Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Ancaman Corona Itu Nyata?

18 April 2020   10:10 Diperbarui: 18 April 2020   10:56 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejujurnya, seberapa nyata sebenarnya ancaman Corona terhadap kelangsungan hidup kita? Dan kalau memang nyata apakah terdapat ukuran yang jelas seberapa besarnya ancaman itu?

Jawaban pertanyaan itu akan menentukan cara seseorang merespon semua himbauan, perintah ataupun tuntunan menghadapi ancaman itu. Ragam respon masyarakat yang muncul di media sebenarnya menunjukkan bahwa jawaban terhadap pertanyaan di atas belum memuaskan bagi semua. Hanya pertanyaan yang terjawablah yang dapat memicu aksi!

Pedagang kaki lima yang memilih tetap berjualan daripada mati kelaparan di rumah membuktikan bahwa ada yang menilai ancaman Covid-19 tidaklah sebesar ancaman kegagalan memperoleh pendapatan harian. Pemudik yang memilih resiko tetap pulang, dan keluarga di kampung yang menunggu, juga menunjukkan bahwa ancaman dari beban sosial dan kultur lebih berat ditanggung daripada ancaman terpapar virus.

Kalau pemudik tersebut sebagiannya adalah juga pedagang kaki lima tadi, maka semakin rumitlah kita memahami ukuran ancaman Covid-19. Jangan lupakan fakta bahwa secara statistik tingkat kematian akibat Covid-19 tidak lah lebih tinggi dari kematian akibat penyakit atau penyebab kematian lainnya seperti kecelakaan lalu lintas, jantung atau diabetes misalnya.

Penerapan PSBB yang ditanggapi beragam membuka diskusi bahwa regulasi adalah cara penguasa atau elit untuk mengendalikan situasi, tapi keterlaksanaan di lapangan menunjukkan ada situasi lain yang berbeda dengan situasi yang difahami pembuat regulasi. Elit yang kemudian mendesakkan perlunya peningkatan edukasi dan kampanye kepada publik demi keselamatan bersama tidak menjelaskan siapa yang dimaksud publik dan siapa yang disebut atau bagian dari kelompok bersama itu.

Siapa mengedukasi siapa tentang situasi yang dihadapi masing-masing? Apakah elit yang mengedukasi masyarakat agar tetap diam di rumah menunggu pandemi berlalu, sambil terus memakai masker dan mencuci tangan? 

Jangan-jangan masyarakat yang perlu mengedukasi elit agar melepas masker yang selama ini menutupi pandangan dan penciuman elit terhadap buruknya kondisi masyarakat kecil selama ini. Jangan-jangan rakyat yang perlu mengkampanyekan kepada elit agar "berhenti cuci tangan" terhadap kegagalan meningkatkan literasi kesehatan publik selama ini.

Term "masyarakat", "publik" atau "orang banyak" dan "orang biasa" (ordinary people) dalam wacana publik seringnya merupakan pengganti yang halus terhadap kata "mereka" yang bukan "kami" apalagi "kita". Penggunaan term masyarakat dalam kerangka edukasi, informasi dan kampanye mengandung nada eufimisme, penghalusan terhadap relasi yang tidak berimbang. Orang banyak artinya orang yang tidak memiliki kepakaran. Orang banyak adalah sinonim dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Orang banyak adalah mereka yang dapat dimanfaatkan.

Pada sisi lain "orang banyak", karena mengandung frase "banyak", adalah sumber kekuasaan dalam bentuk pengakuan atau penguat legitimasi. Bukan kata "orang" yang paling penting, tapi pada kata "banyak". 

Banyak orang artinya banyak suara, perlombaan meraih suara terbanyak adalah perlombaan mendorong atau menarik orang mendekat ke kita sebanyak mungkin. Tak peduli siapa saja anda sebenarnya, yang dipedulikan adalah ketika berkumpul membentuk frase "orang banyak" yang sejalan dengan keinginan kita. Bukankah pemilik suara terbanyak adalah penguasa, penentu dari nasib orang banyak itu nantinya? Kira-kira begitu alur fikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun