Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pasien Rumah Sakit Masih Terkontraksi, Perlu Terobosan untuk Membangkitkannya

12 Oktober 2023   17:12 Diperbarui: 12 Oktober 2023   17:19 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Amidi

Pada saat pandemi memuncak, rumah sakit yang ada di negeri ini lumpuh, hampir tidak beraktifitas sama sekali. Layanan pengobatan hanya tertuju untuk menolong pasien terkena covid-19, karena pasien yang sakit (diluar covid-19) takut untuk mengunjungi rumah sakit untuk berobat, tidak hanya rawat inap, tetapi rawat jalan pun demikian.

Tidak hanya pasien, tenaga kesehatan, dokter, perawat dan tenaga administrasi rumah sakit pun dihantui rasa takut, mereka harus berjibaku membantu pasien covid-19 dengan memakai alat pelindung diri (APD) yang serba ketat dan panas.

Namun setelah pandemi melandai, kondisi yang mencekam di rumah sakit sudah mulai menurun, tepatnya pada tahun 2022 lalu kondisi rumah sakit sudah mulai terlihat normal kembali, bahkan terlihat perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya sudah mulai tidak memakai masker lagi.

Pasien yang menurun dan sepi pada saat itu, kini sudah mulai terlihat ramai kembali, namun tidak "senormal" kondisi sebelum covod-19. Ada sebagain rumah sakit yang masih sulit mendongkrak kembali jumlah pasien-nya. Pada saat itu pasien terkontraksi atau mengalami penurunan  80 persen lebih (Beritasatu.com, 16 Pebruari 2021)

Kini pemilik atau pemimpin rumah sakit  masih terus berjuang dalam rangka mengembalikan kondisi "normal" yang pernah mereka capai pada saat sebelum pandemi.

Berkurangnya pasien rumah sakit tersebut, selain karena adanya pandemi, juga karena adanya penghapusan asuransi dan atau jaminan kesehatan masyarakat yang dialihkan pada asurasi BPJS. Kemudian, BPJS pun terus melakukan revisi regulasi-nya sehingga saat ini ada pembatasan kelas, ada pembatasan tempat tidur dan lainnya.

CNBCIndonesia, 09 Pebruari 2023, menisir bahwa Menteri Kesehatan RI memastikan penerapan  kelas rawat inap standar (KRIS) dimulai tahun ini  secara bertahap hingga 2025. Dengan demikian, pada saatnya kelas 1,2 dan 3  yang maseh berlaku saat ini akan dihapus.

Masa Kejayaan Sudah Lenyap.

Pada tahun tahun 2008 yang lalu, pemerintah telah menggelontorkan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Selain Jamkesmas,  yang sejenis adalah KIS, dan Jamkesda yang diperuntukkan  kepada  masyarakat miskin dan tidak mampu.

Pada saat itu rumah sakit yang mengikuti program Jamkesmas dan sejenisnya tersebut, "bak dapat durian runtuh", pasien membludak/ramai/antri panjang, karena berobat "gratis", terutama untuk masyarakat miskin dan tidak mampu.

Jika sebelumnya, mereka menahan untuk berobat karena tidak mempunyai uang, maka dengan adanya Jamkesmas tersebut, dengan adanya berobat gratis tersebut, mereka bisa dengan serta merta  untuk berkunjung ke rumah sakit untuk berobat.

Rumah sakit yang mengikuti program tersebut merasakan masa kejayaannya, rumah sakit yang tadi hanya memiliki gedung sederhana dan seadanya, disulap menjadi memiliki  banyak gedung dan dirancang menawan. Pendapatan rumah sakit melonjak tajam, seiring dengan jumlah pasien berobat.

Sebagai contoh saja salah satu rumah sakit swasta tipe C di Kota Palembang, yang biasanya jumlah pasien-nya dapat dihitung dengan "mecongak", pada saat itu jumlah pasiennya mencapai lima ratus pasien per hari, bahkan lebih, karena ditambah adanya program berobat gratis dari Pemerintah Daerah sebagai realisasi program-nya pada saat mereka kampanye.

Pengalaman saya pada saat diberi amanah sebagai Direktur Keuangan-nya, saya membuktikan sendiri, kalau pendapatan rumah sakit melonjak tajam, tagihan lancar, ditambah (alhamdulillah) saya mempunyai akses untuk menagih kepada pemerintah daerah yang mengadakan program berobat gratis tersebut. Singkat kata, rumah sakit benar-benar mencapai masa kejayaannya.

Kemudian Jamkesnas dihapus diagnti dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan selanjutnya menjadi Badan  Penyelenggara  Jaminan Sosial (BPJS) yang mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014, di bidang kesehatan, BPJS Kesehatan, dibidang ketenagakerjaan,  BPJS Ketenagakerjaan.

Walaupun Jamkesmas dihapus, diganti BPJS Kesehatan, pasien rumah sakit masih bertahan seperti  adanya pada saat adanya program Jamkesmas waktu itu, hanya terjadi penurunan yang relatif kecil, karena BPJS Kesehatan berbayar, sedangakn Jamkemas gratis.

Kini rumah sakit harus menyesuaikan diri dengan regulasi yang dibuat pihak  BPJS Kesehatan, klaim tidak lancar, ada aturan ini dan itu dan seterusnya, sehingga pasien pun saat ini masih terkontraski. 

Pada saat saya masih diberi amanah (tahun 2010-2018) tagihan rumah sakit ke pihak BPJS Kesehatan masih lancar-lancar saja, namun kini, sudah mulai tersendat dan tidak sedikit tagihan  setelah mereka verifikasi tidak layak bayar, yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung, akibat tidak layak bayar tersebut, ada rumah sakit beberapa bulan sampai menderita kerugian 1-2 milyar, suatu angka yang cukup pantastis, bukan?

Terobosan Baru Harus Dilakukan.

Bagaimana mengembalikan masa kejayaan yang pernah dicapai rumah sakit dan atau mendongkrak kembali pasien yang terkontraksi tersebut, setidaknya pemilik atau pimpinan rumah sakit harus melakukan beberapa terobosan berikut ini.

Pemerintah perlu membuka kembali Jaminan Sosial  yang tidak berbayar, kasihan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu,. Jika  dahulu kita kenal dengan program Jamkesmas, mungkin kini perlu penyesuaian nama dan format program saja. Kemudian pihak BPJS Kesehatan tidak ada salahnya kalau disubsidi oleh pemerintah, karena iuran peserta terkadang tidak dapat mengcover semua tagihan rumah sakit yang masuk ke BPJS Kesehatan.

Pemilik atau Pimpinan rumah sakit harus menyikapi perubahan-perubahan regulasi yang dibuat BPJS Kesehatan, setidaknya langkah antsipasi berkurangnya kunjungan pasien berobat mutlak dilakukan. Dalam hal ini rumah sakit lah yang harus    menyesuaikan dengan regulasi BPJS Kesehatan tersebut, karena rumah sakit berada pada posisi yang lemah, dan karena rumah sakit (terutama swasta) kebanyakan mengandalkan pendapatannya dari klaim BPJS Kesehatan itu sendiri.

Perbaiki dan tingkatkan kegiatan pemasaran. Pemilik atau pimpinan rumah sakit harus memposisikan diri sebagai manager atau CEO pada perusahaan pada umumnya. Berbagai kegiatan pemasaran terutama promosi harus dilakukan dengan gencar, pelayanan prima tidak bisa ditawar-tawar.

Layanan per orangan (home care) perlu ditingkatkan. Tidak ada salahnya pihak rumah sakit "hunting" menjual jasa layanan ke rumah-rumah, yang harus didukung oleh media IT yang mumpuni untuk calon pasien mengakses layanan kita.

Kerja sama antar perusahaan dan atau institusi, baik pemerintah maupun swasta sangat perlu dilkukan. Misalnya kerja sama untuk chek up bagi karyawan yang baru masuk dan karyawan yang sudah lama dan atau kerjasama untuk pemeriksaan penunjang. Misalnya kerja sama dengan fasilitas kesehatan (paskes), dokter keluarga dan atau klinik-klinik swasta yang belum mempunyai alat check-up, atau alat untuk  pemeriksaan penunjang  pun,  bisa kita lakukan.

Diversifikasi produk. Jika selama ini kita terjebak dengan menjual jasa kesehatan pada umumnya, kini kita dapat menjual jasa kesehatan berupa  jasa konsultasi kesehatan, jasa kesehatan lingkungan, jasa kecantikan (skin   beauty care),  layanan 24 jam diluar IGD dengan menghadirkan dokter spesialis.

Harga berobat harus trasnfaran. Kemudian, kebiasaan kita selama ini dalam menentukan harga jual atau jasa berobat tidak terbuka/transfaran, maka kini sudah saatnya kita memberi informasi sejelas-jelasnya mengenai harga jasa pengobatan yang kita lakukan tersebut, terutama bagi yang akan berobat umum.

Format penjualan jasa kesehatan/pengobatan yang ditawarkan rumah sakit, harus dimaknai dengan produk dan atau jasa  sebagaimana yang ditawarkan oleh unit bisnis pada umumnya. Artinya, pelayanan atau service memang harus menjadi andalan  di rumah sakit. Rumah sakit memang diformat untuk menyehatkan orang sakit, jangan justru orang sakit bertambah sakit.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah unsur "humanity" dalam pelayanan terhadap pasien memang tidak boleh dilupakan dan slogan "pasien safety and quality" pun demikian, serta unsur atau faktor eksternal pun harus diperhatikan. 

Misalnya, jika rumah sakit kita sebagai "teaching hospital", rumah sakit pedidikan,  maka mahasiswa-mahasiswa yang praktek harus dapat memberi rasa nyaman terhadap pasien bukan sebaliknya membuat pasien terganggu. Selamat Berjuang!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun