Saat kita menjalani masa-masa sekolah, dari SD, SMP, hingga SMA, baik perempuan maupun laki-laki, kita pasti memiliki teman dekat, bahkan mungkin jumlahnya beberapa orang hingga akhirnya membentuk sebuah sekumpulan teman yang sering bersama-sama ke manapun dan di manapun.Â
Sekumpulan teman dekat itu biasa kita sebut geng, yang cenderung memiliki kedekatan emosi, dan memiliki banyak persamaan, entah nasib, kecerdasan, hobi, karakter, sampai status sosial atau ekonomi.
Geng anak sekolah ada yang biasa-biasa saja atau bersikap sewajarnya saja, dalam arti hanya berkumpul dan bersama-sama, lalu masih berbaur dan berkumpul dengan anak lain yang di luar kumpulannya.
Namun ada juga geng yang sangat "eksklusif", dalam arti hanya mau menerima dan bersama teman yang berada dalam gengnya, lalu menutup rapat keberadaan anak lain di luar kelompoknya.
Bahkan ada juga geng yang "radikal", atau yang sangat loyal kepada sesama teman gengnya dan tak segan-segan "menyerang" anak lain yang mereka anggap mengganggu eksistensi atau harga diri mereka, atau salah seorang dari mereka.Â
Tentu kita cukup sering melihat di internet atau media sosial tentang geng anak sekolah (terutama anak perempuan) yang mem-bully dan melakukan kekerasan fisik kepada anak perempuan lain karena dianggap mengganggu atau "macam-macam" kepada salah seorang di antara mereka.Â
Biasanya yang jadi penyebabnya adalah soal laki-laki, namun tak jarang soal lain juga menjadi penyebab, misalnya soal ledek-meledek, atau dianggap tidak "menghormati" mereka.
Hal ini memang terlihat sangat sepele dan tidak masuk akal bagi orang dewasa, namun bagi anak seumuran mereka, itu adalah hal nyata dan yang cukup lumrah.Â
Terlebih lagi bagi anak ABG hingga remaja yang masih mencari "identitas diri" atau jati diri, memiliki geng, terutama sekumpulan anak yang dianggap "hebat" atau "populer" adalah hal yang luar biasa dan membanggakan, bahkan mungkin bisa dianggap menyamai prestasi akademik sekolah.Â
Karena itu bagi Anak SMP dan Anak SMA, sebuah geng seringkali dianggap lebih dari "keluarga", sehingga harus mendapat perlakuan dan penghargaan yang luar biasa baik dari sesama anggota, maupun dari orang lain, atau merasa kedudukan dan status mereka lebih dari kelompok lain.
Mereka pun memiliki "peraturan tersendiri" yang tidak hanya mengikat kumpulan geng itu sendiri, namun juga untuk anak lain di luar kelompoknya. Tak peduli apapun pendapat orang lain, ataupun kondisi orang lain. Bagi mereka, yang terpenting dan utama adalah "kepentingan" mereka sendiri.Â
Saya tidak mengada-ada mengenai "teori" ini, karena saya mengalami sendiri tentang hal itu sehingga saya bisa mempunyai pendapat dan menarik kesimpulan tersebut.
Mereka semua adalah anak orang kaya yang pekerjaan orangtuanya cukup bonafide. Salah satu dari mereka adalah anak seorang guru yang aktif mengajar di sekolah sekaligus guru BP.Â
Awalnya mereka bersama sekelas di kelas 1 (bila sekarang disebut kelas 7). Lalu mereka bersama lagi di kelas 2. Dan uniknya, semua anak yang sekelas dengan mereka seolah anak yang "disaring" dan "dipilih" oleh mereka sendiri.
Kemudian kebanyakan anak laki-laki yang sekelas adalah anak gaul, atau cukup keren (menurut ukuran ABG saat itu). Sedangkan anak perempuan kebanyakan yang dipilih justru yang pendiam, culun atau tak banyak tingkah, selain tentunya ada juga beberapa orang anak perempuan lain yang cerdas atau gaul yang dipilih, yang biasanya mereka rekrut ke dalam geng mereka, meski tidak ada pemberitahuan secara "tertulis". Namun hal tersebut seperti sudah menjadi "rahasia umum" yang diketahui anak-anak lain, termasuk saya.
Mereka tampak sangat " berkuasa" di sekolah, mulai dari sikap, gaya bicara, tingkah laku, dsb. Semuanya seolah sama persis, dengan satu orang pemimpinnya yang tampak seperti "Ratu Lebah".
Apalagi si Pemimpin tersebut adalah Langganan Juara Kelas di kelasnya dan lalu terpilih sebagai " Ketua OSIS". Benar-benar tampak "sempurna". Para guru pun seolah takjub kepada mereka, terutama kepada Si Pemimpin, yang membuat geng tersebut seolah "tak tersentuh". Mereka pun terlihat sangat akrab dengan banyak guru.
Begitupun ketika kelas 3. Geng tersebut terus satu kelas, dan anak-anak yang sekelas dengan mereka masih satu "type" dengan sebelumnya. Bahkan anak perempuan yang cerdas mereka "buang" hingga tidak sekelas lagi. Sedangkan anak perempuan yang jago nyanyi mereka rekrut, karena mungkin untuk kepentingan lomba "karaoke" saat Pekan Olahraga dan Kesenian.
Tampaknya bagi mereka, anak perempuan lain tidak boleh menjadi "saingan" mereka, apalagi melebihi "level" mereka, kecuali untuk kepentingan tertentu, seperti perlombaan sekolah misalnya. Begitupun dengan anak laki-laki, tidak boleh ada yang lebih cerdas dari "pemimpinnya", sehingga ia bisa terus menjadi Juara Kelas.
Begitulah cerita saya tentang geng anak perempuan ketika saya SMP. Meski mereka tidak pernah mengganggu apalagi mem-bully anak perempuan lain secara fisik.
Namun keberadaan geng tersebut secara mental mempengaruhi anak lain, sehingga secara sadar maupun tidak, diakui atau tidak, anak-anak perempuan lain menjadi tidak nyaman, atau sekadar berada di dekat mereka. Apalagi sampai berurusan atau membuat masalah dengan mereka. Terlebih, di belakang mereka adalah seorang guru di sekolah yang juga merangkap guru BP. Tentu hal tersebut membuat keberadaan mereka benar-benar seperti "Penguasa Sekolah".
Barulah saat SMA, geng tersebut "bubar jalan" karena mereka masuk SMA yang berbeda diakibatkan NEM yang berbeda pula.
Namun sikap dan tingkah laku mereka tampak tak berubah, terutama "Pemimpinnya" (karena kebetulan saya satu SMA bahkan satu kelas dengannya ketika kelas 1 SMA atau kelas 10). Mereka seolah telah "terdoktrin" oleh ajaran dan peraturan yang mereka buat sendiri.
Pengalaman pribadi saya dengan geng anak perempuan di sekolah mungkin dialami juga oleh orang lain di masa lalu, atau mungkin oleh anak sekolah saat ini.
Dalam hal ini tentu diperlukan bimbingan dan arahan dari orangtua kepada putra dan putri masing-masing, dalam memberikan panduan atau pedoman kepada mereka dalam bersikap, bertuturkata, dan bertingkah laku yang baik di manapun dan kapanpun mereka berada. Termasuk saat berada di sekolah dan bersosialisasi dengan teman-teman sekolahnya.
Ada baiknya kita, mengajarkan dan tunjukan kepada mereka untuk menghormati dan menghargai siapapun, termasuk teman-teman mereka, seperti apapun kondisi atau status orang lain.
Begitupun dengan guru-guru di sekolah. Hendaknya selalu bersikap adil dan bijaksana kepada semua anak di sekolah, tanpa memandang apapun juga. Sehingga, tidak ada anak atau kelompok yang "diemaskan" dan "disisihkan" di sekolah, dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial, iri dengki, atau prasangka buruk.
Jangan sungkan juga untuk menegur muridnya yang terlihat "super power" di sekolah, sehingga tercipta suasana yang kondusif dan menyenangkan di sekolah, tanpa terkecuali.Â
Dan khusus bagi orangtua yang kebetulan menjadi guru anaknya di sekolah, cobalah untuk bersikap objektif dan proporsional kepada putra-putri Anda, dan tidak menuruti semua keinginan mereka, termasuk yang menyangkut persoalan di sekolah, karena ini berkaitan dengan anak-anak lain yang jumlahnya tidak sedikit.
Jangan sampai Anda salah kaprah dalam memberikan kasih sayang kepada sang buah hati.
Jangan lupa juga bahwa anak lain yang bukan anak Anda adalah "anak didik" Anda juga yang kedudukannya setara di sekolah.
Memiliki geng ketika sekolah memang menyenangkan, karena selain lebih akrab dalam berbicara, bersenda gurau, curhat, atau diskusi tentang banyak hal, menghabiskan waktu bersama-sama ke banyak tempat, juga bisa mempelajari dan mendapatkan banyak hal dari teman geng kita.
Namun tentu saja hal tersebut harus dalam batas yang wajar dan sehat. Jangan sampai hal tersebut berpengaruh buruk bagi mental dan psikologis mereka sendiri yang terbawa hingga dewasa.
Ingat bahwa "dunia luar" tidak sama dengan dunia sekolah. Kita akan menemui orang-orang dan masalah yang jauh lebih kompleks dan rumit dibandingkan ketika zaman sekolah.
Kalau kita terus beranggapan bahwa kita adalah orang yang paling hebat dan berkuasa, sedangkan orang lain lebih rendah dan buruk dari kita, tentu itu bukan hal yang baik untuk diri kita sendiri.
Keberadaan kita dan geng kita juga jangan sampai "mengganggu" terlebih menyakiti orang lain. Atau malah sampai menimbulkan kebencian atau permusuhan bagi orang lain, yang meskipun secara terselubung dan tidak selalu ditunjukan dari tiap orang. Akan tetapi, memori dan dampaknya akan terbawa pula hingga dewasa.
Apalagi jika kita tak memiliki kesempatan untuk merubah "citra" tersebut. Tentu citra kita yang dululah yang akan selalu diingat oleh orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H