Mohon tunggu...
Ami Abeb
Ami Abeb Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Anak Rantau

Nulisnya nunggu mood.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lari

16 September 2017   06:17 Diperbarui: 17 September 2017   20:02 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://thewonderful7.blogspot.com/2013/01/status-kawin-lari-menurut-islam_2.html

Senyumnya tampak bahagia sekali. Bagaimana tidak, dua hari lagi adalah hari pernikahannya, saatnya dia menempuh hidup baru. Menghapus masa lalunya yang terlalu penuh dengan drama. Sesuai janji, pagi itu aku datang untuk menjenguk sekaligus menginap di rumahnya sampai hari H datang. Seakan aku bukan orang yang pernah menjadi masa lalunya sejak dia SMA. Hingga dua tahun yang lalu karena paksaan orang tuaku agar aku menikahi gadis pilihan mereka. Mereka melarang aku menikahi Dian, sepupuku sendiri.

Kutangkap sedikit perubahan senyum riangnya saat dia melihatku datang bersama istriku. Tapi Dian bisa menguasai keadaan, mimik bahagianya memancar kembali.

"Horee... Kak Aldo datang!" hebohnya, "Kak Fitri juga!"

Segera dia menghampiri istriku dan langsung memeluk kemudian cepika-cepiki. Dian tersenyum padaku. Terlihat iklas sekali, sepertinya dia sudah benar-benar merelakanku.

"Pokoknya lusa Kak Aldo iring-iring aku, ya!" katanya sok manis, "Jadi kaya kakak kandung lah!"

"Iya dong. Masa ke sini mau bawa lari kamu, Pinokio?" kelalarku.

Kami bertiga tertawa. Pinokio adalah ledekanku pada Dian dari kecil karena hidungnya yang mancung. Fitri tampak biasa saja karena dia tak tahu apa-apa tentang masa lalu kami berdua yang penuh kenangan manis dan pahit. Dian berjalan mengantarku melihat rumah besarnya yang sudah ditata dan penuh hiasan di sana sini. Paman Pram yang sedang sibuk menelpon, menghentikan teleponnya ketika melihatku datang dan langsung memelukku erat.

"Duh, anakku sing ganteng dhewe," bisiknya di telingaku.

Ada sedikit rasa penyesalan yang kutangkap dari suaranya. Dia masih mengharap aku yang menjadi menantunya. Tapi sikap keras kepala ayahku menghalangi keinginan adiknya ini, bukan hanya keinginanku.

"Ayo istirahat di kamar dulu! Paman udah siapin kamar khusus untuk kalian berdua," kata Paman Pram, "Dian gimana sih? Tamu baru dateng jauh-jauh disuruh keliling dulu!"

Dian yang diomelin hanya nyengir. Aku menggandeng Fitri menuju kamar yang dimaksud paman bersama Dian. Ternyata kamarku persis di sebelah kamar pengantin.

"Waduh, ntar aku salah masuk gimana?" gurauku lagi.

"Abang nakal, ah!" Fitri mencubitku. Tampaknya dia sedikit cemburu.

Lagi-lagi aku dan Dian tertawa. Tapi tetap saja tawa jujur yang kulihat di wajah Dian. Syukurlah, berarti dia sudah move on,batinku lega.

###

Kulihat Fitri terlelap di sampingku. Kelelahan pastinya, siang tadi ada acara happy-happy khusus wanita. Kata Dian, Fitri paling bersemangat. Ketika musik di play dia yang pertama kali nge-dance. Suaranya sampai habis buat teriak-teriak. Fitri kumat, kata Dian. Mungkin kalau ada bom sekarang wanita ini masih tetap ngorok.

Aku yang tak bisa tidur keluar dari kamar, pergi ke teras mencari angin. Sepi, semua penghuni rumah sudah di alam mimpi rupanya. Aku duduk di kursi sambil melamun, membayangkan masa laluku dengan Dian. Ah, aku masih mencintainya.

Sebuah sms masuk ke ponselku. Dian?

Jadi bawa kabur aku nggak?

 

Aku tersenyum segera kubalas sms itu.

Tidur sana, udah malem. Besok masih ada acara kan?

 

Tak sampai semenit balasannya sudah masuk.

Kalau jadi, lewat jendela belakang ya. Aku tunggu.

 

Aku tertawa. Tapi  setelah tawaku berhenti tak kusadari diriku sudah di jendela belakang kamarnya yang menghadap kebun. Kuketuk pelan jendela itu. Dian langsung membukanya. Bahkan pakaian khascalon pengantin masih melekat di badannya.

"Yuk," ajaknya.

"Ke mana?"

"Sejauh mungkin," jawabnya mantap. Benar-benar gila anak ini.

Dan ternyata aku tak kalah gila. Kubantu dia melompat keluar kamar. Kain yang dipakainya membuatnya susah untuk melompat. Saat itu dia terjatuh ke dalam pelukanku. Pandangan mata kami bertemu. Di situ aku melihat sorot matanya yang pernah kulihat beberapa tahun yang lalu. Sorot mata yang berkata 'jangan tinggalkan aku!'

Segera kugandeng dia mengendap menuju pintu belakang. Kami berdua berjalan jauh ke arah jalan raya. Bahkan jalanan pun sepi, seakan semua orang di kampung ini terkena ajian penyirep yang dipancarkan oleh cinta kami. Dian tertawa, aku juga. Kami tak berbicara apa-apa, hanya tawa yang mengiringi kami. Sampai kulihat sebuah taksi mendekat. Kuangkat tangan untuk menghentikannya.

"Bandara, Pak," kataku pada sopir taksi itu.

###

"Makan enak sudah, ke wahana sudah, berenang sudah, beli baju sudah, tinggal ngantuknya sekarang," kataku pada Dian, "tidurnya di rumah aja, ya?"

Dian cemberut seperti anak kecil yang akan diajak pulang ketika sedang asyik-asyiknya bermain. Kedua mata indahnya mulai berkaca-kaca.

"Pokoknya aku nggak mau pulang!" serunya sambil menempelkan wajahnya di dadaku, "bawa aku pergi, Kak. Aku sayang Kak Aldo, aku cinta, aku cuma mau Kak Aldo."

Dian mulai terisak. Sepanjang perjalanan kami dari semalam, aku tak pernah membuka omongan sama sekali tentang cinta dan masa lalu kami. Aku benar-benar seperti membawa anak kecil dan membuatnya gembira. Bukan seperti membawa kabur calon istri orang yang juga mantanku.

"Cup, cup... Udah dong. Iya Kak Aldo juga sayang Dian, masih seperti dulu. Nggak berubah sama sekali," hiburku sambil mengusap kepalanya, "tapi Dian harus ngerti juga, Dian sekarang udah dewasa, Dian udah punya calon, Kak Aldo juga udah punya istri. Udah, nggak apa-apa cuma mata kita berdua yang nangis sekarang. Jangan sampai kita bikin banyak mata menangis. Sekarang papi pasti lagi kebingungan nyari Dian. Kak Fitri juga pasti mikir aneh-aneh tentang aku. Sekarang pulang, ya?"

Tangisnya mereda. Kukecup lembut keningnya. Pelan-pelan kugandeng Dian ke pinggir jalan untuk menyetop taksi. Sebelum pagi kami harus sampai di rumahnya. Semalaman kami tidak tidur, bahkan tanpa menginap di hotel. Tubuhku serasa remuk, mungkin Dian juga. Tapi cinta memaksa kami untuk tidak merasakannya.

                                                                       ###      

Pukul sepuluh malam kami tiba di rumah. Paman Pram yang tampak terduduk lemas langsung bangkit melihat kami datang. Berlari memeluk Dian. Ajaibnya, dia tidak marah sama sekali padaku. Dengan lembut dia bertanya apa saja yang terjadi. Perlahan aku menceritakan semuanya, aku juga bersumpah bahwa Dian tidak kuapa-apakan. Bahkan kami tidak check in di hotel.  Paman Pram hanya tersenyum mendengar jawabanku.

"Ceraikan aku, Bang!"

Kulihat Fitri mendadak muncul di belakang Paman Pram. Aku terkejut, bingung harus bagaimana.

"Fit, aku nggak ngapa-ngapain! Sumpah!"

"Ceraikan aku! Gara-gara bang Aldo, Dian nggak jadi nikah, tau?! Barusan pihak pria batalin tunangannya!"

Aku terkejut setengah mati. Paman Pram hanya menunduk. Dian juga tampak kaget. Mata Fitri mulai menitikkan air mata.

###

Kususuri pantai ini. Di sini kenanganku dengan Dian berputar kembali. Dia pernah menguburku dengan pasir hingga kepalaku saja yang terlihat. Aku berteriak minta tolong tapi dia hanya tertawa dan mengambil fotoku beberapa kali. Sialan anak itu, kenangku. Aku duduk meluruskan kaki.

"Hap, tebak siapa?" seseorang menutup mataku dengan jarinya dari belakang.

"Mmm... bentar aku kenali dulu wanginya." Kuturunkan jari-jarinya pelan ke hidung, kuhirup harumnya kemudian kukecup tangan itu dengan bibirku.

"Pinokioo... " Aku berseru kemudian menarik tangannya ke depan dan langsung kuangkat tubuhnya. Wanita itu berteriak kegirangan. Aku berlari menggendongnya ke tengah pantai hingga tubuh kami tenggelam. Bulan madu yang benar-benar indah.

Mekah, 15 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun