Dapatkah pemulung dipandang sebagai pemangku kepentingan ketika kebijakan publik tentang pengelolaan sampah dibahas?
Setiap persepsi memiliki konten dan pola pemaknaannya sendiri. Ketika berinteraksi dan berharap terjadinya aliran informasi dengan multi pihak terlibat artinya setiap persepsi akan memiliki keunikan proses encoding dan decoding.Â
Sayangnya negara sering terkungkung dengan pendekatan legal dan formal ketika berdialog dengan rakyat.Â
Negara dalam hal ini direpresentasikan oleh pejabat publik. Salah satu jebakannya adalah ungkapan "ketika sudah diundangkan maka setiap orang dianggap mengetahui".
Sampah adalah bagian kecil dari proses di alam yang sejatinya ingin kita enyahkan dari lingkungan individu dan sosial. Ketika menemukan atau melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya maka konstruksi mental akan membantu kita membentuk pemahaman tentang "kotor".Â
Sisa makanan yang keluar dari tubuh disebut kotoran. Makanan yang berserak di lantai tanpa wadah yang memadai kita sebut kotor.Â
Proses mengunyah dan kemudian menelan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang kotor selama tidak keluar dari tubuh kita.Â
Cobalah mengunyah makanan lalu keluarkan kembali dari mulut, tidak ditelan, seketika perasaan jijik akan muncul. Demikian pula kalau makanan tersebut pada saatnya dikeluarkan oleh proses alami tubuh, seketika pula disebut kotoran.
Dari contoh di atas maka pengertian kotor sesungguhnya sangat berkaitan dengan tempat dan persepsi mental seseorang. Persepsi ini akan menguat kalau kemudian komunitas sekeliling menyepakati batasan yang dimaksud kotor tersebut.Â
Kesepakatan tidak selalu harus dinyatakan secara verbal. Penerimaan terhadap suatu keadaan sudah dapat disebut sebagai kesepakatan.Â
Mereka yang tidak sepakat sepanjang tidak mampu membentuk relasi kesepahaman baru untuk mengubah persepsi bersama tersebut secara tidak sadar akan membentuk pemisah dengan komunitasnya.Â