Â
Oleh Amidi
Â
Selama ini belum terdengar dan atau belum terungkap, jika ada oknum orang tua murid ikut campur atau atau berperan dalam menentukan keberhasilan anak-nya masuk sekolah negeri. Â Â
Namun, akhir-akhir ini justru santer berita tentang pelekasanaan  Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)  di "rusak" oleh adanya oknum orang tua dan pihak yang tidak bertanggung jawab  melakukan praktik maladminsitrasi dan memberikan cuan/uang  kepada pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut, agar anak-nya bisa masuk sekolah negeri yang mereka tuju.
Â
Fenomena Membisniskan pendidikan.
Jauh sebelumnya, jika ada oknum orang tua murid akan memberikan sesuatu berupa barang atau cuan kepada oknum sang guru begitu tabu, oknum orang tua murid takut jika nanti sang guru "tersinggung", takut justru akan berbalik kepada sang anak.
Bisa saja, anak yang tadinya mungkin berhasil meraih nilai  baik, namun dengan adanya ketersinggungan tersebut, bisa saja oknum sang guru justru merubah-nya dengan nilai yang kurang baik. Dengan kata lain, misalnya nilai anak-anak dalam satu kelas kecil  di "dongkrak" dengan pertimbangan tertentu, namun anak yang oknum orang tuanya memberikan sesuatu tersebut, bisa saja tidak di "dongkrak" atau tidak dinaikkan alias tetap nilai semula.
Sebetulnya, hal demikian tidak boleh dilakukan, namun karena adanya
 unsur emosi atau ketersinggungan tersebut, secara emosi pula oknum sang guru melakukan hal tersebut. Â
Jika dicermati, sah-sah saja oknum sang guru melakukan itu, karena mereka ingin menjaga kridibillitas, Â harkat dan martabat selaku sang guru dan sekolah. Namun, bagaimana pun berdasarkan etika, hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Namun, saat ini, sepertinya pemberian hadiah  justru makin marak. Pendidikan sudah cendrung dibisniskan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
 Nyaris ada rasa "tidak enak" atau "tidak lengkap" bila oknum orang tua murid tidak memberikan hadiah ini dan itu  yang akan "merogoh" kantong mereka pada saat menjelang pembagian rapor.
    Â
Begitu juga dengan adanya tindakan gratifikasi atau pemberian cuan dari oknum orang tua murid, agar anak-nya bisa lulus dalam PPDB tersebut. Hal ini tidak boleh terjadi dan tidak boleh dilakukan.
Sebenarnya sinyalemen ini,  "bau-nya" sudah mulai terasa beberapa tahun terakhir ini, namun tidak bisa dibuktikan dan atau  belum terungkap. Setelah media ramai-ramai mengungkap persoalan yang satu ini, maka masyarakat meyakini  dugaan tersebut, manjadi semakin kuat, dan nyata adanya.
Kompas.com, 21 Juni 2024, memberitakan bahwa Kepala Keasistenan Utama VII Ombudsman, Diah Suryaningrum mengatakan terjadi penyimpangan dalam PPDB, temuan yang paling banyak dilaporkan adalah terkait maladministrasi penyimpangan prosedur, salah satunya titip siswa di Kartu Keluarga (KK) agar anak tersebut bisa ikut PPDB di suatu daerah.
Kompas.com, 30 Juni 2024, mensitir adanya dugaan pungli PPDB di SMA Kota bandung sebagaimana dilaporkan  FAGI dan telah diinvestigasi oleh Satgas Saber Pungli.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menerima 162 laporan masalah PPDB 2024, 42 persen dari jumlah laporan tersebut adalah penipuan nilai di jalur prestasi, banyak calon peserta didik yang seahrusnya  lulus tetapi dinyatakan tidak lulus oleh sekolah, ditemukan di Kota Palembang yang melibatkan beberapa SMA yang melakukan praktik maladministrasi. Praktik jalur gelap  via gratifikasi dan jasa titipan orang dalam (Tempo.co, 25  Juni 2024).
Â
Mengapa Terjadi?
Bila disimak dalam kehidupan yang serba glamor dan hedonis ini, tindakan-tindakan yang tidak etis dan tidak sewajarnya tersebut memungkinkan untuk terjadi.
Dimana anak negeri ini dominan dirasuki oleh keadaan dunia yang serba glamor dan hedonis, untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka cuan memegang peranan penting. Jika anak negeri ini mau "bergaya", "hidup mewah", Â maka harus ada cuan yang cukup untuk mendukungnya.
Belum lagi adanya dorongan  masyarakat yang sering "pamer" kekayaan atau harta yang dimilikinya di ruang publik. Tidak jarang, jika antar anak sekolah saling menonjolkan merek dan tipe HP yang dimilikinya, tidak jarang kalangan emak-emak berlomba-lomba pamer dengan menjinjing tas ber-merek di tangan, dan lainnya.
Kesemua itu, akan mempengaruhi gaya hidup yang lain yang melinat/menyaksikan fenomena tersebut, Â dan memperngaruhi gaya hidup anak negeri ini, terlebih yang tidak mempunyai pendirian.
Belum lagi, jika mereka menyaksikan pelaku bisnis, yang menggoda dengan konten promosi yang "aduhai". Anda cukup mengeluarkan cuan  uang Rp. 50 ribu sehari Anda sudah bisa membeli HP mewah ini, dan seterusnya.
Â
Kembalikan Fungsi Sekolah Sebenarnya.
Sekolah yang bertujuan  untuk mencerdaskan anak bangsa, harus benar-benar dapat diwujudkan. Proses pendidikan yang sudah baik selama ini, harus dikembalikan, dipertahankan  dan di junjung tinggi.
Peserta didik dan  sang guru yang mempunyai kedudukan terhormat dan dihormati, ditiru serta digugu, harus dikembalikan lagi, dan harus benar-benar dijunjung tinggi.
Solusi.
Untuk itu, harus ada solusi yang dapat menggiring kita keluar dari persoalan yang satu ini.
Sistem zonasi untuk pemerataan yang sudah kita berlakukan beberapa tahun ini, perlu dicermati lagi, perlu dievaluasi dan perlu dikaji lagi. Di lapangan ternyata banyak persoalan yang masih mengganjal. Misalnya, di suatu zona atau suatu kawasan belum ada sekolah negeri-nya, belum ada SD, SMP dan SMA/SMK negeri-nya.
Jika pada suatu zona atau kawasan tersebut belum ada sekolah negeri-nya, bagaimana solusi yang harus dilakukan. Apakah ada, pengecualian dengan ketentuan dan peraturan khusus bagi calon anak didik yang mau melanjutkan sekolah ke SD, SMP dan SMA/SMK negeri tersebut.
Untuk mengelimir dan atau menghilangkan adanya oknum yang melakukan pemberian ini dan itu serta tindakan gratifikasi kepada penyelenggara pendidikan atau pihak yang tidak bertanggung jawab, harus ada tindkaan tegas dan pengawasan ketat dari pihak yang berwenang (eksekutif dan legeslatif) atau pihak yang "bertaji".
Pertentangan dalam "bathin" antara mengejar kualitas dengan mengeluarkan cuan atau melakukan tindakan gratifikasi tersebut, harus dikikis. Kualitas pendidikan harus menjadi "panglima" atau harus nomor satu.Â
Biasanya dikalangan orang tua murid berlomba-lomba memburu sekolah negeri (SD,SMP dan SMA/SMK) tersebut, karena mereka berasumsi bahwa sekolah negeri tersebut berkualitas. Â Pernyataan/anggapan tersebut sah-sah saja, karena sekolah negeri dari sisi fasilitas (sarana dan prasarana) tidak ada persoalan, karena dana-nya dari pemerintah.
Â
Disisi lain, ada pula anggapan dikalangan mereka, dengan memberikan cuan atau gratifikasi tersebut, anak mereka bisa masuk sekolah negeri dan dengan masuknya anak mereka ke sekolah negeri, maka akan  mengemat biaya selama menempuh pendidikan tersebut. Jika ber-sekolah di swasta yang "baik" dirasakan mereka mahal.
Namun, kasihan mereka, mana sudah dihadapakan konsisi susah, sudah "makan tabungan", Â mana lagi harus mengeluarkan cuan yang tidak kecil demi memasukkan anaknya sekolah negeri tersebut.
Kemudian langkah terus memperbaiki atau meningkatkan pendapatan sang guru  mutlak harus dilakukan. Saat ini lirik lagu Iwan Fals tentang keadaabn sang guru yang dilukiskan dengan seorang "Oemar Bakri", sudah harus disesuaikan dengan kondisi saat ini. Dahulunya mereka menjalankan tugas dengan bersepeda, kini setidaknya harus sudah menggunakan kendaraan (motor atau mobil).
Bila perlu semua sang guru yang ada di negeri ini semua pada memakai mobil dalam menjalankan tugas mulia nya tersebut. Betapa tidak, jika pendapatan  mereka terus  kita tingkatkan dari tahun ke tahun, mereka  tidak keberatan mencicil pembelian mobil secara keredit.
Penampilan sang guru  ini penting, saya kadang "keki" melihat anak didik dan atau mahasiswa memakai mobil ke sekolah atau ke kampus, sementara sang guru  (guru atau dosen) hanya berjalan kaki atau naik oplet ke sekolah atau ke kampus.
Penampilan ini, bukan hanya untuk kepentingan pencerdas bangsa saja tetapi terpenting adalah untuk sekolah atau untuk kampus mereka. Saya pernah menyaksikan, seorang kepala sekolah memakai mobil  mewah, setelah didalami, ternyata beliau  selain kepala sekolah,  juga seoang pelaku bisnis. Jika ini yang terjadi, selain kredibilitas kepala sekolah, kredibiltas sekolah pun terangkat. Namun sayang ini tidak banyak. Selamat Berjuang!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H