Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ontologi Sampah, Identitas, dan Konsekuensinya

18 Januari 2020   15:43 Diperbarui: 18 Januari 2020   20:56 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampah. Kosakata ini selalu melekat dengan keseharian dan terkadang membentuk kerangka pandang kita melihat dunia kebendaan. 

Melalui pemahaman tentang sampah kita membentuk dan membentangkan batas antara diri dengan lingkungan. Tak pernah kita menyebut apa yang ada atau melekat pada diri kita sebagai sampah.

Seberapapun kotor atau tidak pantasnya bagi orang lain yang melihatnya. Sampah selalu sesuatu yang berada di luar diri dan hanya berkelebat belaka.

Hubungannya dengan identitas? Identitas memiliki akar psikologis yang dibingkai oleh faktor sosiologis dan kultural sebagai upaya konseptualisasi agar seseorang merasa atau dirasakan sebagai individu.

Identitas selalu terhubung dengan lingkungan sehingga tidak akan bisa identitas dikenali dalam keterasingan. 

Dalam bentuk nominal, misalnya secara ekstrim seseorang dianggap anonim tetap saja hal tersebut membutuhkan latar belakang untuk mempertegas posisi anonimitasnya.

Salah satu latar untuk memperjelasnya adalah konsep komunitas yang dapat diterjemahkan sebagai sekumpulan individu yang menyepakati praktik atau tindak tertentu bersama atas sesuatu. 

Komunitas pecinta satwa menyepakati prinsip bersama untuk melindungi satwa sehingga latar belakang lain dari setiap individu tidak menjadi perekat utama. Kesepakatan pola pikir dan kerangka bertindak untuk melindungi satwa lah yang menjadi kontek sosiologisnya. 

Demikian juga kelompok pecinta kendaraan antik yang memiliki kegairahan yang sama untuk membincangkan, berburu atau memiliki kendaraan yang tidak lagi umum dilakukan oleh orang banyak.

Afiliasi dan individualisasi keduanya muncul bersamaan ketika seseorang direlasikan dengan kelompok sosialnya. Afiliasi berkaitan dengan kedekatan dengan kelompok sedangkan individualisasi berhubungan dengan keinginan untuk tidak tenggelam dalam anonimitas dalam kelompok. 

Menjadi penting karenanya mengenali proses individu melakukan identifikasi terhadap sesuatu yang berada di luar individu bersangkutan. 

Pengenalan tersebut yang apabila menghasilkan sesuatu pola ketika diterapkan pada banyak individu lain dapat memberi gambaran konstruksi sosial yang sebenarnya melingkup suatu fenomena, kejadian atau keadaan. 

Keajegan pola dalam struktur sosial dan kultur tertentu akan membawa pada kesepakatan definisi. Epistemologi istilah sampah dalam masyarakat kemudian dapat ditelusuri dengan lebih terang.

Bahasa Indonesia memiliki banyak kosa kata yang dalam keseharian sering diungkap bahkan dengan pemaknaan yang dapat ditukar-tukar, meski kesepakatan tersebut dilakukan diam-diam. 

Kotoran, limbah, sampah, barang bekas dan rongsokan adalah beberapa contoh kosakata yang pada titik tertentu terkadang membuat komunikasi antar warga berujung sebatas kesepahaman bersama tentang keadaan, bukan kesepakatan untuk bertindak, apalagi tekad bersama mengubah keadaan.

Meminjam konsep ilmu komunikasi, proses komunikasi dalam bentuk pengaliran informasi selalu diawali dengan proses menyusun atau menstrukturkan pesan (encoding), kemudian proses penyampaian (transmisi) lalu tahap penerimaan yang berisi proses penguraian atau dekonstruksi pesan (decoding) agar bisa dipahami oleh penerima pesan. 

Ketiga fase tersebut memiliki peluang gangguan (noise) yang bersumber dari luar yang bisa memengaruhi keutuhan setiap fase berproses. 

Namun umumnya gangguan lebih sering ditimpakan pada pihak ketiga terutama dalam fase transmisi. Bagaimana kalau gangguan pemaknaan justru berasal dari dalam individu sendiri?

Garbage in garbage out (Sampah masuk sampah juga keluar) adalah ungkapan yang sering kita dengar. Tapi coba renungkan kembali, barangkali cara kita mendefinisikan sampah itulah sampah sesungguhnya! 

Pada skala kecil bisa saja ini tidak terasa, bayangkan ketika perbedaan itu terjadi antara masyarakat dan pemerintah saat saluran air tersumbat, tumpukan menggunung di tepi jalan dengan aroma khasnya yang menyengat lalu turun hujan. 

Tidakkah kita menyaksikan jagat media dan dunia maya dipenuhi oleh hujatan berbalas makian, informasi sampah berseliweran di jagat maya? Seketika pula kata sampah bermunculan baik sebagai kata benda maupun kata sifat.

Kembali kita dapat mengajukan pertanyaan, sudah tepat dan sepakatkah kita dengan pemaknaan objek yang disebut "sampah" selama ini? Samakah arti sampah bagi kita dengan para pemulung? 

