Â
Perlu kehati-hatian.
Untuk menghindari trade-off, perlu prinsip kehati-hatian (prudential), agar kebijakan yang dikatakan pembatasan BBM subsidi tersebut tidak menyalahi konstitusi, tidak  merugikan rakyat dan tidak mengikis kredibilitas pemerintah.
Berdasarkan informasi   bahwa pemerintah  akan  menghapus BBM jenis pertalite, digantikan BBM dengan Pertamax  Green 92,  harganya lebih mahal dari pertalite.  Informasi tersebut  disambut oleh beberapa pihak SPBU, dengan tidak lagi  menjual BBM subsidi jenis pertalite, mereka sudah resmi menjual Pertamax Green 95.
Bila salah bersikap, maka akan menciptakan opportunity cost yang tidak kecil.  Kebijakan  akan diambil harus sudah melalui pembahasan yang matang, hindari "tarik ulur".
Sebelumnya  pemerintah  sudah pernah mengambil  kebijakan  untuk mengatur  BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar, namun dibatalkan. Tempo.co, 12 Maret 2024 memaparkan pada tahun 2014, pemerintah mengambil kebijkaan menggunakan alat deteksi Radio Frequency Identification (RFID) untuk mengefektifkan  penggunaan BBM subsidi.
Alat tersebut dipasang gratis di SPBU oleh kontraktor yang ditunjuk. Sudah ratusan ribu kendaraan dipasang alat deteksi RFID, namun tiba-tiba  pemerintah membatalkannya.
Pada bulan Juli 2022, pemerintah kembali akan mengatur  BBM  subsidi dengan menggunakan  aplikasi MyPertamina. Pemohon diharuskan  mendaftarkan kendaraannya beserta melengkapi persyaratan yang telah ditentukan. Namun, lagi-lagi  kebijakan ini kembali batal diterapkan.
Dari dua  kebijakan tersebut, memberi kesan bahwa kebijakan yang diambil masih try and error  dan belum menyentuh pada substansi yang sebenarnya. Mengingat pemakai BBM subsidi terus bertambah  dan sebagian besar dari kelompok pemakai memang tergolong "pemakai yang masih harus diberi subsidi", maka  subsidi  masih  diperlukan.  Selain itu, subsidi pun diperlukan  dalam rangka mendorong pertumbuhan dan investasi sektor tertentu, seperti usaha kecil,  dan pertanian, yang akan membantu pemerintah menekan angka pengangguran.
Kemudian masih diperlukannya subsidi BBM tersebut, pemilik kendaraan yang ada di negeri ini mayoritas bukan karena  "berduit", kebanyakan mereka membeli secara kredit dan akan digunakan untuk memburu rupiah. Artinya mereka membeli kendaraan tersebut  sesungguhnya belum sejahtera,  karena dipaksakan, wajar kalau tidak sedikit pemilik kendaraan  yang menunggak pembayaran pajak, karena kendala keuangan.
Agar  subsidi  tepat sasaran, maka  sebaiknya diganti dengan merubah model kebijakan pemberian subsidi.  Menurut hemat saya,  subsidi BBM  idealnya diberikan kepada subjek (pemakai BBM)  bukan kepada objeknya (BBM).