengkap penjelasan tentang ini lihat Kimberley N. Rosenfeld dalam Digital Online Culture, Identity, and Schooling in the Twenty-First Century (2015).
Mencoba untuk meringkas pengertian dari rangkaian dalam kontinum itu, sederhanakan saja bahwa semakin berada di ujung kanan virtual space (hiper reality) posisi kita maka akan semakin berbaurlah antara apa yang nyata dan apa yang hanya ada dalam benak. Seberapa nyata sebenarnya uang yang sedang anda pertaruhkan dalam, misalnya, judi dalam jaringan? Bukankah anda tidak membuka dompet di saku celana sama sekali?
Kalau ruang kehidupan nyata dapat dirasakan dengan panca indera maka sebaliknya ruang virtual dikecap melalui psikis karena kehadirannya melalui simbol atau citra tertentu. Teknologi digital menjadi salah satu kondisi yang mempertegas pembeda antara kedua kutub tersebut dengan virtual reality yang paling optimal menggunakannya. Bahwa respon fisik dapat memberi dampak ke psikis sebagaimana juga rangsang psikis dapat mempengaruhi kondisi fisik itu merupakan konsekuensi dari setiap tindakan.
Kontinum yang membentang antara real life space dan virtual space jika kita gunakan untuk meletakkan posisi antara orang banyak dan elit dalam pusaran informasi di ruang pandemi kita hari ini, kita akan mendapatkan pandangan kenapa respon dari setiap anggota "orang banyak" itu berbeda. Demikian juga pernyataan publik dari elit yang beragam dapat diterjemahkan dengan meletakkannya pada kontinum yang sama.
Orang banyak dalam relasi kita berada pada real life space. Itu yang terungkap dari kalimat "lebih baik mati karena Corona di jalanan daripada mati kelaparan dalam rumah terisolasi". Corona hanya bersifat virtual baginya, dia tidak punya cukup waktu untuk melakukan abstraksi sehingga Corona baginya tidak hadir di real life reality-nya ketimbang kehadiran sekantong beras, sebotol minyak goreng dan satu galon air minum isi ulang. Tanyakan pada "orang banyak" lainnya, ungkapan serupa meski tidak persis sama akan kita temui.
Sebaliknya elit yang hadir di layar kaca dan jendela media datang dari ujung virtual space kontinum tadi. Kemewahan yang dimiliki elit dalam bentuk keterpenuhan kebutuhan dasar, perlindungan fisik dari keterpaparan dan jarak sosial yang bisa terjaga oleh kondisi sekelilingnya menjaga elit untuk tetap berada di ujung virtual kontinuum realitas tadi.Â
Dipicu oleh ukuran Corona yang memang tidak terlihat secara kasat mata, maka sedari awal elit berangkat dari abstraksi fakta. Elit membungkus informasi, dan muatan lainnya yang sering menumpang, dengan berupaya menghadirkan realitas dari sis virtual ke hadapan orang banyak menggunakan representasi tertentu. Bandingkan dengan orang banyak  yang harus berjuang melakukan abstraksi dari narrais elit tadi di tengah himpitan realitas!
Jangan abaikan fakta bahwa sebagian dari elit juga mengabstraksikan ancaman Corona dengan skala dan ancaman yang berbeda. Demikian juga beragamnya hasil abstraksi sebagian elit terhadap citra Corona.
Kerabunan elit dalam melakukan identifikasi siapa saja orang banyak itu dan keterbatasan kemampuan abstraksi orang awam terhadap pesan yang disampaikan elit, menunjukkan betapa ternyata elit dan orang banyak berada pada ujung berbeda dari kontinum kenyataan di atas.
Banyak faktor yang harus dibenahi sebelum orang banyak mampu melakukan abstraksi yang optimal terhadap fenomena Corona sebagaimana banyak juga yang harus dibenahi dari cara elit melakukan abstraksi pesan virtualnya. Edukasi dan peningkatan literasi bisa membantu namun sayangnya tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, apalagi dengan pendekatan represif, sehingga keterbukaanlah yang bisa membantu kedua pihak untuk saling membantu saling mendekat.
Pada titik "elit" dan "orang banyak" bertemu di koordinat yang sama barulah kita semua bisa bersepakat tentang seberapa nyata ancaman Covid-19 ini dan menentukan bersama apa yang harus dilakukan masing-masing. Sebagai contoh, untuk elit bisa mendekat ke orang banyak, pernahkah ada simulasi dampak bagi mereka orang banyak yang setiap hari berjuang di real life reality itu?Â
Pilot atau tentara sering menggunakan model ini untuk berlatih menghadapi situasi atau ancaman yang sebenarnya masih berada di ujung virtual. Laporan dan rekap data setiap hari sepertinya tidak cukup mendekatkan orang banyak itu ke ancaman nyata karena pada saat bersamaan di ruang media berseliweran juga informasi bohong.
Rumit, ya karena manusia memang rumit. Membingungkan?
Jika anda tidak bingung maka anda tidak akan menaruh perhatian
kata Tom Peters, penulis buku Thriving on Chaos: Handbook for a Management Revolution.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H