Beberapa tahun  yang lalu, masyarakat  pada umumnya dan konsumen pada khususnya sempat mempersoalkan kebijakan kantong plastik  berbayar. Â
Kantong  plastik berbayar diterapkan  pada saat konsumen berbelanja di toko atau gerai ritel, konsumen dibebankan untuk membayar kontong plastik yang disediakan oleh toko atau gerai ritel untuk menenteng /membawa barang-barang yang mereka beli tersebut.
Namun, seiring dengan bergulirnya sang waktu dan mengingat konusumen tidak mau "ribet" dengan urusan yang satu ini, maka kantong plastik berbayar tersebut berjalan dan aman-aman saja. Sepertinya konsumen  menerima saja dengan kebijakan/ketentuan/pemberlakukan kantong plastik berbayar tersebut.Â
Apakah benar konsumen memang menerimanya, atau konsumen tak berdaya dengan persoalan yang satu ini?
Memang sebelumnya sudah banyak tulisan yang menyoroti persoalan yang satu ini, namun saya merasa masih perlu mengangkat persoalan yang satu ini, mengingat kantong plastik berbayar terus berjalan dan lagi pula mengingat tidak sedikit hak konsumen yang diabaikan oleh mereka selama ini.
Kilas Balik
Kebijakan kantong plastik berbayar dimaksudkan untuk mengantisipasi dampak sampah plastik yang terus bertambah, karena sampah plastik sulit diurai, dan dimaksudkan juga untuk mendorong perilaku masyarakat  agar lebih bijak dalm penggunaan kantong plastik.
Saat ini berdasarkan data  dari Greeneration  rata-rata pemakaian kantong plastik per orang  di negeri ini adalah 700 lembar per tahun. Sampah kantong plastik dinegeri ini sudah mencapai 4.000 ton per hari, sehingga  sekitar 100 miliar kantong plastik dikonsumsi per tahunnya.
Sehubungan dengan itu, sehingga keluar Surat Edaran: Nomor: SE-06/PSLB3-PS/2015 tentang langkah antisipasi  penerapan kebijakan kantong plastik berbayar pada usaha ritel modern.Â
Kebijakan plastik berbayar resmi diterapkan pada ritel modern, pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia( APRI) sepakat memberlakukan penggunaan kantong plastik berbayar seharga Rp.200 per lembar untuk mengurangi limbah plastik mulai 21 Februari 2016 bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional (CNN Indonesia.com, 22 Februari 2016).
Awalnya, hanya beberapa kota saja yang menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar tersebut, namun karena dilandasai beberapa pertimbangan (terlebih petimbangan ekonomi dari sisi pelaku usaha), sehingga diikuti pula oleh kota lain di negeri ini, termasuk  Kota Palembang yang berada di Provinsi Sumatera Selatan.
Di Palembang sendiri sejak tahun 2022 lalu, penerapan kantong plastik berbayar tersebut mulai gencar diberlkukan, berbagai tanggapan konsumen, ada pro dan ada kontra. Begitu juga tanggapan masyarakat termasuk para pengamat ekonomi dan lingkungan pun, ada yang pro dan ada yang kontra. Â (SRIPOKU.com, 31 Agustus 2022).
Konsumen Acuh atau Tak Berdaya
Mencermati kebijakan dan pemberlakukan kantong plastik berbayar tersebut, ternyata justru  menguntungkan pelaku usaha  (toko dan atau gerai ritel) yang menerapkan atau memberlakukannya, dan merugikan konsumen.
 Salah satu hak konsumen yakni hak konsumen harus mendapatkan  pelayanan yang baik dari pelaku usaha  (toko dan atau gerai ritel) tempat mereka berbelanja tesebut, sepertinya terabaikan.
Pelayanan yang baik terhadap konsumen tersebut salah satunya konsumen harus dapat membawa barang-barang yang dibelinya tersebut dengan nyaman, untuk itu tempat mereka berbelanja harus menyediakan "wadah" atau kantong plastik tersebut. Sementara kantong plastik yang harus mereka dapatkan tersebut berbayar dengan harga kisaran antara Rp 200,- sampai dengan Rp 500,-
Bila dikalkulasi secara sederhana saja, misalnya suatu group gerai  ritel modern di  suatu kota yang jumlahnya 100 unit  tersebut  telah menerapkan kantong plastik berbayar dengan  menetapkan Rp 200,- per kantong plastik.
Seandainya konsumen yang  berelanja di 100 unit ritel modern tersebut  sebanyak 1.000  orang per hari, dengan asumsi satu konsumen satu kantong plastik, maka akan terkumpul uang sebesar Rp 20.000.000,-  per hari, suatu angka yang tergolong cukup tinggi, bukan!
Wajar, kalau persoalan yang satu ini menggelitik pelaku usaha  lain (di luar ritel modern)  yang ada hubungannya dengan penyediaan kantong plastik untuk membawa barang yang dibeli konsumen di suatu toko atau gerai tertentu juga akan memberlakukan kantong plastik berbayar. Misalnya ada juga toko atau gerai menerapkan kantong plastik berbayar dan goodie bag berbayar, yang harganya dengan kisaran untuk kantong plastik  Rp 200,-  per kntong dan untuk goodie bag sebesar Rp 500,- per goodie bag.
Beberapa konsumen  yang berbelanja ditempat yang memberlakukn kantong plastik berbayar tersebut, pada saat ditanya ada konsumen yang acuh tak acuh dengan penerapan kantong plastik berbayar tersebut, ada yang merasa berkeberatan, ada yang tidak menerima sama sekali, ada yang hanya menahan diri saja, sambil  "menggerutu", dengan kata lain  tak berdaya. Dengan demikian, tidak semua konsumen menerima begitu saja penerapan kantong plastik berbayar tersebut. Â
Ada yang berujar,  kok, "berbayar", kita kan berbelanja, ya harus diberi wadah dong (kantong plastik) untuk mewabawa brang yang kita beli tersebut, masak kantong plastik disuruh bawak sendiri dari rumah atau masak membawa barang-barang dengan menenteng tangan kiri-kanan, ngak lucu dong (itu salah satu dialek bentuk  keluhan konsumen).
Bagi konsumen yang membeli barang dengan partai kecil, atau hanya membeli minuman, snack, atau barang lainnya yang bisa di "tenteng" dengan tangan, mereka tidak mau diberikan kantong plastik, karena akan dikenakan Rp 200,- per kantong.Â
Saya sendiri, pada saat mampir membeli air minum dan roti untuk persediaan dimobil disalah satu gerai ritel modern, sebelum kasir mengentri barang yang kita beli, saya dahului, "Dik saya tidak pakai kantong plastik, saya bawak saja langsung ke mobil".Â
Anehnya, terkadang belum sempat kita menyampaikan bahwa kita tidak pakai kantong plastik, si kasir buru-buru sudah mengentri harga kantong plastik di strup yang akan di "print" nya tersebut. Ini jelas "mengangkangi" hak-hak konsumen. Untuk memberi pelajaran kepada kasir, saya hanya berujuar, "Konfirmasikan dulu dengan konsumen, jangan langsung entri."
Bila dismimak penerapan kantong plastik berbayar tersebut tidak memberi dampak  "pengurangan" penggunaan kantong plastik, yang terjadi yakni berapa banyak konsumen berbelanja, sebanyak itu pula kantong plastik yang digunakan/keluar.Â
Untuk mensolusi persoalan yang satu ini, pihak yang berkompeten, termasuk Dinas Perdagangan,  terlebih lagi  Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) harus duduk satu meja "bagaimana sebiknya".
Agar tidak membebani konsumen lebih baik di "stop" saja, sembari menemukan tehnologi yang bisa menyulap sampah kantong plastik tersebut menjadi sesuatu yang bernilai sehingga tidak mengancam lingkungan. Langkah ini penting, agar kantong plastik berbayar  tidak  memberi peluang bagi mereka  untuk meraup keuntungan  yang berlipat dan tidak merugikan  serta tidak merampas hak konsumen. Selamat Berjuang!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H