Â
Tak sampai semenit balasannya sudah masuk.
Kalau jadi, lewat jendela belakang ya. Aku tunggu.
Â
Aku tertawa. Tapi  setelah tawaku berhenti tak kusadari diriku sudah di jendela belakang kamarnya yang menghadap kebun. Kuketuk pelan jendela itu. Dian langsung membukanya. Bahkan pakaian khascalon pengantin masih melekat di badannya.
"Yuk," ajaknya.
"Ke mana?"
"Sejauh mungkin," jawabnya mantap. Benar-benar gila anak ini.
Dan ternyata aku tak kalah gila. Kubantu dia melompat keluar kamar. Kain yang dipakainya membuatnya susah untuk melompat. Saat itu dia terjatuh ke dalam pelukanku. Pandangan mata kami bertemu. Di situ aku melihat sorot matanya yang pernah kulihat beberapa tahun yang lalu. Sorot mata yang berkata 'jangan tinggalkan aku!'
Segera kugandeng dia mengendap menuju pintu belakang. Kami berdua berjalan jauh ke arah jalan raya. Bahkan jalanan pun sepi, seakan semua orang di kampung ini terkena ajian penyirep yang dipancarkan oleh cinta kami. Dian tertawa, aku juga. Kami tak berbicara apa-apa, hanya tawa yang mengiringi kami. Sampai kulihat sebuah taksi mendekat. Kuangkat tangan untuk menghentikannya.
"Bandara, Pak," kataku pada sopir taksi itu.