Terlalu bahagia. Hanya dua kata itu yang bisa kulukiskan saat KTP pertamaku jadi. Membawa dompet tiba-tiba saja menjadi kebiasaanku. Bukan untuk menyimpan uang, tapi sebagai bingkai instan agar aku bisa memandangi kartu 'sakral' itu di mana saja. Akhirnya aku dewasa juga, batinku menyeringai. Dewasa berarti aku boleh keluar sendiri. Keluarnya juga bawa motor sendiri, bukan dibonceng seperti biasa. Kode '17+' juga sudah berlaku untukku. Itu artinya, film berkonten dewasa juga boleh kutonton. Peringatan yang biasa tertera di obat-obatan 'jauhkan dari jangkauan anak-anak' sudah tak berlaku lagi. Tanpa kusadari bibirku melebar hingga sebuah suara membuyarkan lamunanku.
"Joko! Lihat apa kamu?" Suara Pak Rudi nyaring sekali. Ternyata dia sudah ada di depanku.
"Ngg..nggak, Pak," gugupku sambil cepat-cepat memasukan dompet ke laci.
"Kamu nyontek? Sini!"
Bahkan di tengah ulangan Matematika sedang berlangsung, masih saja kusempatkan untuk memandangi kartu kebanggaan itu. Senyum-senyum sendiri pula. Tentu saja Pak Rudi curiga. Dengan paksa dia merebut apa yang sedang aku pegang.
"Oh, baru bikin KTP ternyata," sinisnya sambil memandangi dompetku. Dia terus bergumam. Sempat kutangkap suara beberapa anak terkikik geli.
"Kenapa? Bangga kamu? Merasa dewasa, hah?"
Aku hanya diam dan menunduk malu. Jumlah suara menahan tawa semakin bertambah.
"Jangan sombong kamu, Jok! Mau punya kartu apa aja, mau umur berapa aja, kalau kolom yang satu ini belum berubah berarti kamu masih anak-anak! Masih bayi! Tahu, nggak? Nih, BELUM KAWIN!" Ujarnya sambil membanting dompetku ke atas meja yang dibarengi tawa serentak seisi kelas. Suara mereka merontokkan khayalan-khayalanku tadi. Hatiku hancur, tapi membenarkan apa yang dikatakan Pak Rudi. Sekilas kutengok ke kiri, Vania masih saja terbahak. Gadis yang diam-diam kucintai ini sangatlah cantik. Ah, aku bersumpah akan menjadikanmu sebab perubahan status sialan itu. Aku akan mengawinimu.
***
"Mak, aku mau kawin," protesku sambil membuang tas sepulang sekolah.
Emak hanya melirikku. Seakan tak mendengar apa yang aku katakan. Dia masih saja khusyuk menonton televisi.
"Mak, aku mau kawin!" Kuulangi kalimatku kedua kalinya, kali ini lebih keras.
"Tadi pulang lewat mana kamu? Kesambet setan mana?" Jawaban emak semakin tidak nyambung bagiku.
"Pokoknya aku mau kawin!"
"Sana ngomong sama bapak! Biar dikawinin ama anak kambing!" Bentak emak.
Aku segera mendatangi bapak yang sedang sibuk dengan para pekerjanya. Suara berisik para perajin panci ini membuatnya menjadi agak budek. Aku harus berteriak lagak inspektur upacara untuk berbicara dengannya.
"Pak, aku mau kawin!"
"Apa?"
"Kawin!" Teriakku sambil menempelkan mulut ke telinganya.
"Apa?? Ngawi?? NGOMONG YANG JELAS!"
Kurebut kertas dan pulpen yang ada di tangannya. Segera kutulis dengan huruf besar : AKU MAU KAWIN!!!
Beberapa karyawan yang ada di samping bapak tampak tertawa meskipun tak kudengar suara tawa mereka karena tertutup berisiknya para perajin panci yang sedang bekerja. Wajah bapak memerah melihat tulisanku. Dikiranya aku main-main. Segera ditamparkannya kertas itu ke wajahku.
"Pulang sana! Jangan ganggu bapak! Minta kawin sama emakmu sana, atau kau kawin sendiri. Pergi merantau keluar kota, atau keluar negeri sekalian! Cari uang, kawin dengan uangmu sendiri! Dasar bocah!"
Kata 'bocah' yang dilontarkan bapak benar-benar membuatku sakit hati untuk yang kedua kalinya. Ucapan kalapnya itu tanpa disadari telah membuatku bertekad. Segera aku pulang, kurapikan pakaianku di dalam ransel. Aku akan pergi. Minggat sejauh mungkin. Kembali membawa uang sebanyak-banyaknya. Mengawini Vania, dan mengubah status brengsek yang tertera di KTP. Oh, iya. Aku tak melupakannya. Dompetku masih kubawa. Hanya saja kupenuhi uang ratusan ribu yang kuambil dari laci emak.
***
Enam tahun sudah aku pergi. Aku yang nekat minggat, akibat omongan bapak siang itu akhirnya kembali. Siapa sangka, setelah berhari-hari menjadi gelandangan di ibukota, seseorang menuntunku agar bekerja ke luar negeri. Ajakan itupun berhasil membawaku ke Taiwan. Dari bekerja di restoran makan, membersihkan jalan, menjaga toko, merawat tanaman hingga memandikan anjingpun aku lakukan. Sampai akhirnya majikan terakhirku hampir mengangkatku sebagai anak saking sayangnya padaku. Dirinya rela menghambur-hamburkan uang hanya untukku. Tapi aku lebih memilih menabungnya, dan hal itupun menjadikannya semakin menyayangiku. Hingga tepaksa aku meninggalkannya menangisi kepergianku kemarin, setelah hidup tiga tahun bersamanya. Aku pulang setelah tabunganku melebihi yang aku targetkan. Semuanya lebih dari dua milyar rupiah. Rekeningku sampai empat bank.
Kuketuk pintu rumah. Sepi sekali. Tak kudengar suara berisik panci. Apakah ini hari libur? Hingga beberapa kali pintu dibuka pelan. Seorang wanita tua keluar. Itu emak, kurus sekali. Pasti karena memikirkanku yang minggat bertahun-tahun ini.
"Cari siapa?" Tanyanya. Tentu saja dia melupakanku karena rambut kupanjangkan seperti artis F4. Brewokku juga benar-benar menutupi wajah asliku.
"Mak, Joko pulang," jawabku lirih.
Wanita itu spontan menangis dan memelukku. Tubuhnya lemas sambil menyumpah habis-habisan. Dipukulinya punggungku.
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah Vania, aku terus memikirkan bagaimana aku harus mengatur hartaku. Uangku akan kubagi dua, setengah untuk ibuku membeli rumah dan menghidupinya --karena bapak sudah wafat- , setengahnya lagi untuk menikah dan lain-lain. Tapi betapa terkejutnya aku ketika turun dari taksi, yang kulihat adalah tarub sepanjang jalan, dihiasi dengan janur kuning. Cepat-cepat aku turun. Bunga yang sudah kupegang di tangan terjatuh ketika melihat Vania berada di atas kuade memakai baju pengantin. Perlahan aku maju ke depan arah kuade. Necisnya baju yang kupakai membuat seluruh mata tertuju padaku.
"Ternyata kau masih bocah, Jok!" Suara mempelai pria memanggilku. Mataku terbelalak. Si tua bangka ini yang menikahi Vania. Orang yang membuat Vania menertawaiku enam tahun yang lalu. Ya, dia Pak Rudi. Tak menjawab, gemuruh amarah di dada membuat mataku gelap. Spontan kulayangkan tinjuan dan pukulan ke arahnya. Aku tak ingat apa-apa lagi hingga kudengar suara MC bergema.
"Mohon bersabar, ini ujian... mohon bersabar, ini ujian... "
Mekah, 30 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H