El Nino yang mengakibatkan curah hujan berkurang mendorong musim kemarau panjang, tak ayal lagi terjadi kekeringan yang mendorong terjadinya gagal panen.Â
Saat ini, petani di negeri ini, sebagian besar gagal panen, terutama petani yang mengandalkan curah/air hujan.
Gagal panen menyebabkan stok gabah/padi yang dihasilkan petani berkurang, sehingga mendorong stok beras menipis.
Kondisi ini yang memicu kenaikan harga beras beberapa pekan belakangan ini, di pasar harga beras premium sudah mencapai Rp. 15.000,- per kq, belum lagi jika ada permainan ditingkat pedagang, maka harga beras tersebut bisa saja lebih tinggi lagi.
Bila dicermati kondisi dilapangan, menunjukkan bahwa cadangan beras nasional terancam akan terganggu. Disinyalir republika.id bahwa cadangan beras pemerintah yang tersimpan di Bulog berada dalam kondisi minim sejak akhir tahun lalu hingga pertengahan 2023.Â
Sementara itu, situasi perberasan nasional dihantui ancaman kemarau ekstrem akibat adanya El Nino yang diproyeksi mencapai puncaknya pada semenster kedua tahun ini.
Namun, Badan Pangan Nasional tetap sigap menyikapi kondisi ini. Badan Pangan Nasional telah menetapkan kebutuhan cadangan beras tahun 2023 sebanyak 2,4 juta ton dan harus dalam kendali bulog. Sebanyak 1,2 juta ton digunakan untuk kebutuhan operasi pasar, sementara 1,2 juta ton sisanya untuk persediaan akhir tahun 2023 sebagai stok awal 2024 (republika.id, 07 Juli 2023)
Sementara itu BPS, yang diwakili oleh Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan bahwa dalam beberapa bulan ke depan hingga awal tahun 2024, produksi beras akan memasuki level terendah dibadingkan bulan-bulan sebelumnya (CNBCIndonesia, 13 September 2023)
Dalam menyikapi kenaikan harga beras ini pemerintah telah melanjutkan program bantuan sosial beras 10 kg, dengan membagikannya kepada masyarakat yang berhak menerimanya dan melakukan impor beras secara bertahap. Hal ini dilakukan pemerintah dalam rangka mengendalikan harga beras di pasar agar tidak terus melonjak.
Namun, impor tersebut dinilai belum mampu mensolusi permasalahan yang satu ini. Salah satu anak negeri ini yang merupakan anggota Fraksi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang juga anggota Komisi IV di DPR RI, Ema Umiyyatul Chusnah, menilai bahwa kebijakan impor beras belum mampu mengatasi masalah, baik harga maupun ketersediaan beras di dalam negeri. Ia meminta pemerintah memiliki strategi kebijakan jangka panjang terkait masalah ini (CNBC Indonesia, 13 September 2023).
Lagu lama mengalun kembali.
Terlepas dari itu semua, yang jelas persoalan yang satu ini harus disikapi dengan bijak, agar penderitaan anak negeri ini tidak bertambah berat.Â
Apalagi beras merupakan kebutuhan pokok yang sangat esensial dalam rangka memenuhi kebutuhan akan pangan berupa karbohidrat bagi anak negeri ini.
Bila kita simak, kenaikan harga beras akibat stok beras menipis alias stok beras nasional terganggu tersebut, sebenarnya merupakan "lagu lama mengalun kembali", permasalahan yang sudah sering terjadi dan terus terulang kembali.
Pengalaman tahun-tahun lalu, begitu stok beras minipis atau berkurangnya stok beras nasional karena adanya El Nino yang mendorong kemarau panjang, atau karena gangguan alam atau bencana alam lainnya, hampir dapat dipastikan akan mendorong naiknya harga beras.
Apalagi kenaikan harga beras saat ini bertepatan dengan tidak lama lagi negeri ini akan menggelar pesta demokrasi (baca: pemilu), bila tidak diantisipasi dan disikapi dengan bijak, dikhawatirkan akan mengganggu jalannya pesta demokrasi tersebut.
Kemudian, bila kita perhatikan, setiap ada fenomena adanya kenaikan harga beras, langkah yang kita lakukan berorientasi pada solusi jangka pendek dan instan yakni melakukan impor beras. Saya mencermati, fenomena kenaikan harga beras tersebut belum kita sikapi dengan solusi mengambil kebijakan yang berorientasi jangka panjang.
Impor, memang salah satu jalan untuk meredam gejolak harga suatu produk di pasar, namun sifatnya jangka pendek dan memberi dampak kepada unit yang lain.Â
Petani akan terdepak, kepentingan petani terabaikan, karena dengan impor beras, harga di tingkat petani akan jatuh. Bukan tidak mungkin kita dihadapkan pada kondisi "sudah jatuh tertimpa tangga".
Saya memperhatikan kebiasaan lama anak negeri ini, kebiasaan yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu, sudah tidak kita lakukan lagi, yakni menyimpan padi dalam suatu kotak yang kita kenal dengan lumbung padi.
Lumbung tersebut bertujuan untuk menyetok atau sebagai cadangan apabila ada gangguan panen atau gagal panen. Lumbung juga bisa berfungsi sebagai media untuk memenuhi kebutuhan dasar/pokok petani sehari-hari, bila petani yang mempunyai lumbung tersebut dalam keadaan terdesak, butuh uang, maka padi yang ada dalam lumbung bisa dijual.
Mengapa kebiasaan ini lenyap/menghilang? Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkannya. Petani yang memiliki lahan sendiri sudah berkurang, dengan kata lain tidak sedikit petani yang hanya bekerja (mengambil upahan) pada petani yang masih memiliki lahan, belum lagi adanya fenomena lahan petani yang dijual/disulap menjadi bangunan bahkan sudah berubah menjadi "ruko".Â
Kemudian, produksi padi yang dihasilkan petani sudah memang tidak maksimal, karena faktor tanah, faktor musin yang tidak menentu dan faktor teknologi.
Selanjutnya, petani pun dihadapkan pada kondisi kesulitan keuangan dalam proses produksinya. Tidak sedikit petani menjual produk (padi) nya dengan "sistim ijon", karena mereka memebutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau untuk membiayai produksi mereka.Â
Tidak sedikit petani yang sudah mengambil uang (meng-utang) terlebih dahulu kepada pemilik modal didaerah, dengan maksud apabila tiba musim panen, maka semua hasil panen harus dijual petani kepada pemilik modal tersebut, yang nota bene harga produk petani akan sangat ditentukan (di dikte) oleh pemilik modal tersebut.
Dengan demikian, maka lumbung tersebut memang sangat diperlukan oleh petani.Dalam hal ini petani baru dapat menyimpan padi dalam lumbung apabila petani dapat keluar dari persoalan di atas.
Lumbung tersebut sebenarnya bisa saja diusahakan pemerintah daerah melalui program lumbung pangan, seperti yang pernah dilakukan oleh salah satu Gubernur Sumatera Provinsi Selatan pada masa itu. Namun sayang, begitu ada pergantian pimpinan daerah, program yang baik ini dihilangkan atau tidak dilanjutkan.
Untuk itu, pihak yang berwenang atau berkompeten, sedapat mungkin mengambil sikap dalam men-solusi persoalan yang satu ini. Menurut hemat saya, lumbung ditingkat petani tersebut masih perlu disediakan. Jika masih ada masalah yang mengganjal, mari kita duduk bersama untuk mencarikan solusi-nya.
Petani perlu kita bantu dari sisi permodalan, incentif, dan bantuan peralatan dan atau teknologi yang dapat meningkatkan produksi mereka.Â
Koperasi ditingkat petani pun perlu dipertahankan, hal ini penting, dalam rangka menekan sisitem ijon dan agar petani tidak di dikte. Kemudian, lahan pertanian yang dimiliki petani pun sedapat mungkin kita pertahankan.
Lumbung pangan yang harus dimotori oleh pemerintah daerah perlu digalakkan, selain untuk menghimpun produk pangan yang diproduksi oleh petani, dalam jangka panjang diharapkan dapat menjaga kestabilan harga produk pangan (beras) didaerah tersebut.
Kemduian dalam jangka panjang, petani harus kita dorong untuk dapat memproduksi produk pangan ini (panen) setidaknya minimal 2 kali setahun bahkan kalau bisa 3-4 kali setahun.Â
Untuk mendukungnya, produktifitas petani harus ditingkatkan dengan bantuan teknologi dan permodalan yang memadai, sehingga ke depan menjadi petani sebagai besar akan didambakan anak negeri ini. Mindset menjadi petani kurang menggembirakan akan berubah menjadi profesi yang diburu. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya