Oleh Amidi
Saat ini Pertamina telah  menerapkan sistem  scan barcode untuk membeli BBM bersubsidi. Secara  resmi telah diberlakukan pada 1 Oktober 2024 yang lalu, konsumen yang akan membeli BBM  subsidi terutama jenis pertalite harus memiliki barcode atau  QR Code. (CNBC Indonesia, 07 September 2024)
Adapun tujuan pemerintah memberlakukan pembelian BBM subsidi dengan sistem  QR code  tersebut adalah agar penyaluran/penjualan  BBM subsidi tepat sasaran alias efektif.
Memang bila kita simak, selama ini penjualan BBM subsidi sering terjadi penyimpangan, konsumen yang selayaknyalah tidak boleh membeli BBM subsidi tersebut, masih juga melakukannya. Mereka tidak merasa "malu", bila mereka memiliki mobil yang tergolong "mewah" atau bukan mobil sejuta umat, tetapi mereka membeli  BBM subsidi jenis pertalite atau jenis solar.
Sehingga masih terjadi penyimpangan,  bukan rahasia umum lagi  jika orang kaya  ikut membeli BBM subsidi, dilapangan terjadi lebih dari 60 persen BBM subsidi justru dinimati  orang kaya. Â
Subsidi BBM terus membengkak, Â menyebabkan anggran terus membesar, sehingga membebani anggaran negara. Kementerian ESDM menetapkan target subsidi energi pada tahun 2024 ini mencapai Rp. 186,9 triliun. Â Untuk BBM dan LPG sebesar Rp. 113,3 trilun dan kelistrikan mencapai Rp 73,6 triliun. (CnbcIndonesia.com, 16 Januari 2024)
Â
Subsidi Masih diperlukan!
Sebenarnya, subsidi BBM jenis pertalite dan solar tetsebut masih dibutuhkan oleh konsumen selaku pemilik kendaraan, terutama bagi kosumen BBM yang memiliki kendaraan dengan CC kecil (dibawah 1.500 CC) dan atau konsumen BBM yang membeli kendaraan secara kredit.
Berdasarkan catatan, sekitar 70-80 persen pemeblian kendaraan mini bus dan kendaraan penumpang dibeli  dengan cara kredit.
Sekali lagi bahwa  BBM subsidi tersebut masih dibutuhkan oleh masyarakat kelas menegah atau konsumen  yang membeli kendaraan secara kredit. Walaupun selisih (spread) harga BBM non subsidi (pertamamax) dengan BBM subsidi (pertalite), saat ini masih relatif kecil, hanya selisih Rp. 2000,- per liter (harga BBM pertamax Rp. 12.000,- per liter sedangkan harga BBM subsidi pertalite Rp. 10.000,- per liter). Namun, bagi kelas menengah dan atau konsumen yang membeli kendaraan dengan cara kredit, selisih tersebut sangat berarti.
Bila dikalkulasi, seandainya konsumen BBM membeli 10 liter pertamax berarti konsumen akan mengeluarkan uang  sebesar Rp. 120.000,- Bila  konsumen membeli pertalite, maka dengan uang Rp. 120.000,- tersebut, konsumen bisa membeli pertalite sebanyak 12 liter (selisih 2 liter). Dengan demikian, semakin banyak konsumen membeli pertamax, maka semakin besar pula selisih harganya.
Nah, perhitungan ini, masih  mereka lakukan, karena mereka mempertimbangkan juga besaran pengeluaran lainnya  atas kebutuhan yang mereka harus penuhi juga.
Apakah Efektif ?
Dengan memberlakukan pembelian BBM subsidi jenis pertalite dan solar tersebut dengan sistem barkode atau QR code tersebut, apakah penyaluran atau penjualan BBM subsidi akan tepat sasaran atau bisa efektif?
Untuk menjawabnya, perlu penulusan dan analis. Namun, secara  sederhana bisa di jawab, bisa efefktif dan bisa juga belum efektif atau tidak efefktif, kita masih perlu waktu untuk membuktikannya.
Namun, setidaknya, dengan pembelakukan pembelian BBM subsidi terutama jenis pertalite, setidaknya sudah dapat mengerem penyimpangan penggunaan/pemakaian/penjualan BBM subsidi. Secara kasat mata, kita  bisa  menyaksikan dilapangan bahwa apabila  konsumen yang akan membeli BBM subsidi tersebut tidak memiliki  QR code, maka pihak SPBU tidak akan melayani.
Dalam jangka pendek fenomena ini sepertinya masih bisa dipertahankan, namun dalam jangka panjang, bisa saja akan terjadi penyimpangan dan atau penyalah gunaan pemakaian QR code  tersebut.
Penyimpangan bisa saja dilakukan oleh oknum pihak SPBU atau oknum pelayan SPBU, dan juga bisa saja disalah gunakan oleh oknum konsumen yang akan membeli BBM subsidi itu sendiri.
Misalnya, pihak  SPBU tidak mau "ribet", jika konsumen yang sudah datang ke SPBU untuk membeli BBM subsidi, sementara konsumen tersebut tidak atau belum memiliki QR code, maka bisa saja oknum pihak SPBU masih melayani konsumen tersebut, atau oknum pihak SPBU meminta konsumen tersebut meminjam QR code orang lain, agar  oknum pihak SPBU tersebut mau melayani konsumen  tersebut.
Jika ini yang terjadi, tidak ada masalah, jika  konsumen yang dipinjam QR code tersebut, memang konsumen yang benar-benar masih layak mendapatkan subsidi BBM.
Namun,  bila ada fenomena, konsumen yang memiliki mobil dengan CC besar (di atas 1.500 CC), mengunakan QR code  atau membuat QR code  dengan data mobil dengan CC kecil (di bawah 1.500 CC), sementara konsumen tersebut membeli BBM subsidi untuk mobil yang dimilikinya dengan CC besar (di atas 1.500 CC) atau mobil yang tergolong mewah.
Fenomena ini bisa terjadi, karena kita hanya membatasi CC kendaraan, sementara pemilik kendaraan tersebut, bisa saja orang dari kalangan kelas menengah, karena mobil tersebut diperolehnya dari "hadiah" atau dari "pemberian orang lain", sementara ia tergolong kelas mengah yang belum mampu membeli BBM non subsidi tersebut.
Memang fenomena ini, tidak begitu mempengaruhi penyimpangan BBM subsidi, karena jumlah konsumen yang demikian tidak banyak. Namun, bila sikap metal yang melatari-nya, saya yakin penyimpangan seperti ini  masih terjadi dan terjadi dalam jumalah yang besar/banyak, apalagi bila pihak SPBU tidak selektif dalam melayani pembelian BBM subsidi tersebut.
Bila diperhatikan, selama ini tidak sedikit kendaraan  yang selayaknya tidak diperbolehkan membeli BBM subsdi atau dengan kata lain tidak layak mendapatkan subsidi, justru mereka membeli BBM subsidi. Saya sering "iseng" menanyakan pada salah satu petugas SPBU,  pada saat mobil  saya sudah mendekti petugas SPBU setelah antri dibelakang mobil tersebut, "dek/mbak/mas, mobil tadi membeli pertalite atau pertamax, jawab mereka pertalite pak.
Nah, jika itu dilakukan oleh banyak pemilik kendaraan yang selayaknya tidak mendapatkan subsidi, mereka membeli BBM subsidi, maka jelas akan terjadi penyimpangan dan akan menyebabkan subsidi BBM tidak efektif.
Dengan demikian, sistem pemeblian BBM subsidi dengan QR code  sudah baik, namun, masih perlu pemantauan dilapangan, terutama jika ada penyimpangan, terutama jika masih ada konsumen yang "mengabaikan" aspek moral.
Idealnya,  jika bukan hak kita, mengapa kita harus mengambilnya. Jika kita tergolong kalangan menengah atas atau "orang kaya", mengapa kita harus mengambil hak orang lain, yang memang berhak atas subsidi BBM tersebut. Dengan demikian, masih kembali kepada konsumen-nya. QR code  yang sudah diberlakukan tersebut, dalam hal aspek moral harus dikedepankan, agar tidak lagi terjadi  penyimpangan,  sehingga  subsidi BBM bisa efeftkif. Semoga!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H