Oleh Amidi
Dengan usainya hasil perhitungan suara perolehan dalam Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka sudah dapat dipastikan calon yang memperoleh suara terbanyak adalah calon yang memenangkan persaingan dalam ajang Pilkada tersebut alias terpilih.
Kini kita sudah mengetahui siapa yang akan memimpin daerah kita, tinggal diresmikan saja melalui pelantikan yang akan dilakukan beberapa bulan lagi. Dengan demikian, maka setiap daerah sudah akan memiliki pemimpin baru, kecuali calon yang melawan kotak kosong yang perolehan suaranya belum memenuhi syarat sebagai pemenang.
Biaya Politik Mahal?
Bila disimak, ternyata biaya politik (politic cost) yang dikeluarkan oleh calon yang ikut bertarung dalam Pilkada tersebut tidak lah kecil. Ada yang harus merogoh koceknya puluhan miliyar rupiah bahkan ratusan milyar rupiah bahkan konon ada yang lebih dari itu.
Ternyata memang biaya politik itu mahal?
Biaya politik yang memang nyata dilakukan atau dikeluarkan calon dan tim sukses calon yakni dana promosi atau kampanye yang terbilang tidak kecil yang digunakan untuk "menjual diri" atau mempengaruhi pemilih agar memilih dirinya.
Belum lagi "konon" ada biaya politik untuk bisa dicalonkan oleh "lembaga" yang akan mencalonkan mereka, ditambah jika ada kegiatan melakukan "siraman" menjelang hari H atau menjelang waktu pencoblosan.
Bila disimak berita media massa atau media sosial, biaya politik selain dana promosi tersebut memang itu ada dan nyata, termasuk ada oknum yang memberikan "siraman" tersebut (lihat dan baca media massa dan media sosial).
Dana "siraman" yang dilakukan oknum tersebut, terkadang tidak tanggung-tanggung, yang jelas akan menambah besar pengeluaran atau biaya politik mereka.
Masih Ada yang Menganggap Investasi
Biaya politik yang tidak kecil yang mereka keluarkan tersebut, terkadang dianggap oknum calon dan oknum tim calon sebagai "investasi" yang mereka tanamkan, jika oknum dari kalangan mereka tersebut memenangkan persaingan atau pertarungan dalam Pilkada tersebut.
Sehingga, dengan serta merta, ada oknum calon dan oknum tim calon yang setelah calon jagoan mereka tersebut dinyatakan sah terpilih atau dinyatakan sah sebagai pimpinan daerah tersebut, mulailah oknum dari kalangan mereka menghitung-hitung atau mulailah mengkalkulasi, nanti saya (oknum) harus dapat ini dan itu, mulailah mengkalkulasi berapa lama investasi yang dikeluarkan akan kembali.
Jika biaya politik tersebut dianggap investasi, maka akan ada upaya untuk mengembalikan dana yang diinvestasikan tersebut dan bukan tidak mungkin semua aktivitas yang akan oknum lakukan, oknum akan lakukan dengan hitung-hitungan rupiah. Jika oknum tersebut akan mengambil kebijakan ini dan itu, berapa hitungan rupiah yang akan terima.
Dengan demikian, wajar, kalau ada oknum pimpinan daerah yang terjerat "korupsi" yang menyalahgunakan wewenangnya, yang menggunakan kekuasaan untuk menjaring rupiah dan seterusnya.
Kondisi tersebut, terkadang diperparah oleh oknum tim calon atau oknum sponsor yang juga menganggap dana yang dikeluarkannya tersebut sebagai "investasi". Sehingga oknum dari kalangan mereka pun mulai menghitung-hitung kapan investasi yang dikeluarkan tersebut akan kembali.
Fenomena ini lah yang akan mendorong oknum melakukan tindakan "korupsi" tersebut, tidak hanya oknum pimpinan kepala daerah, tetapi oknum sebagai pemberi dana atau oknum yang mendorong agar oknum calon terpilih pun biasanya akan terlibat "korupsi" pula.
Tempo.co, 7 Mei 2024, mensitir 61 kepala daerah jadi tersangka korupsi pada periode tahun 2021-2023.
AntaraNews.com, 14 Agustus 2024 memberitakan bahwa KPK RI menyatakan ada 167 kepala daerah terjerat korupsi sepanjang tahun 2004-2024.
CNN Indonesia.com, 16 Januari 202 menyatakan bahwa Tahun 2023 KPK telah menjerat tersangka 1 menteri, Wamen dan 6 kepala daerah.
Kompas.com, 19 Desember 202 juga mensitir bahwa ada 4 kepala daerah dilakukan OTT oleh KPK pada tahun 2023.
Mengapa Bisa Terjadi?
Memang, jika masih ada oknum kepala daerah yang memenangkan persaingan atau pertarungan Pilkada senantiasa berorientasi atau beranggapan bahwa biaya politik tersebut adalah investasi, maka korupsi akan tetap merajalela.
Kemudian, biasanya korupsi yang dilakukan mereka tersebut melibatkan pihak lain, pihak swasta dan pihak yang terkait lainnya. Sehingga, angka korupsi tersebut semakin "gede". Dengan demikian, maka angka kerugian negara pun "semakin gede".
Kondisi ini bertentangan dengan apa yang telah menjadi program prioritas Bapak Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut.
Jika terjadi kebocoran di sana sini, maka dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan atau untuk memburu pertumbuhan ekonomi tersebut akan "menguap". Jika dana tersebut tidak dimanfaatkan pada tempatnya bisa saja akan menyebabkan program yang akan dilaksanakan "terganggu alias macet".
Bila dirunut, jika dana yang akan digunakan untuk pembangunan tersebut "menguap" bukan hanya akan menghambat pembangunan atau mengganggu pertumbuhan ekonomi saja, tetapi akan "mensengsarakan rakyat". Kesejahteraan rakyat akan sulit untuk ditingkatkan, dan atau langkah untuk mensejahterakan rakyat akan terhambat.
Bagaimana Sebaiknya?
Bila dicermati, memang tidak mudah untuk menuju kondisi ideal tersebut, memang tidak mudah menuju pemerintahan yang bersih (clean government) tersebut. Padahal bapak Presiden Prabowo Subianto terus mencanangkan agar semua pimpinan negeri ini atau daerah ini dapat menjalankan dan mendukung clean government.
Untuk menuju clean government tersebut, memang tidak mudah, tetapi bisa kita mulai, kalau tidak kapan lagi?
Bapak Presiden Prabowo Subianto kita sendiri terus mencananagkan clean government, KPK sudah berupaya sekuat tenaga untuk mencegah penyalah gunaan wewenang yang akan mendorong korupsi tersebut.
Untuk itu, setidaknya harus ada langkah perubahan mendasar yakni mulai dari mengubah paradigma, misalnya sebelum kita mencalonkan calon jagoan kita, kita pastikan calon tersebut adalah orang yang akan memperjuangkan negeri ini dan atau daerah ini, bukan orang yang punya hitung-hitungan investasi, bukan orang yang hanya ingin gagah-gagahan sekadar untuk menyandang status sosial sebagai "petinggi negeri ini dan atau petinggi daerah ini".
Kemudian kita pun harus menghentikan kebiasaan kita mendorong seseorang untuk menjadi pimpinan negeri ini dan atau daerah ini agar kita bisa mengambil keuntungan dari mereka memimpin tersebut.
Kita harus memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada Bapak Presiden yang telah memberi contoh dan berkorban menggunakan dana pribadi sebanyak Rp. 2,5 milyar.
AntaraNews.com, memberitakan bahwa Bapak Prabowo menggelontorkan dana pribadi sebanyak Rp. 2,5 miliar untuk bansos (lihat AntaraNews.com, 4 Desember 2024). Semoga tindakan Bapak Presiden ini akan banyak yang meniru dan mengikutinya, rakyat sudah menanti.
Jika ini yang terjadi, kita tidak bisa membayangkan bagaimana laju pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi, harapan kita pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut bukan hanya ilusi tetapi akan menjadi kenyataan.
Dengan demikian, jadikanlah Pilkada Ajang untuk melakukan Perjuangan. agar negeri yang kaya raya akan SDA ini, akan dikelola dengan lebih maksimal lagi, karena didukung oleh pendanaan atau investasi yang terus meningkat akibat adanya efisiensi tersebut dan terus akan mendorong kesejahteraan anak negeri ini. Selamat Berjuang!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H