ini konsumen sudah dimanjakan oleh pelaku usaha, mereka sudah membuka juga unit usahanya di kampung-kampung, ditingkat kecamatan sampai ke tingkat Rukun Tetangga (RT) dalam suatu Kota, sehingga konsumen untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari sudah tidak harus pergi ke mal atau toko yang berada di pusat kota, karena di kawasan perkampungan mereka sudah ada unit-unit usaha yang menawarkan barang-barang tersebut.
Seperti yang sudah pernah saya sampaikan bahwa saatBahkan kini pelaku usaha pun berlomba-lomba membuka unit usaha di kawasan perkampungan tersebut.Â
Tidak heran, kalau sebelumnya di jalan protokol kawasan perkampungan yang terdapat rumah penduduk, terutama rumah penduduk barisan depan, kini sudah tidak ada lagi, sudah berubah menjadi rumah toko (ruko), gerai, penginapan, hotel, dan dijadikan tempat unit usaha lainnya.
Tidak hanya itu, Indomaret dan Alfmart pun sudah merambah sampai ke RT-RT bahkan pelasok perkampungan termasuk di desa-desa. Tidak saja, di mana ada permukiman di tingkat RT di sana ada Indomaret dan Alfamart.Â
Di Palembang, hampir semua RT sudah ada unit usaha ritel modern ini.
Lantas, bagaimana dengan warung usaha rakyat yang ada di kampung-kampung tersebut? Apakah akan kalah bersaing dan lama-kelamaan akan mati/tutup alias bangkrut atau sedapat mungkin harus dipertahankan?
Menurut hemat saya, warung yang merupakan usaha rakyat tersebut sedapat mungkin harus dipertahankan dan atau harus tetap hidup berdampingan dengan ritel modern  tersebut.
Dari kasat mata saja, sudah terlihat bahwa kehadiran ritel besar dan atau ritel modern tersebut akan mengalahkan ritel kecil atau warung yang ada di perkampungan tersebut.Â
Tidak sedikit warung tersebut yang sudah colaps. Sehingga, wajar kalau pada saat berkunjung ke Sumatera Barat waktu itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar mengingatkan  kepala daerah agar jangan sampai ritel besar masuk ke desa-desa.
Lebih lanjut dikatakannya kehadiran ritel besar akan mematikan usaha rakyat. Kemudian beliau juga mensinyalir bahwa dari berbagai survei dan penelitian ritel besar dapat dipastikan membunuh berbagai usaha warga desa. Namun pada saat mengakhiri perbincangannya, beliau berucap, "Bagi ritel besar yang terlanjur masuk desa, biarkanlah. Tapi ke depan sebisanya ritel ini cukup di perkotaan saja". (Liputan6.com, 28 Agustus 2021)
Terlepas pernyataan tersebut timbul dari nurani yang dalam atau tidak, yang jelas persoalan yang satu ini hendaknya menjadi perhatian kita semua, bagaimana sebaiknya ritel kecil warung yang merupakan usaha rakyat tersebut dapat bertahan di tengah gempuran ritel besar dan atau ritel modern tersebut.
Bila kita cermati, sebenarnya tidak hanya ritel kecil saja yang kewalahan mengahadapi ritel besar atau ritel modern tersebut, tetapi sesama ritel besar dan atau ritel modern pun juga berjuang untuk mempertahankan diri agar tetap bertahan.
Pada saat ini ritel besar dan atau ritel modern tersebut tidak sedikit yang sudah colaps karena tidak bisa bertahan dengan adanya bisnis digital, dan atau e-commerce yang menjarmur.Â
Di kota-kota besar termasuk di Palembang, ritel besar, dan atau ritel modern yang sudah colaps tersebut adalah 7 eleven, Giant, Ramayana dan beberapa yang lainnya.
Begitu juga dengan ritel kecil atau warung di kampung-kampung, kini mereka  dihadapkan oleh gempuran ritel besar yang ada dan ritel besar yang mulai menyerbu kampung-kampung tersebut, seperti Indomaret dan Alfamart.Â
Kedua ritel besar dan atau ritel modern tersebut biasanya di kampung-kampung atau di RT-RT berdekatan bahkan terkadang berseberangan saja.Â
Tidak hanya itu, tetapi masih ada ritel besar yang juga berada tidak jauh dari Indomaret dan Alfamart yang berada di perkampungan tersebut, seperti di Palembang ada ritel besar Giant (pada saat belum tutup), ada Super Indo, dan ada JM Plaza.
Dengan demikian ritel kecil di kampung-kampung tersebut selain berjibaku melawan ritel besar yang lokasinya tidak jauh dari mereka tersebut, juga melawan ritel besar Indomaret dan Alfamart tersebut.
Sebaiknya apa yang harus dilakukan?
Pertama. Pemerintah sedapat mungkin mengambil kebijakan atau mengefektifkan kebijakan pembatasan jam operasional atau jam buka ritel modern  yang ada, misalnya boleh buka mulai jam 10.00 WIB dan harus tutup pukul 20.00 WIB.Â
Dengan demikian berarti, di bawah jam 10.000 WIB dan di atas pukul 20.00 WIB tersebut masyarakat/konsumen diberi kesempatan untuk berbelanja di toko ritel kecil usaha rakyat tersebut.Â
Namun, jika ritel modern tersebut diizinkan buka 24 jam alias sepanjang hari, peluang konsumen untuk berbelanja di toko ritel kecil usaha rakyat tersebut sudah tertutup.Â
Belum lagi dari aspek lain yang membuat konsumen enggan berbelanja di toko ritel kecil usaha rakyat tersebut.
Kedua. Pelaku ritel kecil usaha rakyat tersebut harus dapat memperbaiki tampilan. Jika selama ini kita tidak menghiraukan layout (tata letak) barang dagangan, maka mari kita mulai berbenah untuk merapikan layout barang dagangan kita.Â
Kita harus menyusun barang dengan rapi, menempatkan barang berdasarkan kelompoknya, dan usahakan ada pemisahan barang makanan  dengan barang yang harus dikhususkan, seperti sabun, deterjen, semprot  nyamuk, dan lainnya itu.
Ketiga. Pelaku ritel kecil usaha rakyat sedapat mungkin melakukan perbaikan dan peningkatan pelayanan.Â
Pelayan atau pedagang ritel kecil (warung) hendaknya berpakaian rapi (maaf bukan menggurui), warung pagi-pagi sudah harus dibuka, jangan sampai konsumen yang mau berbelanja memanggil kita, karena  warung belum kita buka. Kemudian cara  melayani konsumen harus baik, ramah, dan berikan pelayanan perima.
Kita sama-sama tahu, kalau di gerai ritel modern, mereka melayani dengan senyum dan ramah, sehingga mendorong konsumen betah berbelanja dan bahkan terdorong untuk mengulang berbelanja kembali. Hal seperti ini mengapa tidak kita lakukan juga pada warung kita.
Keempat. Pelaku atau pedagang kecil yang membuka warung tersebut harus yakin bahwa pangsa pasar atau pembeli tetap ada. Mengapa demikian?Â
Karena tidak semua konsumen akan berbelanja pada ritel modern yang ada di kawasan perkampungan tersebut dan atau tidak semua barang yang akan dibeli konsumen harus dibeli di Indomaret atau Alfamart. Tetapi ada sebagian konsumen yang memang mau berbelanja di warung usaha rakyat tersebut.
Contoh sederhana, jika konsumen yang akan membeli rokok tidak memiliki uang yang cukup dalam jumlah bungkusan, maka ia akan membeli rokok "ketengan" atau beberapa batang rokok saja.Â
Nah, dengan demikian berarti ia akan membeli rokok tersebut di warung, tidak membeli di Indomaret atau Alfamart, karena di sana hanya melayani pembelian rokok per bungkus.
Kelima. Pelaku usaha warung pun harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, saat ini bisnis digital sudah semakin marak atau pelayanan menggunakan media sosial.Â
Untuk itu tidak ada salahnya kalau pelaku usaha warung pun melakukan hal serupa, barang tentu dengan menyesuaikan dengan kemampuan yang ada. Misalnya, ada tetangga yang akan berbelanja tanpa datang ke warung tetapi, ia memesan melalui WA dengan maksud minta dianter ke rumah, maka sebaiknya kita penuhi.
Keenam. Pelaku usaha warung pun harus dapat memenuhi barang-barang yang diminta konsumen.
Sediakan barang yang diminta konsumen, bila perlu semua barang yang akan diminta konsumen kita sediakan walaupun unit-nya tidak disediakan dalam jumlah banyak.Â
Di sini muncul istilah, yang penting semua barang ada, walaupun dalam jumlah sedikit. Karena jika satu unit barang saja yang diminta konsumen tidak tersedia, maka ia akan membeli ke warung lain bahkan akan beralih ke ritel modern yang ada.
Terakhir, untuk mempertahankan warung usaha rakyat tersebut, dituntut peran kita selaku konsumen agar membantu mereka, dengan jalan masih tetap berbelanja ke warung dan di pihak pemerintah harus membantu dari berbagai aspek.
Selamat Berjuang!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H