Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Mencermati Survei BI: Uang Masyarakat Miskin Habis untuk Cicilan

11 September 2024   19:04 Diperbarui: 11 September 2024   19:06 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Oleh Amidi



Hasil survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa  masyarakat kelompok pengeluaran Rp. 1 juta sampai Rp. 3 juta per bulan  menurun pada Agustus 2024, namun pembayaran cicilan untuk  kelompok ini justru naik. (cnbcIndonesia.com,  9 September 2024).


Rasio pengeluaran untuk cicilan masyarakat kelas (ekonomi) menengah dan bawah ini secara umum terus mengalami kenaikan. Dengan kata lain, sebagian besar dari pendapatan atau penghasilan mereka "terkuras" untuk membayar cicilan.

 

Tiada Hari Tanpa Cicilan.

Bila di simak, di kalangan kelas menengah dan bawah tersebut,      sebagian besar mempunyai cicilan, dengan kata lain, sebagian besar dari mereka membeli dengan cara kredit. Pembelian secara kredit tersebut dilakukan mereka, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sekunder-nya saja, seperti membeli kendaraan, rumah, barang elektronik dan lainnya, tetapi untuk memenuhi kebutuhan primer atau untuk membeli barang sandang, seperti pakaian pun terkadang mereka membeli-nya dengan cara kredit. Misalnya, ada pedagang keliling yang menawarkan pakaian kepada emak-emak, yang bisa dibeli dengan  kredit.

Lebih miris lagi, bahwa kepala keluarga kelas menengah dan bawah tersebut, memiliki lebih dari dua cicilan, ada yang harus mencicil untuk tiga pembelian barang, ada yang harus mencicil untuk empat pembelian barang dan seterusnya. Bagi pegawai/karyawan, terkadang, pada saat akan gajian atau akan menerima gaji,  mereka hanya menerima sebagian kecil dari gaji-nya bahkan ada yang hanya tinggal menanda tangani slip gaji saja, karena jumlah gaji yang harus diterima-nya habis untuk membayar cicilan. Dalam hal ini, terkadang tidak sedikit mereka yang harus "nombok" karena  gaji-nya yang akan diterima-nya tidak mencukupi untuk membayar cicilan.

Fenomena ini sudah melanda kebanyakan anak negeri ini dan bukan terjadi baru-baru ini saja, sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan; "tiada hari tanpa cicilan". Mereka, terkadang sudah tidak memikirkan atau tidak menghiraukan lagi kalau mereka sebentar lagi akan menerima gaji atau dikalangan mereka ini, sudah tidak kenal lagi tanggal muda dan tanggal tua (sama saja). Tanggal muda, suatu istilah tanggal pada saat mereka akan menerima gaji (bebebrapa hari dari tanggal mereka menerima gaji) dan tanggal tua, suatu istilah tanggal mendekati akhir bulan (beberapa hari sebelum berakhirnya bulan).

Saya sering mendengar keluhan seorang pekerja, pada saat ada rekan-nya yang lain mempertanyakan kepada diri-nya,  "kita sudah gajian apa belum", karena pada saat ia bertanya tersebut adalah tanggal biasanya mereka menerima gaji (misalnya; tanggal 1 setiap bulan), pekerja yang ditanya oleh rekannya tersebut, menjawab, saya tidak memperdulikan sudah gajian atau belum, karena  gaji saya hanya tersisa sedikit,  habis untuk membayar cicilan.  Lantas, saya bertanya kepada pekerja tersebut, lho, untuk Anda makan-minum bagaimana?. Oh kalau itu, saya peroleh dari bekerja sampingan pada sore hari (baca: ngojek).

Ini lah dinamika yang terjadi, ini lah fenomena yang ada, ini lah kondisi yang ada, sesama pekerja tidak berdaya menyaksikan fenomena tersebut, karena itu "rana" nya pimpinan tempat mereka bekerja, kita, paling-paling bisa memberi pandangan atau nasehat keuangan, itu pun kalau diterima, kabanyakan dari mereka kurang menerima.

 

 

Mengapa Cicilan Menjadi Momok?

Hal mendasar yang menyebabkan para pekerja dan atau kelas menegah  bawah harus mencicil  tersebut, karena gaji yang mereka peroleh tidak memungkinkan atau tidak cukup untuk membeli secara tunai (cash).

Gaji yang mereka terima sebagian besar masih tergolong "kecil" atau "pas-pas-an", bahkan ada yang masih dibawah Upah Minumum Regional (UMR). Contoh di salah satu kota yang UMR nya sudah mencapai angka Rp 3.500.000,- an per bulan, kebanyakan pekerjanya masih menerima gaji hanya berkisar padaa angka Rp. 2.000.000,- an per bulan, bahkan kurang.

Mengapa mereka mau menerima? karena mereka memahami bahwa mencari kerja itu tidak mudah. Mengapa yang mempekerjakan mereka membayar di bawah UMR? Karena mereka mempunyai alasan, mereka belum mampu membayar standar UMR, jika pekerja tidak menerima dibayar sebesar itu, mereka mempunyai anggapan orang lain banyak yang mau bekerja, penggangguran masih banyak. Memang, buah silmalakama!

Mereka mau menerima gaji sebesar itu, karena baru kesempatan itu yang mereka dapatkan, karena tidak ada peluang kerja lain bagi mereka, apa lagi jika mereka yang sedang mencari kerja tersebut belum mempunyai keahlian dan pengalaman.

Kemudian, para pekerja kebanyakan hanya mengandalkan gaji semata.  Mereka tidak mempunyai "passive income" atau pendapatan pasif, yakni pendapatan yang diperoleh dari sumber keuangan pasif atau tanpa bekerja secara aktif. Misalnya, pendapatan pasif dari menyewakan rumah/toko/dll, atau pendapatan  pasif dari investasi atau lainnya.

Kemudian, tidak sedikit pula para pekerja yang "tidak kreatif", sehabis pulang kerja mereka langsung istirahat, tidak melakukan aktivitas lain yang mendatangkan cuan/rupiah.

 

Dengan demikian, bukan para pekerja tidak tahu atau tidak mau menjalankan prinsif pengeluaran yang disarankan oleh ahli keuangan, idealnya hanya 30 persen saja dari gaji untuk digunakan membayar cicilan. Sisanya 40 persen untuk kebutuhan pokok, 30 persen untuk investasi.

Bagaimana mereka mau menerapkan prinsif pengeluaran tersebut, kalau gaji mereka masih kecil, yang ada  jumlah cicilan mereka porsinya akan besar bahkan hampir seluruh gaji digunakan untuk mencicil.

Conoth saja, dikalangan kelas menengah, katakanlah mereka akan mencicil kendaraan (mobil) Rp, 4. Juta-an per bulan dan mencicil rumah (KPR) Rp. 2 juta-an per bulan, maka untuk dua unit barang ini saja mereka harus mengalokasikan gajinya sekitar Rp. 6 sampai 8 juta per bulan. Jika ini yang terjadi, berarti gaji yang mereka harus dapatkan sekitar Rp. 20 juta sampai Rp. 25 juta per bulan ( 30 % X Rp. 20 juta = Rp. 6. Juta). Suatu angka sulit dicapai oleh banyak orang.

 

Menekan Cicilan.

Untuk menekan porsi cicilan, setidaknya, pekerja supaya dapat  memperbesar pendapatan, pemberi kerja supaya menaikkan  gaji pekerja secara berkala yang sesuai, pemerintah dan pemberi kerja sedapat mungkin berkolaborasi dapat membayar  sesuai dengan UMR (misalnya pemerintah memberi incentif).

Bisa juga dari sisi pekerja harus mempunyai pekerjaan sampingan, atau adanya "passive income". Tidak mudah memperoleh pekerjaan sampingan, apalagi bila pekerja tersebut  waktunya sudah terkuras untuk bekerja pada unit kerja-nya.

Jika mereka mau bekerja pada malam hari, tenaga mereka sudah terkuras pada tempat mereka bekerja,  kalau ada yang fisik nya kuat, hanya ada beberapa orang saja, tentu tidak semua bisa.

Penghasilan tambahan itu bagi pekerja yang sudah menghabiskan waktunya di tempat bekerja, hanya bisa menungkinkan jika ia berusaha memperoleh "passive income".

Jika ini dilakukan, maka pekerja akan dapat menekan cicilannya. Artinya gaji yang merupakan pendapatan yang akan diterimanya bisa tidak terkuras oleh cicilan, karena mereka bisa menutupi cicilannya dari penghasilan tambahan tersebut. Jika penghasilan tambahan tersebut mencukupi, bisa saja  semua cicilan akan mereka bayar melalui penghasilan tambahan tersebut.

Menghindari gaya hidup mewah. Sebenarnya, walupun mereka tidak terjebak dengan gaya hidup mewah (hedonis dan glamor)  pun , kebayakan pekerja kita sudah dihantui olel berbagai cicilan, apalagi jika mereka sudah terjerembak ke dalam gaya hidup mewah, maka beban cicilan mereka bisa saja akan semakin besar..

Kemudian untuk   menekan  cicilan tersebut,  berbelanja sesuai kebutuhan, jangan hiraukan lingkungan, jangan mudah terpengaruh iklan dan terpengaruh ini dan itu. Saat ini sepertinya hanya diri kita sendiri yang bisa menolong kita, jangan banyak berharap kepada orang lain atau mereka.  Inilah fakta yang harus  kita terima. Memang miris, tetapi apa mau di kata, kondisi ini harus kita hadapi, kita berharap  pada suatu saat  kita bisa kelaur dari kemiskinan. Semoga!!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun