Banyaknya masyarakat yang ikut serta dalam prosesi larungan sebagai bentuk rasa syukur, maka tradisi ini sekarang dilakukan menjadi dua bagian, bagian pertama dilakukan malam menjelang satu Suro dengan kegiatan lebih ditujukan untuk ungkapan rasa syukur kepada alam sesuai dengan tradisi sebelumnnya yang ada, sedangkan bagian kedua pagi hari tepat tanggal satu Suro yang kegiatanya lebih ditujukan untuk pariwisata dengan kegiatan setelah larungan terdapat hiburan tari-tarian dan musik dangdut dan tersedia kuliner yang beraneka ragam yang bisa dinikmati pengunjung.
Dari sisi prosesi akan terlihat budaya yang sudah ada sejak turun temurun. terdapat dua proses yang dilakukan masyarakat Ngebel yaitu Larungan dan Larung Sesaji, dari keduanya terdapat perbedaan dari sesaji dan doa.Â
Pada larung  ukuran sesajinya jauh lebih besar, terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya. Dalam larungan, sesajian sebagian besar diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan dan diadakan seperti doa bersama.Â
Sedangkan tradisi larung sesaji yang masih sakral menggunakan sesaji menggunakan tumpeng, buceng agung, bahkan kepala kambing untuk kemudian didoakan oleh para sesepuh sebelum ditenggelamkan di Telaga Ngebel.Â
Mengamati adanya kegiatan tambahan keesokan harinya pada kegiatan larungan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergesaran nilai dan norma tradisi lokal demi faktor pariwisata untuk pendapatan daerah.
Dalam melihat kegiatan Larungan Telaga Ngebel dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan yang menyebabkan kegiatan Larungan yang pada awalnya berlangsung secara penuh dengan nilai-nilai luhur tradisi dalam ungkapan terima kasih kepada alam yang diwujudkan dengan sedekah hasil bumi dan dilarung dalam telaga saat tengah malam.Â
Kegiatan tersebut diawali dengan penyembelihan kerbau dan dikubur dalam beberapa titik tertentu sebagai ungkapan persembahan kepada alam atas hasil bumi yang didapat.
Tidak lupa kegiatan tersebut juga merupakan ungkapan terima kasih kepada penguasa gunung dalam hal ini penguasa Gunung Wilis atas anugerah yang diberikan, telaga Ngebel lokasinya terletak didataran tinggi dengan hawa sejuk di kaki Gunung Wilis yang memiliki potensi hasil alam sepeerti teh, kopi, cokelat dan durian khas yaitu durian Ngebel.
Semakin berkembangnya zaman, muncul pro kontra terhadap tradisi larungan karena ada pihak yang mengakatan bahwa larungan merupakan kegiatan yang syirik karena memohon doa dengan cara melarung sesaji ke sebuah telaga.Â
Menyikapi hal tersebut, terjadilah pergeseran kegiatan yang awalanya hanya melarung sesaji dengan sakral dan tertutup kemudian berubah menjadi melarung sesaji dengan tambahan doa sebagai rasa syukur kepada Tuhan YME atas segala kemurahan sumber daya alam yang diberikan.
 Tradisi larungan zaman dulu harus sakral dan hanya beberapa orang saja boleh mengikuti seperti warga yang dituakan dalam desa, bahkan ada ketentuan untuk perempuan hanya yang belum menikah boleh mengikuti.