Dapatkah pemulung dipandang sebagai pemangku kepentingan ketika kebijakan publik tentang pengelolaan sampah dibahas?

Setiap persepsi memiliki konten dan pola pemaknaannya sendiri. Ketika berinteraksi dan berharap terjadinya aliran informasi dengan multi pihak terlibat artinya setiap persepsi akan memiliki keunikan proses encoding dan decoding. 

Sayangnya negara sering terkungkung dengan pendekatan legal dan formal ketika berdialog dengan rakyat. 

Negara dalam hal ini direpresentasikan oleh pejabat publik. Salah satu jebakannya adalah ungkapan "ketika sudah diundangkan maka setiap orang dianggap mengetahui".

Sampah adalah bagian kecil dari proses di alam yang sejatinya ingin kita enyahkan dari lingkungan individu dan sosial. Ketika menemukan atau melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya maka konstruksi mental akan membantu kita membentuk pemahaman tentang "kotor". 

Sisa makanan yang keluar dari tubuh disebut kotoran. Makanan yang berserak di lantai tanpa wadah yang memadai kita sebut kotor. 

Proses mengunyah dan kemudian menelan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang kotor selama tidak keluar dari tubuh kita. 

Cobalah mengunyah makanan lalu keluarkan kembali dari mulut, tidak ditelan, seketika perasaan jijik akan muncul. Demikian pula kalau makanan tersebut pada saatnya dikeluarkan oleh proses alami tubuh, seketika pula disebut kotoran.

Dari contoh di atas maka pengertian kotor sesungguhnya sangat berkaitan dengan tempat dan persepsi mental seseorang. Persepsi ini akan menguat kalau kemudian komunitas sekeliling menyepakati batasan yang dimaksud kotor tersebut. 

Kesepakatan tidak selalu harus dinyatakan secara verbal. Penerimaan terhadap suatu keadaan sudah dapat disebut sebagai kesepakatan. 

Mereka yang tidak sepakat sepanjang tidak mampu membentuk relasi kesepahaman baru untuk mengubah persepsi bersama tersebut secara tidak sadar akan membentuk pemisah dengan komunitasnya. 

Lingkungan tersebut bukan tempat saya, karena tempat merupakan konstruksi mental berdasarkan pengalaman keruangan dan temporal yang muncul sebagai hasil dari pemaknaan terhadap tatanan tertentu.

Kita kemudian dapat memahami kenapa ada orang atau kelompok orang yang bisa menempati lingkungan yang bagi sekelompok lain dikategorikan kotor, bau, kumuh dan menjijikkan. Sulit sekali memberi mereka kesadaran bahwa lingkungannya tidak sehat.

Belum lagi kalau kontek lingkungan tersebut memberi gambaran berbeda dalam musim atau waktu yang berbeda. 

Kalau mengingat kembali tahapan dalam komunikasi di bagian awal tulisan ini, maka tampak nyata letak distorsi dan sumber gangguan penyampaian "pesan pembangunan" tersebut.

Cara berpikir ini kemudian dapat digunakan untuk melihat kenapa ada yang sangat terganggu dengan timbunan sampah, tapi ada kelompok orang (baca pemulung) yang menunggu atau mencari timbunan tersebut.

Manajemen pengolahan limbah mencoba menguraikan apa yang kita sebut sampah berdasarkan siklus masa pakainya. 

Sesuatu yang sudah habis nilai ekonomisnya atau lewat masa pakainya maka mulailah disebut barang sisa, lalu barang tak terpakai, kemudian sampah lalu akhirnya limbah. Tapi kemudian kalau dihubungkan dengan individu dan identitas maka semua tahapan itu dapat dimaknai berbeda.

Kardus pembungkus kulkas misalnya akan dikelompokkan berbeda oleh orang berbeda, tergantung persepsi dan identitasnya.

Sebagian dapat menilainya sebagai bahan untuk membuat dinding rumah, sebagian melihatnya sebagai bahan untuk membuat kemasan, sebagian lagi mungkin akan membuatnya menjadi bubur kertas dan seterusnya. 

Semakin tinggi persepsi status sosial individu maka akan semakin ketat juga seseorang memberikan nilai ekonomi terhadap kardus tersebut.

Gelas atau botol plastik, bongkaran bangunan, komputer rusak merupakan beberapa contoh benda yang dapat dipersepsikan berbeda-beda sebelum pada akhirnya semua sampai pada serpihan terakhir yang kemudian disepakati sebagai sampah sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai "benda atau barang yang dibuang karena tidak terpakai lagi".

Kata "buang" dan "pakai" merupakan unsur dalam definisi KBBI tersebut yang belum memberi dimensi identitas dalam struktur kalimat penggunaannya nanti. 

Untuk menjelaskan subjek kalimat maka siapa yang membuang dan siapa yang memakai masih harus dibincangkan dan disepakati sebelum sampai kepada definisi operasional. 

Tambahkan definisi spasial-temporal mengenai tempat, maka disitulah sebenarnya letak ketidaksepahaman memandang sampah dan mengelola dampaknya di perkotaan selama ini.

Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat...(Ebiet G. Ade)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun