Mohon tunggu...
Fajar Mardhatillah
Fajar Mardhatillah Mohon Tunggu... -

Ingin belajar menulis..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gowes Hidup

19 Februari 2011   12:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih ingat kayuhan pertamaku di atas sepeda kecil itu,

dengan tangan bapak yang memegang erat dari belakang

dan keringat gugup yang sebesar biji jagung di dahiku.

Pelan-pelan ku kayuh, jatuh, ku kayuh lagi, jatuh lagi.

Tapi tak sedetikpun kepercayaan bapak hilang padaku.

Susah payah jatuh dan berdiri lalu jatuh lagi, tapi masih dipegang eratnya sepeda kecil itu dari belakang.

Dan akupun melaju, pelan semakin melaju, menjauh dengan tawa gugup dan senyum senang bapak.

Aku bisa bersepeda.

Dua puluh lima tahun mengayuh hidup,

dua puluh lima tahun menyusuri barmacam jalan, lurus, berbelok,

menikung, berputar balik, menukik turun, mendaki naik,

dengan aspal yang halus mulus,

dengan pasir dan debu, dengan batu-batu.

Tidak sekali ingin kuhentikan kayuhan ini, jalan terlau terjal untuk dilalui..

Tapi ketika sekilas menengok kebelakang,

rasanya terlalu sayang untuk menghentikan perjalanan.

Kenapa aku hanya gowes sendirian?

kemana yang lainnya?

haha, ternyata mereka mencari jalan keberuntungannya sendiri-sendiri,

mencoba peruntungan dengan jalan yang telah dipilih sendiri.

Lamat-lamat kudengar teriakan dari belakang,

"Ya! aku punya kawan!" pikirku.

Gowes bareng, menuju jalan terakhir, tapi bukan tempat pemberhentian akhir..

hmm, halte pertama mungkin.

dengan sepasang pesepeda konyol.

Kring..Kring..

Entah kapan kayuhan ini sampai pada finishnya,

dan kelak bertambah lagi dengan seorang pesepeda kecil yang penuh semangat

dengan keringat gugup sebesar biji jagung di dahinya..

sembari kupegang erat bagian belakang

sepeda kecilnya..

mencoba mengayuh, jatuh, mengayuh lagi, jatuh lagi dan mengayuh lagi..

hingga pesepeda kecil itu melaju menjauh mengayuh kehidupannya.

Dan aku,

tersenyum bangga mengayuh pelan dibelakangnya.

Kring.. Kring..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun