Mohon tunggu...
Aminatus Sholihah
Aminatus Sholihah Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan dan Mahasiswa Magister Akuntansi Kampus UMB Jakarta

TB1 Pajak Internasional Aminatus Sholihah NIM 55521120060 Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Kampus UMB Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kuis 13 - Diskursus Metode AWD dan AWK pada Treaty Shopping dan Penghindaran Pajak Berganda

25 Juni 2024   19:07 Diperbarui: 25 Juni 2024   19:09 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar dua negara yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam persetujuan itu. Mengacu dari materi kuliah Prof Apollo, P3B adalah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Latar belakang munculnya  P3B adalah karena adanya benturan jurisdiksi perpajakan antara negara-negara yang punya modal  dengan negara-negara yang membutuhkan modal. Dimana kedua negara tersebut melakukan hubungan ekonomi yang tidak terlepas dari aspek perpajakan. Untuk menghindari dari Tax evasion dan Double taxation maka, diperlukan adanya pengaturan  antara kedua negara yang melakukan hubungan ekonomi. Dimana Pengaturan  tersebut diatas  dituangkan di dalam P3B. Berdasarkan penjelasan dari UU PPh pasal 32 A berbunyi "Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak"

Selain itu, perjanjian pajak berganda juga dapat dipahami sebagai instrumen penting dalam sistem perpajakan internasional untuk mencegah pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang sama oleh dua atau lebih negara. Di era globalisasi yang kian terintegrasi, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty muncul sebagai instrumen krusial. Diterapkan oleh berbagai negara di seluruh dunia, perjanjian ini bertujuan untuk meminimalisir pengenaan pajak ganda dan melancarkan aliran bebas barang, jasa, modal, dan tenaga kerja.

Prof Apollo (2024)
Prof Apollo (2024)

Berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menjalin perjanjian dengan negara atau yurisdiksi lain terkait penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Perjanjian ini, yang dikenal sebagai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia, bertujuan untuk:

  • Mencegah pengenaan pajak ganda atas penghasilan yang sama oleh dua negara.
  • Mencegah pengelakan pajak oleh wajib pajak dengan memanfaatkan celah hukum di dua negara.
  • Meningkatkan kepastian hukum dan transparansi dalam perpajakan internasional.
  • Mendorong perdagangan dan investasi antar negara.

Meskipun P3B memiliki tujuan yang baik, sistem ini tidak luput dari kelemahan. Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah praktik treaty shopping. Praktik ini melibatkan pemanfaatan celah dalam perjanjian pajak untuk meraih keuntungan tertentu, menimbulkan kekhawatiran serius bagi berbagai pihak dan sering disalahgunakan oleh wajib pajak untuk menghindari pajak.

OECD mendefinisikan treaty shopping sebagai praktik memanfaatkan perjanjian pajak antar negara secara tidak semestinya (treaty abuse). Praktik ini seringkali melibatkan skema kompleks yang dirancang untuk memperoleh keuntungan dari perjanjian pajak tanpa memenuhi syarat sebagai penduduk di negara-negara yang terlibat. Hal ini dikarenakan konsekuensi dari treaty shopping bisa merugikan secara signifikan seperti:

  • Penurunan pendapatan pajak: Yurisdiksi yang berhak atas pajak berpotensi mengalami pengurangan pendapatan pajak yang signifikan akibat treaty shopping.
  • Ketidakadilan: Praktik ini dapat menciptakan ketidakadilan bagi wajib pajak yang patuh, karena mereka membayar pajak secara penuh, sementara pihak lain memanfaatkan celah hukum untuk menghindari kewajiban pajak.
  • Tantangan kebijakan pajak: Treaty shopping dapat menghambat penerapan kebijakan pajak yang adil dan efektif, karena praktik ini membuat sulit untuk melacak aliran pendapatan dan memastikan keadilan pajak.

Lalu bagaimana upaya untuk mengatasi treaty shopping?

  • Penguatan ketentuan anti-treaty shopping dalam perjanjian pajak: Perlu diciptakan ketentuan yang lebih ketat dan jelas untuk mencegah praktik treaty shopping.
  • Peningkatan pertukaran informasi pajak antar negara: Negara-negara perlu meningkatkan kerjasama dalam pertukaran informasi pajak untuk melacak aliran pendapatan dan mengidentifikasi kasus treaty shopping.
  • Penegakan hukum yang lebih tegas: Penegakan hukum yang tegas terhadap praktik treaty shopping diperlukan untuk memberikan efek jera dan melindungi sistem pajak yang adil.

Kasus pajak berganda di Indonesia sering terjadi pada perusahaan multinasional yang beroperasi di beberapa negara. Hal ini dapat terjadi ketika perusahaan tersebut memiliki penghasilan di Indonesia dan negara lain, dan dikenakan pajak atas penghasilan tersebut di kedua negara. Seperti contohnya Seorang wajib pajak Indonesia ingin menghindari pajak atas penghasilan yang diperoleh dari investasi di Singapura. Wajib pajak tersebut mendirikan perusahaan di Mauritius, yang memiliki P3B dengan Indonesia dan Singapura. Penghasilan investasi kemudian dialihkan ke perusahaan Mauritius, dan kemudian dibayarkan kepada wajib pajak di Indonesia.

Dalam skenario ini, wajib pajak Indonesia tidak memenuhi syarat secara langsung untuk mendapatkan manfaat P3B antara Indonesia dan Singapura. Namun, dengan mendirikan perusahaan di Mauritius, mereka dapat memanfaatkan P3B antara Mauritius dan Singapura untuk mengurangi tarif pajak atas penghasilan investasi mereka.

Oleh karena itu, untuk memahami lebih lanjut tentang fenomena ini kita bisa menggunakan dua pendekatan/metode analisis wacana oleh filsuf prancis Paul Michel  Foulcault yaitu Analisis Wacana Deskrusif (AWD) dan Analisis Wacana Kritis (AWK).

Analisis Wacana Deskriptif (AWD) dan Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah dua metode analisis wacana yang digunakan untuk memahami bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial tertentu.

AWD berfokus pada deskripsi dan analisis penggunaan bahasa dalam teks atau percakapan tertentu tanpa memasukkan banyak interpretasi subjektif. AWD bertujuan untuk memahami makna teks secara objektif dan mengidentifikasi pola dan struktur dalam penggunaan bahasa.

Dalam analisis wacana kritis (critical discourse analysis), teks bukanlah sesuatu yang bermakna nyata dan menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Kebiasaan pribadi dan status sosial pembuat teks akan tergambar pada isi teks. Analisis wacana kritis bukan hanya membahas bahasa dalam suatu teks, melainkan juga menghu[1]bungkannya dengan konteks. Konteks di sini maksudnya adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu agar tujuan yang diinginkan tercapai.

Pemikiran Foulcault berfokus pada kekuasaan, pengetahuan dan disiplin. Foucault menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja dalam masyarakat melalui berbagai mekanisme, termasuk wacana. Wacana dapat digunakan untuk melegitimasi kekuasaan, mendisiplinkan orang, dan mempertahankan status quo. Foucault berpendapat bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang objektif dan netral, melainkan selalu terkait dengan relasi kuasa. Wacana merupakan salah satu cara di mana pengetahuan diproduksi dan disebarluaskan. Sehingga Foucault menekankan pentingnya subjektivitas dalam pembentukan wacana. Individu dan kelompok sosial memiliki perspektif dan pengalaman yang berbeda, yang tercermin dalam wacana yang mereka gunakan. Sehingga hal ini memiliki relevansi dengan treaty shopping dan pajak berganda dalam beberapa hal:

1. Interpretasi Perjanjian:

Perjanjian pajak berganda (P3B) sering kali memiliki bahasa yang kompleks dan dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara. Subjektivitas individu dan kelompok sosial yang terlibat dalam interpretasi perjanjian ini dapat memengaruhi bagaimana mereka memahami dan menerapkan ketentuan perjanjian.

Contohnya, negara-negara dengan sistem pajak yang berbeda mungkin memiliki interpretasi yang berbeda tentang apa yang dimaksud dengan "penghasilan permanen" atau "tempat kedudukan permanen". Hal ini dapat menyebabkan perselisihan tentang siapa yang memiliki hak untuk mengenakan pajak atas pendapatan tertentu.

2. Perencanaan Pajak:

Wajib pajak dan konsultan pajak sering kali menggunakan treaty shopping untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka. Mereka memanfaatkan perbedaan dalam sistem pajak di negara-negara yang berbeda untuk memindahkan pendapatan ke yurisdiksi yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah.

Subjektivitas dalam wacana dapat memengaruhi bagaimana wajib pajak dan konsultan pajak menafsirkan perjanjian pajak dan menentukan apakah treaty shopping diperbolehkan. Mereka mungkin menggunakan argumen interpretatif yang berbeda untuk mendukung kepentingannya.

3. Penegakan Hukum:

Otoritas pajak di negara-negara yang berbeda harus bekerja sama untuk menegakkan ketentuan P3B. Hal ini dapat menjadi sulit karena subjektivitas dalam wacana dapat menyebabkan perbedaan dalam bagaimana mereka menafsirkan perjanjian dan menerapkan aturannya.

Contohnya, otoritas pajak di satu negara mungkin menganggap transaksi tertentu sebagai treaty shopping, sedangkan otoritas pajak di negara lain tidak. Hal ini dapat menyebabkan perselisihan dan kesulitan dalam menegakkan kewajiban pajak.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa subjektivitas dalam wacana Foucault dapat memiliki dampak signifikan pada treaty shopping dan pajak berganda. Hal ini dapat menyebabkan interpretasi perjanjian yang berbeda, perencanaan pajak yang agresif, dan kesulitan dalam penegakan hukum. Memahami peran subjektivitas dalam wacana dapat membantu para pemangku kepentingan dalam bidang ini untuk lebih memahami kompleksitas masalah dan menemukan solusi yang lebih efektif. AWD dapat digunakan untuk menganalisis bahasa yang digunakan dalam P3B untuk memahami makna yang dimaksudkan dan bagaimana teks tersebut dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh wajib pajak, otoritas pajak, dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan AWK dapat digunakan untuk mengidentifikasi bias dan ideologi yang tertanam dalam bahasa P3B, dan bagaimana teks tersebut digunakan untuk mendukung kepentingan tertentu. Selanjutnya, dalam konteks evaluasi otoritas pajak, AWD dapat digunakan untuk menganalisis pedoman dan peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas pajak untuk mengatasi treaty shopping. Hal ini dapat membantu untuk memahami bagaimana mereka menafsirkan P3B dan bagaimana mereka berusaha untuk menegakkan aturan dan AWK dapat digunakan untuk mengidentifikasi bias dan ideologi yang mendasari tindakan otoritas pajak, dan bagaimana mereka menggunakan bahasa untuk melegitimasi dan mempertahankan kekuasaan mereka.

Referensi:

Brauner, Y. (2023). Tax treaty negotiations: myth and reality. SSRN. 

Prof Apollo. (2024). Treaty Shopping dan Penghindaran Pajak Berganda.

Saputra, A., & Fathoni, M. I. (2023). Principal Purpose Test (PPT) As An Instrument To Detect Tax Treaty Abuse. Asian Journal of Social and Humanities, 1(07), 324-334.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun