Katakanlah kebiasaaan sudah menjadi bagian dari budaya, maka kita bisa melihat bahwa pada situasi tersebut sesungguhnya dua sistem atau konsep waktu yang dianut sedang disandingkan, ditandingkan dan ditimbang untuk dijadikan kesepakatan bersama. Sadar tidak sadar, masing-masing pihak sedang mengupayakan agar pihak satu mengikuti konsep waktu pihak lain.
Saya tidak mengajak atau menyodorkan mana yang terbaik, karena mengacu kepada pengertian kebiasaan yang saya sampaikan di bagian awal, pemilihan respon tertentu apalagi sampai menjadi pola tanggapan yang disebut kebiasaan membutuhkan pemahaman terhadap beberapa kondisi atau lingkungan yang melingkupinya. Atas nama modern kita bisa saja mendesak semua orang agar mematuhi setiap jadwal atau kesepakatan waktu di semua lapisan masyarakat sehingga kita bisa hidup dengan efisien dan efektif.
Bayangkan masyarakat agraris kita di pedesaan. Pedoman mereka dalam mengukur dan menilai waktu adalah siklus bercocok tanam yang apa boleh buat tidak dirinci sampai ke satuan jam melainkan musim. Pada siklus inilah mereka sehari-hari mengatur kehidupan. Siklus yang lebih detail ada pada hitungan hari yang memunculkan istilah hari baik dan hari buruk untuk melakukan suatu aktifitas.Â
Suatu agenda kegiatan yang sudah disepakati bersama jadwalnya pun dapat saja dibatalkan oleh kehadiran binatang tertentu di pintu atau halaman. Kehadiran makhluk yang tidak biasa pada pola biasa membawa pesan adanya sesuatu yang sedang atau akan berubah.
Kebudayaan merupakan respon manusia dan komunitas terhadap lingkungan yang pada harmonisasi keduanya harapan masa depan dibentangkan. Kegagalan pada satu musim tanam, apa boleh buat hanya bisa diperbaiki di musim tanam berikutnya.Â
Bukankah kita sering membayangkan betapa tenangnya berada di dangau di tengah persawahan yang menghijau, atau menguning? Waktu terasa berhenti karena ada sensasi tenang tanpa diatur oleh jadwal yang berkejar-kejaran. Menepi dari hingar-bingar dan ketergesaan kota atau lingkungan dan ditingkahi alunan seruling, siapa yang bisa menolaknya?
Merubah atau keinginan meningkatkan cara manusia di komunitas tertentu menilai sumber daya yang disebut waktu pada dasarnya adalah proposal untuk merubah respon budaya tertentu. Memori atau pengetahuan tertentu yang terbentuk melalui rentang waktu yang panjang dan bisa saja tidak disadari merupakan pondasi dari bangunan tatanan sosial. Merubah tatanan ini membutuhkan pemahaman akan arekologi pengetahuan yang terakumulasi dalam bentukan tatanan sosial.
Bisakah hal itu diubah? Atau singkatnya apakah fenomena jam karet bisa diperbaiki? Ketimbang bersungut-sungut atas kondisi rasanya akan lebih baik kalau upaya itu dimulai dengan meninjau dan mengevaluasi ulang kembali sesungguhnya tujuan komunitas atau tatanan sosial yang ada akan digunakan untuk apa?
Kesepakatan akan arah masa depan dan cara meraihnya sebagaimana ditunjukkan oleh bangsa Jepang atau Korea dapat dijadikan contoh. Apa boleh buat harus diakui kedua negara itu memiliki tujuan bersama yang jelas dalam membangun bangsanya dan didukung oleh kesediaan untuk bersama-sama bekerja keras dan yang lebih penting adalah kesepakatan untuk memodernisasi diri dengan merevitalisasi warisan nilai budaya yang relevan untuk dijadikan modal membangun.
Pada titik ini, kita harus mengakui bahwa sebagian kita merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Masyarakat polikronik nyaman dengan longgarnya waktu karena banyak hal yang bisa dikerjakan secara berhimpitan. Meski semua terlambat dari jadwal, tapi banyak yang bisa diselesaikan sekaligus. Sebaliknya masyarakat monokronik merasa puas kalau jadwal yang terencana dapat dipatuhi dengan merampungkan tugas spesifik tanpa harus memikirkan hal lain.
Sebenarnya yang menjadikan keduanya berbenturan adalah bauran atau persinggungan beragam tipe aktifitas yang dilakukan oleh beraneka latar belakang pelaku namun berada pada interval waktu dan batasan ruang yang sama. Latar atau tujuan berbeda-beda yang beririsan tapi tidak menyatu sempurna lah yang menjadi sumber perbedaan perspesi seseorang terhadap orang lain. Tentu saja nilai waktu seseorang monokronik tergerus oleh sejawat polikronik-nya yang merasa kaya dengan waktu.