Oleh Amidi
Unit bisnis yang bangkrut atau colaps di negeri ini, bukan hanya baru-baru ini saja, tetapi sebenarnya sejak lama melanda negeri ini. Hanya intensitasnya mulai meningkat sejak adanya pandemi, pasca pandemi dan sampai saat ini.Â
Kemudian, unit bisnis yang bangkrut, tidak hanya dialami oleh unit bisnis yang dimiliki pihak swasta, seperti "sritex", tetapi dialami juga oleh BUMN. Seperti yang diungkap oleh Iwan  Purwantono,  "Jangankan Sritex, BUMN Juga Banyak Yang Bangkrut". Ini daftarnya;
PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Pesero)
PT Istaka Karya (Pesero)
PT Kertas Kraft Aceh
PT Industri Gelas (Pesero)
PT Industri Sandang Nusantara (Pesero)
Merpati Nusantara Airlines
Kertas Leces
BUMN yang sudah bangkrut tersebut secara rinci dapat dilihat dalam inilah.com, 24 Oktober 2024.
Selama ini, di negeri ini tidak sedikit unit bisnis milik swasta yang juga bangkrut, seperi di Palembang; Giant, Ramayana, Pabrik Ban Intirub, dan masih ada lagi yang lainnya, belum lagi unit bisnis skala kecil atau UMKM, yang tidak bisa dirinci disini. Di Kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan pun demikian.
Â
Mengapa Mereka Bangkrut?
Bila ditelusuri, beragam faktor penyebab mereka bangkrut.  Ada yang bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan unit bisnis sejenis dan atau sesama yang memproduksi/menjual produk lokal sendiri. Ada yang bangkrut karena tidak bisa bersaing dengan produk luar yang masuk, seperti sritex yang digempur oleh tekstil dari negeri China. Ada yang bangkrut karena mis-manajemen, sehingga lambat laun operasional-nya menurun dan akhirnya terhenti. Ada yang bangkrut, karena terindikasi "membangkrutkan" diri. Ada yang bangkrut karena  faktor lainnya.
Kemudian, akhir-akhir ini, penyebab unit bisnis yang ada di negeri ini bangkrut, faktor dominan penyebabnya karena turunnya daya beli (purchasing power). Kita tahu, bahwa pasca pandemi sampai saat ini,  permintaan kalangan menengah dan bawah  terus mengalami penurunan. Betapa tidak? Karena kalangan menengah dan bawah dihadapkan pada kondisi ekonomi sulit, kebanyakan mereka sudah "makan tabungan", karena tidak sedikit dari kalangan mereka yang kena PHK, tidak sedikit unit bisnis yang stagnan, kesemuanya akan menurunkan pendapatan, yang pada akhirnya berdampak pada turunnya daya beli tersebut.
Turunnya daya beli, akan mendorong kapsitas produksi ikut turun, selanjutnya kembali akan mendorong unit bisnis melakukan PHK, karena pelaku bisnis tidak mampu mempertahankan operasional produksinya atau unit bisnisnya, maka lama-kelamaan akan mendorong mereka "bangkrut".
Â
Pengawasan Mutlak!
Bila dicermati, ditengah hiruk pikuknya unit bisnis mengalami kesulitan operasional yang mendorong mereka bangkrut tersebut, ternyata ada pemandangan lain yang disaksikan oleh anak negeri ini yakni tidak sedikit pula pelaku bisnis selaku pendatang baru yang masuk pasar. Ada pelaku bisnis pendatang baru  dibidang kuliner, dibidang bahan bangunan, dibidang ritel dan seterusnya.
Mereka yang terbilang baru masuk pasar tersebut, ternyata berlomba-lomba memperbanyak unit bisnisnya dan bahkan ada membuat/mempunyai program akan mempunyai  gerai/toko/tenant sebanyak-banyaknya.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin mereka ini akan menjadi pesaing dan akan menggeser unit bisnis sejenis yang sudah ada. Dilapangan, bisa kita saksikan, betapa "gebyar"-nya mereka, Â jika sesama unit bisnis tidak mampu mengimbangi mereka, maka bukan tidak mungkin akan mendorong mereka (pelaku bisnis yang sudah ada dan sudah eksis selama ini) Â juga akan bangkrut.
Untuk itu perlu ada pengaturan. Apakah tidak sebaiknya, begitu ada unit bisnis dan atau pelaku bisnis baru yang akan masuk, dicermati terlebih dahulu. Apakah pelaku bisnis yang akan masuk tersebut akan membahayakan bagi pelaku bisnis yang sudah ada?
Apakah pelaku  bisnis yang akan masuk tersebut, akan mengambil/memburu konsumen pelaku bisnis yang sudah ada, sehingga konsumen pelaku bisnis yang sudaha ada tersebut bergeser/pindah ke pelaku bisnis baru tersebut ?. Masih banyak, pertanyaan yang harus dilontarkan sebelum menerima pelaku bisnsi baru yang akan masuk tersebut.
Pemberian izin dan non izin kepada pelaku bisnis yang baru yang akan masuk tersebut harus selektif mungkin. Jangan sampai pemberian izin dipermudah, tanpa mempertimbangkan ekses yang akan timbul.Â
Memang negeri ini masih membutuhkan hadirnya pelaku bisnis-pelaku bisnis baru, karena rasio pelaku bisnis dengan jumlah penduduk masih relatif kecil. Memang negeri ini membutuhkan hadirnya pelaku investasi baru-pelaku invesatsi baru, karena memang negeri ini membutuhkan banyak pelaku bisnis dalam rangka meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja (pengangguran).
Produk luar yang masuk atau produk impor yang "meraja lela" masuk ke negeri ini perlu diwanti-wanti.  Memang, negeri ini sudah mengikrarkan diri ikut arus globalisasi, menirima perdagangan bebas, namun tidak ada salahnya, jika  ada semacam pembatasan atau kontrol yang ketat atas produk luar yang masuk ke negeri ini tersebut.
Memang sepertinya negeri ini dihadapkan pada "buah simalakama". Di satu sisi, jika disimak, masuknya produk luar tersebut dan atau maraknya impor tersebut, karena memang produk dari luar tersebut harganya lebih rendah dari harga produk yang ada di negeri ini (karena mereka efisien).Â
Seperti beras saja, di Thailand dan Vietnam  data bulan Mei 2024, harga beras di Thailand  hanya Rp. 9.417,- per kg,  harga beras di Vietnam Rp. 9.091,- per kg, sementara pada bulan yang sama harga beras di negeir ini mencapai Rp. 14.103,-  per kg.
Ini jelas, akan mendorong pelaku bisnis dan atau pemerintah "tergelitik/tergoda" untuk melakukan impor  beras dari Thailand atau vietnam  tersebut. Jika, tidak mempertimbangkan kesatbilan harga dalam negeri da atau nasib petani, memang kegiatan impor beras tersebut sangat menggoda sekali.
Kemudian, tidak ada salahnya jika dilakukan  pengawasam yang ketat, atas pelaku bisnis yang ada di lapangan/di pasar. Jangan sampai terjadi praktik monopoli, jangan sampai terjadi persaingan tidak sehat,  jangan sampai terjadi kegiatan saling memburu konsumen dengan cara mengandalkan kekuatan modal yang mereka miliki, jangan sampai pelaku bisnis selaku pendatang baru "membunuh" pelaku bisnis yang sudah ada dan sudah eksis selama ini.
Â
Stop Bangkrut, Tangani Serius !
Untuk itu, saya yakin kita semua sependapat jika semua pelaku bisnis yang ada di negeri ini bisa bertahan, saling melengkapi, saling bekerja sama, saling isi mengisi, dan berdampingan sambil "bermesraan". Stop bangkrut!.
Pelaku bisnis atau unit bisnis yang sedang berjibaku menghadapi ke-bangkrut-an, pelaku bisnis atau unit bisnis yang akan bangkrut saat ini dan ada kemungkinan ada yang akan menyusul ke depan, perlu ditangani serius, perlu disolusi dengan bijak.
 Setidaknya, pihak yang berwenang dapat menoropong para pelaku bisnis yang ada di negeri ini, apa yang menjadi permasalahan mereka.Â
Jika mereka menghadapi kendala karena adanya "bombardir" produk dari luar, perlu adanya regulasi atau penyempurnaan regulasi yang sudah ada, agar impor dapat dilaksanakan dengan baik.Â
Jika mereka menghadapi kendala modal, perlu adanya suntikan modal tentunya dengan persyaratan tertentu.Â
Jika mereka kesulitan masalah pajak, biaya opetasional yang terus membengkak, perlu pemberian incentif. Jika mereka dihadapkan pada "hight cost economy", perlu adanya faktor pendorong efisiensi dalam operasional mereka. Initinya pertahankan mereka, jangan sampai colaps.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H