Cakada yang akan bertarung dalam kontestasi pemilihan umum tersebut, mulai dari mau memenuhi syarat bisa dicalonkan saja, mereka sudah harus mengeluarkan rupiah yang tidak kecil.
Sehingga tidak jarang, bakal cakada yang sudah memang baliho tersebar di berbagai sudut kota, pada saat penetapan cakada oleh KPU, nama-nya tidak ada, alias tidak jadi mencalonkan diri, karena terkendala dengan rupiah, sehingga mereka tidak mendapatkan pasangan atau tidak ada yang mau menjadikan ia sebagai pasangan.
Belum lagi dalam proses-nya, cakada kembali harus mengeluarkan rupiah yang tidak kecil, baik rupiah yang memang harus dikeluarkan untuk biaya mem-promosi-kan produk atau program maupun rupiah yang harus mereka keluarkan dalam "memburu suara".
Dalam memburu suara tersebut, terkadang cakada pun harus melakukan suatu hal yang tidak demokratis, yakni harus melakukan "transaksional".
Tidak heran, kalau pada menjelang hari H, uang recehan mulai bertebaran menghampiri konsumen atau pemilih, agar konsumen/pemilih akan memilih mereka yang menebar uang tersebut.
Bila dilihat perkembangan, uang/rupiah recehan tersebut makin hari makin marak dan makin bertambah jumlah-nya.
Jika jauh sebelumnya, yang ditebar hanya uang berwarna biru, saat ini uang berwarna merah sudah meraja lela, bahkan tidak hanya selembar, terkadang ada yang menebar dua bahkan tiga lembar untuk ditebar kepada konsumen/pemilih.
Bayangkan saja, jika suara yang akan kita "bidik" ribuan bahkan jutaan konsumen atau pemilih, berapa besar uang/rupiah yang harus dikeluarkan cakada.Â
Suatu angka yang tidak kecil, bukan?
Nah, tindakan atau faktor yang demikian-lah yang terkadang membuat cakada pada saat sudah terpilih dan sudah menjalankan tugasnya, sepertinya sulit jika mereka semata-mata mau "mengabdi", sulit mau mengedepankan kepentingan ekonomi semata dan sulit untuk me-manajemen-i daerah dengan baik.Â
Dengan kata lain, mulai ada unsur pertimbangan "berapa sih uang/rupiah" yang saya sudah keluarkan, bagaimana agar saya bisa memperolehnya kembali?