Aku masih ingat kayuhan pertamaku di atas sepeda kecil itu,
dengan tangan bapak yang memegang erat dari belakang
dan keringat gugup yang sebesar biji jagung di dahiku.
Pelan-pelan ku kayuh, jatuh, ku kayuh lagi, jatuh lagi.
Tapi tak sedetikpun kepercayaan bapak hilang padaku.
Susah payah jatuh dan berdiri lalu jatuh lagi, tapi masih dipegang eratnya sepeda kecil itu dari belakang.
Dan akupun melaju, pelan semakin melaju, menjauh dengan tawa gugup dan senyum senang bapak.
Aku bisa bersepeda.
Dua puluh lima tahun mengayuh hidup,
dua puluh lima tahun menyusuri barmacam jalan, lurus, berbelok,
menikung, berputar balik, menukik turun, mendaki naik,
dengan aspal yang halus mulus,
dengan pasir dan debu, dengan batu-batu.
Tidak sekali ingin kuhentikan kayuhan ini, jalan terlau terjal untuk dilalui..
Tapi ketika sekilas menengok kebelakang,
rasanya terlalu sayang untuk menghentikan perjalanan.
Kenapa aku hanya gowes sendirian?
kemana yang lainnya?
haha, ternyata mereka mencari jalan keberuntungannya sendiri-sendiri,
mencoba peruntungan dengan jalan yang telah dipilih sendiri.
Lamat-lamat kudengar teriakan dari belakang,
"Ya! aku punya kawan!" pikirku.
Gowes bareng, menuju jalan terakhir, tapi bukan tempat pemberhentian akhir..
hmm, halte pertama mungkin.
dengan sepasang pesepeda konyol.
Kring..Kring..
Entah kapan kayuhan ini sampai pada finishnya,
dan kelak bertambah lagi dengan seorang pesepeda kecil yang penuh semangat
dengan keringat gugup sebesar biji jagung di dahinya..
sembari kupegang erat bagian belakang
sepeda kecilnya..
mencoba mengayuh, jatuh, mengayuh lagi, jatuh lagi dan mengayuh lagi..
hingga pesepeda kecil itu melaju menjauh mengayuh kehidupannya.
Dan aku,
tersenyum bangga mengayuh pelan dibelakangnya.
Kring.. Kring..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H