Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Fakultas Ekonomi dan.Bisnis Universitas Muhamadiyah Palembang

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menyikapi Makanan Tidak Sehat Perlu Back to Basic, Agat Hemat Cuan dan Sehat

30 Juli 2024   09:45 Diperbarui: 30 Juli 2024   14:56 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Amidi

 

 

Pemberitaan kasus penggunaan bahan pengawet berbahaya bagi kesehatan sudah mulai mereda. Sebagaimana pengalaman bahwa setiap adanya kasus penyimpangan bisnis, apakah  penggunaan bahan pengawet berbahaya, penjualan produk kadaluarsa, keracunan makanan, dan seterusnya, biasanya "heboh",  kemudian mereda, menghilang dan tidak lama kemudian terulang kembali.


Kapan persoalan yang satu ini menghilang sama sekali, meminjam lirik lagu Ebiet G Ade, coba  kita bertanya kepada "rumput yang bergoyang" !

 

Kelaziman/Kebiasaan

            

Bila disimak, ada semacam kebiasaan dalam menyikapi fenomena dibelantika "penyimpangan bisnis"  tersebut. Di pik pelaku bisnis yang terindikasi melakukan penyimpangan dengan segala ragamnya, termasuk menggunakan bahan pengawet membahayakan kesehatan tersebut, dapat dipastikan, bila ada "keheboan", akan "membantah" bahwa produk mereka tidak demikian adanya, sudah lolos dari pemeriksaan,  dan setrusnya. Di pihak yang berwenang mengawasi makanan/minuman dan produk lainnya, biasanya sesegera mungkin melakukan tes setelah ada "keheboan" dan hasilnya apakah terbukti  atau tidak biasanya akan dipublis dengan mempersilahkan konsumen untuk menyikapinya.  Di pihak konsumen, dengan adanya "keheboan" tersebut biasanya  "tiaraf" alias tidak mengkonsumsi beberapa waktu produk (makanan/minuman/lainnya)  yang terindikasi tersebut, namun begitu kondisi sudah mereda mulai mengkonsumsi kembali.

Inilah dinamika yang berkembang, inilah kebiasaan yang terjadi, dan inilah sikap yang dapat ditunjukkan oleh beberapa komponen tersebut. Bagi konsumen,  kalau mau mendalami persoalan yang satu ini, sepertinya mengahbiskan waktu, menghabiskan energi, karena pada konten yang tertera tentang bahan-bahan yang terkandung di dalam produk makanan/minuman/lainnya tersebut memang tidak disebutkan kalau meraka yang memproduksinya menggunakan bahan berbahaya bagi kesehatan, kalaupun dicantumkan juga, maaf, mungkin tidak sedikit konsumen yang tidak mengetahui ada itu bahan "A" atau bahan "B" tersebut, biasanya setelah "heboh", baru tahun kalau bahan "A" atau "B" tersebut membahayakan kesehatan mereka.

 

Perlu Kontinuitas.

Kita tahun bahwa memang pelaku bisnis senantiasa berorientasi pada tujuan memperoleh keuntungan dan atau memburu  cuan  dan itu sah-sah saja, namun "mbok ya", kita juga harus memperhatikan etika bisnis yang berlaku. Dengan kata lain, dari sisi agama mana saja, kita juga harus mengedepankan "unsur kebaikan" termasuk "unsur kemanusiaan".

Pencegahan tindakan penyimpangan bisnis dan atau langkah "mengerem" agar penyimpangan bisnis tersebut bisa ditekan atau dihilangkan, sebenarnya bukan hanya kewajiban pihak tertentu saja, tetapi kewajiban kita semua, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.

Jika kita sebagai pihak yang memang berwenang, lakukan lah tugas kita tersebut secara rutin atau  berkala dan harus berimbang demi kepentingan  semua pihak. Jika kita sebagai pemikir (akademisi/pendidik), lakukan tugas "mencerahkan" diberbagai kesempatan, agar semua pihak dapat memerankan perannya sebagaimana mestinya, tidak boleh "menyimpang". Jika kita sebagai pendakwah, mohon agar kita bisa memberikan pembinaan atau memberikan informasi untuk "menggugah" pihak-pihak yang perlu di "gugah" agar tidak melakukan penyimpangan bisnis dan agar mereka terhindar dari tindakan penyimpangan bisnis. Begitu juga seterusnya, lakukan lah sesuai dengan profesi kita masing-masing secara berkesinambungan (kontinuitas).

Back to Basic.

Untuk menghindari  polemik yang berkepanjangan, untuk menghindar dari "kepenatan" dalam mensolusi persoalan yang satu ini, baik bagi pihak yang berkompeten maupun pihak konsumen senidri. Menurut saya, terutama, konsumen tidak ada salahnya  kalau perlu "back to basic", teliti sebelum membeli, memilih makanan yang sehat, menggalakkan makan makanan tradisional, dan setrusnya..

Sikap teliti sebelum membeli harus dikedepankan, sebelum mengkonsumsi makanan/minuman/obat/lainnya, perlu memeriksa terlebih dahulu tanggal kadaluarsa, perlu membaca  bahan yang terkandung dalam suatu produk (makanan/minuman/obta/lainnya) tersebut.

Kebiasaan saya sebelum mengkonsumsi obat, saya buka google dengan mengetik merek obat tersebut, disana kita akan mengetahui kegunaan, cara mimumnya, efeknya, dan lainnya. Jika kondisi diri kita kurang pas dengan apa yang tertera pada konten obat yang kita baca tersebut, mungkin kita hindari mengkonsumsinya, atau kita bertanya kepada dokter yang memberikan obat tersebut. Barangkali pada saat dokter mendiagnosa,  kita tidak memberikan  informasi yang lengkap tentang penyakit dan kondisi diri kita yang sebenarnya?

 Kemudian perlu menggalakkan makanan/minuman/obat/lainnya yang  tradisonal, makanan/minuman /obat/lainnya alami. Misalnya, maaf, jika kita selama ini terbiasa dengan snack roti, mungkin sudah saatnya atau diselingi dengan makan "ubi" goreng/rebus, makan kacang goreng/rebus, dan masih banyak makanan tradisional atau makanan alami.

Pengalaman pada saat sering menguikuti berbagai pertemuan di pulau Jawa, mereka penyelenggara menyediakan snack dalam kotak yang isinya, getuk, kacang rebus, pisang rebus, dan lainnya. Minuman yang disedikan, bandrek dan minuman yang terbuat dari rempah-rempah yang ada. Sehat bukan?

Ini penting, selain kita dapat melestarikan makanan tradisional atau hasil bumi negeri ini, kita juga akan terhindar dari makanan/minuman/lainnya yang tidak sehat, atau makanan/minuman/lainnya yang terdapat unsur  "bahan kimia-nya".

Selain itu cuan yang akan kita keluarkan bisa "hemat" alias  tidak terlalu besar, jika kita membeli makanan siap saji, makanan modern dan makanan racikan impor lainnya.

Untuk menggalakkan makanan tradisional ini, perlu komitmen kita semua, perlu kesadaran kita semua, perlu "mengikis" aspek gengsi kita semua. Biasanya dikalangan anak negeri ini lebih bergengsi bila mereka makan "makanan siap saji", mereka tahan antri berjam-jam pada saat membeli makanan tersebut. Untuk itu, jika kita mau back to basic, kita harus "mengikis" kebiasaan dan rasa gengsi kita.

Bila kita sandingkan penjual gado-gado dengan penjual ayam goreng (fried chicken) di Mal atau di Kaki Lima, maka sudah dapat dipastikan konsumen akan berbondong-bondong menyerbu ayam goreng , ketimbang gado-gado. Inilah fakta yang ada dan inilah dinamikan yang berkembang dibelantika anak negeri ini.

 

Perlu Merubah Kebiasaan.

Untuk back to basic, memang tidak semudah membalik telapak tangan, tidak semuda apa yang kita banyangkan, perlu perjuangan yang tidak ringan, perlu komitmen yang tinggi, perlu penyadaran yang maksimal.

Menurut saya, kita perlu merubah kebiasaan yang selama ini "terpatri" dalam diri kita. Istilah "Aku Anak Keju,Engkau Anak Singkong" mungkin perlu ditiadakan, diganti dengan "Aku Anak Indonesia dan Cinta Indonesia". Saya tidak bisa membayangkan, jika disebagian besar anak negeri ini sudah merubah "minset" --nya, kembali back to basic tersebut.

Dengan demikian, maka tindakan kita merubah kebiasaan mengedepankan makanan sehat, makanan tradisonal, makanan alami tersebut, juga akan mendorong pelaku bisnis akan memberhentikan penggunaan bahan berbahaya bagi kesehatan konsumen dan akan berupaya menjual makanan tradisonal, makanan sehat dan makanan alami.


Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah, bagaimana kedepan ini pelaku bisnis harus dan harus juga back to basic, harus dapat menjunjung tinggi etika bisnis dan harus dapat memposisikan konsumen sebagai raja serta memposisikan konsumen  bagian intergral kemajuan dan perkembangan unit bisnis kita. Artinya konsumen jangan hanya dijadikan objek semata, tetapi konsumen juga harus diposisikan sebagai subjek. Selamat Berjuang!!!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun