Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bencana Nasional, Begini Cara Membaca Pernyataan Pemerintah

14 April 2020   06:37 Diperbarui: 14 April 2020   10:39 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi di ruang publik pedalaman Sumbawa, 2020 (dok: Rusdianto)

PSBB, lockdown, koordinasi, masker, rapid test, cuci tangan, virus, kemiskinan dan hoax dan entah apa lagi kosakata yang saya dan anda akrabi hari-hari ini. Gempuran sebaran Corona juga menimbulkan buih dan gelembung narasi di ruang publik mengiringi terus membesarnya angka kasus infeksi Covid-19 di negeri kita.

Apakah kecenderungan peningkatan angka kasus berkorelasi dengan meningkatnya pemahaman kita tentang cara pemerintah menangani masalah ini? Demikian juga semprotan desinfektan dan guyuran masker akankah mendukung peningkatan imunitas publik terhadap penyesatan informasi seputar kesehatan?

Didorong oleh naluri untuk mempertahankan diri, berusaha untuk tetap hidup, kita sebagai manusia ternyata paling banyak mengkonsumsi hoax yang terkait dengan kesehatan. Ibarat orang yang terhanyut, apa pun yang mengapung akan diraih.

Salah satu cara menekan berkembangnya berita bohong yang disarankan adalah mengikuti perkembangan berita dan informasi dari media resmi atau pejabat pemerintah. Nah masalah baru ternyata muncul di sini. Entah kalau anda tidak melihatnya sebagai masalah.

Bagaimana menyikapi beda antara Luhut dan Anies tentang penerapan PSBB? Kenapa pemerintah daerah belum satu suara dengan pemerintah pusat? Sebenarnya ketika Presiden Jokowi menetapkan status bencana nasional, siapa yang bertanggung jawab mendistribusikan sembako bagi mereka yang terdampak serius dari penerapan PSBB tersebut?

Sangat mudah kemudian kita larut dalam gelembung informasi dan lalu memiih "yang benar" adalah pernyataan pejabat yang secara politik dekat dengan preferensi kita sendiri.

Ingat, Niccolo Machiavelli (1469-1527) pernah memberi nasehat kepada penguasa di negaranya masa itu yaitu  

Penguasa tidak perlu memiliki semua kualitas yang bagus, tapi perlu dianggap berkualitas.

Menghadapi banjir penjelasan "A -- Z tentang Covid-19" yang muncul ke ruang publik, dan kalau merujuk ke penjelasan resmi, bagaimana kita mengambil simpulan dari pernyataan Juru Bicara Istana yang dikoreksi oleh Menteri, keputusan kepala daerah yang diperbaiki oleh Menteri.

Sebaliknya, Kepala Daerah "menantang" Menteri atau pernyataan yang jauh dari isu Covid-19, misalnya masalah ekonomi atau ibu kota baru, tapi disampaikan di tengah-tengah perbincangan dan perhatian publik ke penanganan pandemi?

Literasi kesehatan memang menjadi titik tolak yang ideal yang memampukan kita untuk menilai dengan jernih. Siapapun yang memberi pernyataan, tidak akan menjadi masalah kalau kita memiliki literasi itu. Ada ungkapan dalam Bahasa Latin yang bisa menjadi pedoman awal untuk itu.

Tatum valet auctoritas, quantum valet argumentatio

Bukan kekuasaan yang menentukan kualitas argumentasi, tapi kualitas argumentasilah yang menentukan wibawa seseorang.

Mudah disebut tapi belum tentu mudah diterapkan. Ketika kita mencemaskan situasi, penguasa menjawab dengan menerbitkan sejumlah regulasi. Saat regulasi telah dijabarkan, justru ada pejabat yang melakukan aksi di lapangan yang tidak selaras dengan maksud regulasi diterbitkan.

Kent Buse et.al dalam Making Health Policy (2005), memberikan kerangka yang dapat digunakan untuk membaca gelagat pemerintah atau pengambil kebijakan dalam sektor kesehatan.

Buse menggunakan segitia analisis kebijakan yang terbangun dari 3 (tiga) titik yaitu Konteks atau keadaan (Context), Proses (Process) dan Isi (Content).

Setiap aktor atau pelaku bahkan kita sebagai publik berada di dalam segitiga tersebut dan memposisikan kedekatan atau melihat masalah (kesehatan) berdasarkan kecenderungan terhadap titik-titik tersebut.

Bisa saja seorang lebih melihat situasi, kegentingan, kerentanan yang perlu ditangani atau lebih melihat dari aspek konteks.

Pada saat bersamaan pejabat bisa jadi menekankan pada sisi proses yang pada beberapa kondisi bisa jadi berjarak dengan situasi atau konteks. Jarak tersebut dapat saja dipengaruhi oleh banyak aspek, misalnya akurasi data atau rentang koordinasi. 

Masyarakat di bawah, pasien atau tenaga medis dalam situasi pandemi seperti sekarang mungkin tidak peduli lagi dengan konteks, apalagi apa bunyi regulasi yang diterbitkan (aspek proses) karena yang penting adalah Isi dalam bentuk tindakan nyata penyediaan Alat Pelindung Diri misalnya.

Sebaliknya pada kesempatan lain bisa saja pemerintah lebih menekankan pada langkah atau tindakan nyata (sisi Isi), namun ada pihak yang mengingatkan tidak rapinya regulasi (sisi Proses) yang diterbitkan sementara pihak lain kembali mengingatkan bahwa ada perspektif yang lebih luas yang harus dilihat (sisi konteks) misalnya aspek ekonomi makro.

Rumit? "Membagi keadilan memang paling sulit dalam politik", kata Rocky Gerung.

Segitiga di atas, akan membantu kita membaca setiap pernyataan atar komunikasi publik dan pada saat bersamaan kita memetakan posisi ata sudut pandang kita sendiri.

Kalau kita dan pernyataan pemerintah berada pada sisi atau titik yang sama, maka hampir pasti kita akan sepakat dan mendukung sepenuhnya informasi atau pernyataan publik.

Sebaliknya kalau kita berada pada titik atau sisi (gabungan dua titik) yang berbeda, maka hampir pasti kita akan seperti pengamat yang selalu menemukan celah untuk melancarkan kritik kepada pemerintah.

Perbedaan sikap, atau dinamika menurut bahasa politisi, seorang pengamat yang dulunya kritis kepada pemerintah seperti Fadjroul Rahman yang setelah menjadi Juru Bicara Istana dinilai lupa kepada latar belakangnya dapat diterjemahkan sebagai perpindahan posisinya di antara titik-titik segitiga tersebut dalam melihat situasi.

Kalau kita perhatikan, narasumber yang muncul sebagai pembahas di media-media, dengan mudah kita dapat melihat di sisi atau titik mana dia memandang fenomena.

Segitiga yang dimaksud Kent Buse di atas adalah panduan bagaimana cara memulai membaca setiap pernyataan publik dari pejabat, pengritik atau akademisi.

Kalau titik tolaknya berbeda, sisi pendekatannya tidak sama memang akan selalu terjadi sawala (polemik), sehingga idealnya semua pihak bergerak menuju danmengambil posisi di titik pusat segitiga tersebut sehingga diperoleh keseimbangan yang berlaku sama di semua pihak.

Tidak mudah memang, karena setiap aktor dalam segitiga itu punya preferensi sendiri. Preferensi berbeda yang didorong oleh latar belakang pengetahuan dan wawasan, kekayaan data dan informasi serta posisi dan tujuan politik yang berbeda-beda inilah yang justru menarik bagi media.

Bayangkan kalau semua sudah pada posisi dan pernyataan sikap yang sama, apalagi yang harus dibicarakan, tema apalagi yang layak diangkat di talkshow?

Kalau kita sudah mengetahui cara membaca, bagaimana menafsirkan hasil bacaan tadi? Kenapa DKI dan Bodetabek yang menjadi perhatian dan guyuran anggaran dari pemerintah, sementara daerah lain jauh dari Jawa yang juga terancam hanya diperintahkan melakukan refocussing dan relokasi APBD-nya masing-masing? Kenapa pemerintah hanya menekankan pentingnya membangkitkan kembali semangat gotong-royong dan berbagi bagi mereka yang bahkan bertahun-tahun kue APBN pun tidak terlalu memihak karena populasi yang sedikit?

Sekalipun abjad hanya A sampai Z dan angka mulai dari 0 berakhir di 9, kombinasi angka dan huruf yang sama bisa dimaknai berbeda pada kultur dan sistem bahasa yang berbeda.

Jangankan pemaknaan, cara membaca huruf yang terangkai menjadi kata pun akan berbeda di banyak bahasa. Muncul pertanyaan misalnya, kenapa huruf Latin yang digunakan Bahasa Eropa sekarang tidak sama cara membacanya? Cobalah belajar Bahasa Perancis, Italia, Inggris dan Jerman anda akan menemukan ragam cara membaca rangkaian huruf yang sama.

Kalau bahasa dilekatkan pada kultur komunitas, maka pada kebijakan publik pembacaan dilekatkan pada sistem politik dan praktik kekuasaan yang diterapkan dalam melakukan distribusi keadilan di antara warga negaranya.

Apakah menggunakan pendekatan keadilan Utilitarian (adil itu kalau semakin banyak yang diuntungkan) atau pendekatan Libertarian (beri kebebasan dan lindungi kebebasan bagi semua agar mereka dapat mencari sendiri apa yang menguntungkannya) atau kombinasi dengan ramuan lokal lainnya, misalnya, biarkan itu menjadi bahasan lebih lanjut para ahli masing-masing aspek dari segitiga di atas?

Jadi, mari sejenak melakukan Jaga Jarak terhadap setiap pernyataan publik atau informasi yang beredar di jagat maya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun