Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Apakah Pelaku Usaha Dapat Bertahan akibat Produknya Kena Boikot?

27 November 2023   14:49 Diperbarui: 3 Desember 2023   17:03 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Amidi

Aksi boikot sebagian besar anak negeri ini terhadap produk-produk yang diproduksi pelaku usaha yang diduga terafiliasi dengan suatu negara yang berada dalam "pertikaian" atau sedang "berkonflik" (Israel), saat ini masih terus menggaung.

Bila disimak, aksi boikot terhadap produk-produk yang diproduksi pelaku usaha tersebut bukan fenomena baru, tetapi tindakan "boikot" tersebut sudah sering terjadi di negeri ini, hanya intensitasnya saja yang berbeda. Kali ini, aksi boikot, sepertinya terus menggaung bahkan lebih gencar lagi.

Mengapa Boikot terjadi?

Bila kita telusuri, aksi boikot terhadap produk-produk yang diproduksi oleh pelaku usaha yang diduga terafiliasi dengan Israel tersebut, terlepas dari menyimak faktor pendorongnya (agama), yang jelas aksi perang dan atau perbuatan yang tidak manusiawi, perbuatan tersebut membuat anak negeri ini dan anak negara lain yang peduli "geram".

Terlepas dari aspek agama negara yang kena "serang" (Palestina) dari perbuatan tersebut, yang jelas dari aspek kemanusiaan, perbuatan tersebut tidak "manusiawi", sehingga wajar, kalau anak negeri ini dan termasuk anak negara lain yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan merasa "geram", "emosi memuncak" dan "terdorong" untuk melakukan tindakan boikot, aksi-aksi positif serta pembelaan berupa keinginan agar pertikaian tersebut segera diakhiri, karena perdamaian harus dijunjung tinggi.

Betapa tidak, akibat pertikaian tersebut, anak kecil, orang yang lemah/tua renta, "tewas" diterjang peluru yang sangat dahsyat tersebut. Selaku manusia yang di dalam sanubarinya masih terpatri nilai kemanusiaannya, wajar kalau dalam dirinya "berontak", "mengutuk keras", agar pertikaian segera diakhiri.

Radarjogja.jawapos.com, 21 November 2023, menyoroti aksi boikot beberapa brand yang memberikan dukungan pada Israel, masih kencang dilakukan, tidak hanya di negeri ini tetapi dilakukan juga oleh pendukung Palestina di seluruh dunia, salah satunya terjadi di Melbourne Australia.

Fuji Pratiwi, republika.co.id, 24 November 2023, mensinyalir bahwa dampak boikot, menyebabkan gerai Starbucks dan McD sepi sehingga penjualan mereka anjlok 70 persen.

Romys Binekasari, cnbcindonesia.com, 22 November 2023, mensinyalir bahwa Pengelola Pizza Hut RI mencatat kerugian bersih tahun berjalan hingga kuartal III tahun 2023 sebesar Rp38,95 milyar. Restoran Pizza Hut sendiri menjadi salah satu produk yang terkena boikot karena diduga terafiliasi dengan Israel.

Yusron Hidayatullah, pitutur.id, 19 November 2023, mengatakan sejumlah masyarakat Indonesia yang mendukung perjuangan Palestina menggalang aksi boikot terhadap produk-produk Unilever, karena mereka menilai Unilever mendukung Israel, negara yang sedang berkonflik dengan Palestina. Aksi boikot tersebut disikapi pihak Unilever dengan memberikan diskon besar-besar hingga 50 persen untuk produk-produknya.

Strategi Bisnis Tidak Begitu Mempan

Strategi bisnis yang dilakukan pelaku usaha, apakah dalam bentuk strategi promosi, strategi produk, strategi lainnya dan atau model pemasaran lain, bila dalam kondisi normal (tidak dalam kondisi boikot), secara signifikan memang akan mempengaruhi volume penjualan, penjualan bisa meningkat belipat ganda.

Namun, strategi bisnis yang dilakukan pelaku usaha dengan adanya aksi boikot tersebut, apakah berpengaruh positif terhadap penjualan produk mereka? Ini masih perlu dikaji dan diteliti lebih jauh lagi. 

Secara kasat mata, strategi bisnis (seperti diskon besar-besaran) belum maksimal mengantisipasi dampak boikot atau belum mempan menghalangi boikot yang akan mendorong turunnya permintaan atau volume penjualan produk mereka.

Memang kalau disimak berita media secara kasat mata bahwa ada beberapa pelaku usaha yang produknya kena boikot mengalami penurunan omzet dan atau menderita kerugian. 

Namun, bila kita cermati, apakah benar penurunan omzet dan atau kerugian yang mereka alami tersebut memang semata-mata disebabkan oleh adanya aksi boikot atau mungkin ada faktor lain, misalnya adanya kenaikan harga faktor produksi karena kenaikan tingkat inflasi, adanya kenaikan UMR, adanya pendatang baru yang menjual produk sejenis dengan harga bersaing, sehingga mendorong ongkos produksi meningkat, permintaan turun yang menyebabkan kerugian.

Dalam perkembangannya, ada beberapa pihak yang meragukan bahwa aksi boikot berpengaruh positif terhadap turunnya permintaan terhadap produk yang kena boikot tersebut. 

Pengamat ekonomi, Mohammad Faisal memperkirakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merekomendasikan umat Islam untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk Israel dan yang terafiliasi dengan Israel pengaruhnya tidak akan terlalu signifikan. (bbc.com, 15 November 2023)

Konsumen Sudah "ngebet" karena didikte selama ini

Jika disimak dengan seksama, aksi boikot tersebut sah-sah saja dan memang tidak bisa dihindari, apalagi mengingat ketika rasa emosi sudah memuncak dalam menyikapi pertikaian atau terjadinya konflik antar dua negara tersebut.

Namun, bila dipelajari lebih jauh lagi, ternyata aksi boikot ini tidak terlalu signifikan atau tidak berhubungan positif dengan apa yang kita harapkan. 

Diharapkan konsumen yang mayoritas di negeri ini akan mengerem permintaannya terhadap suatu produk yang diproduksi oleh pelaku usaha yang diduga terafiliasi dengan Israel, ternyata masih saja melakukan permintaan/membelinya. Kondisi ini bisa kita saksikan sendiri bahwa gerai-gerai mereka tetap ramai, alias tetap dikunjungi konsumen.

Memang, jika aksi boikot tersebut dapat menekan permintaan produk-produk mereka tersebut, akan memberi dampak positif bagi industri di dalam negeri. Seperti pernyataan Direktur Jendral Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Andika bahwa ajakan boikot produk Israel yang ramai digaungkan di media sosial menjadi momentum yang baik untuk memperkuat industri dalam negeri. (Mandra, rri.co.id, 01 November 2023)

Dengan menyimak uraian di atas, diduga pelaku usaha yang produknya kena boikot tersebut, masih akan bertahan. Apalagi bila menilik pengalaman boikot sebelumnya, tidak lama boikot berlangsung, tidak lama kemudian, pelaku usaha yang kena boikot masih tetap eksis.

Mengapa aksi boikot tersebut sepertinya masih belum memenuhi harapan? 

Jawabnya, karena konsumen sudah "ngebet" dengan produk-produk yang kena boikot tersebut. Misalnya makanan siap saji, anak negeri ini merasa bangga jika mengonsumsi makanan tersebut, dalam hal ini mereka lebih menonjolkan prestise ketimbang nutrisi dan kesehatan. Mereka rela antre panjang, sekadar untuk mengonsumsi makanan yang satu itu.

Mungkin tidak berlebihan kalau muncul suatu pernyataan, "sebagian besar perut bahkan mungkin semua perut anak negeri ini sudah tersentuh/di isi mie instan" atau "tiada hari tanpa makan makanan instan atau siap saji". Kemudian anak negeri ini sebagian besar sudah gandrung dengan produk-produk yang mereka boikot tersebut.

Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya diungkap adalah ketika anak negeri ini akan beralih ke produk sejenis, "made-in" dalam negeri, terkadang kita belum siap dan terkadang produk tersebut belum dapat memenuhi apa maunya anak negeri ini. Dengan demikian, wajar kalau adanya ajakan boikot tersebut, tetap saja mereka masih mengonsumsi produk yang kena boikot tersebut.

Bagaimana Sebaiknya?

Untuk menyikapi persoalan yang satu ini, ternyata kita harus bijak, jangan sampai tindakan yang baik tersebut, justru menimbulkan ekses negatif bagi diri kita sendiri, jangan sampai tindakan yang baik tersebut tidak dapat mewujudkan apa yang kita harapkan.

Untuk itu, (maaf sekadar saran), agar tindakan boikot tersebut efektif, harus diikuti dengan kesiapan kita dalam menggantikan produk yang kena boikot tersebut dengan produk yang diproduksi anak negeri ini. 

Untuk merealisasikan ini, perlu komitmen yang kuat dan kemauan yang keras dari semua komponen yang berkompeten untuk mendorong pelaku usaha yang diperankan oleh anak negeri ini agar tetap eksis.

Kesemua ini barang tentu harus didukung dari sisi kualitas, cita rasa, dan aspek yang melekat pada produk yang diinginkan anak negeri ini selaku konsumen. Jika tidak, tetap saja mereka akan beralih kepada produk-produk anak negeri lain atau pelaku usaha yang bukan diperankan oleh anak negeri ini.

Saya yakin kita bisa, saat ini saja sudah ada berapa produk yang digandrungi anak negeri ini yang mereka peroleh/beli dari pelaku usaha yang diperankan oleh anak negeri ini, seperti produk kosmetik, produk makanan, dan beberapa produk lainnya. 

Kedepan, tinggal memperbanyak saja dan harus disajikan sesuai dengan "apa maunya" anak negeri ini selaku konsumen, karena konsumen adalah raja yang harus dilayani dan dimanjakan. 

Selamat berjuang!!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun