Mohon tunggu...
Amey fadhilah
Amey fadhilah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Pascasarjana IPS Universitas Jember

Ketertarikan saya terhadap kepenulisan berawal dari kebiasaan membaca majalah Horison milik saudara, setelah masuk SMA saya ikut ekstrakurikuler Jurnalistik menjadi tim berita. Kemudian saat kuliah S1 di Universitas Negeri Malang saya menjadi jurnalis kampus, pengalaman yang luar biasa bisa mengenal banyak sivitas akademi di kampus.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Agama dan Budaya: Tradisi Larungan Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo

26 Oktober 2024   22:45 Diperbarui: 27 Oktober 2024   08:10 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi : Amey KF

Pemilihan Telaga Ngebel sebagai tempat berlangsungnya larungan tidak terlepas dari mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Desa Ngebel dan warga Ponorogo pada umumnya bahwa telaga Ngebel masih dianggap memiliki tempat yang bertuah bahkan Bathoro Katong Adipati Ponorogo pertama pernah bertapa di sekitar air terjun yang tidak jauh lokasinya dari telaga Ngebel dan tempat tersebut diberi nama Kucur Bathoro yang sampai sekarang dianggap keramat dan sakral.

Warga Telaga Ngebel memliki legenda berkaitan dengan legenda terbentuknhya telaga ini, menurut mitos dahulu kala terdapat seorang patih yang sedang bertapa dan menjelma menjadi seekor ular naga. 

Ular naga tersebut dikenal dengan nama Baru Klinting. Ketika penduduk suatu desa hendak membunuh Baru Klinting, ular tersebut justru menjelma menjadi seorang anak laki-laki kecil. 

Orang-orang di sekitar Baru Klinting sangat meremehkannya sebab penampilan fisiknya yang buruk rupa. Singkat cerita Baru Klinting membuat sayembara, bagi siapa saja yang bisa mencabut lidi yang telah ditancapkan ke tanah maka akan mendapatkan hadiah. Akan tetapi ternyata tidak seorangpun yang mampu mencabut lidi tersebut. 

Satu-satunya yang dapat mencabut lidi tersebut adalah Baru Klinting sendiri. Setelah lidi tercabut, keluar air dari lubang yang ditimbulkan oleh lidi dan sumber air tersebut kian membesar dan menenggelamkan penduduk sehingga membentuk Telaga Ngebel. Oleh sebab mitos tersebut banyak masyarakat Ngebel yang percaya bencana yang seringkali terjadi di sekitar Telaga Ngebel haruslah dicegah dengan larungan sebagai pengganti korban jiwa manusia dengan mengorbankan hasil bumi.

Secara geografis, daerah sekitar Telaga Ngebel merupakan daerah subur yang sangat potensial. Iklim yang sejuk dan pengairan cukup menyebabkan tanah di sekitar Telaga Ngebel mampu menghasilkan berbagai macam tumbuhan pangan yang berpotensi ekonomis. 

Sebagai wujud syukur masyarakat Ngebel atas anugerah besar tersebut maka diselenggarakanlah tradisi larungan. Larung sesaji dapat diartikan menghanyutkan sesaji yang berisi hasil bumi dilakukan mempunyai tujuan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan yang telah memberi berkah kepada manusia, serta memohon perlindungan dan keselamatan kepada Tuhan

 

LARUNGAN TELAGA NGEBEL

Dalam kegiatan larungan Telaga Ngebel ada beberapa hal yang dilakukan, diantaranya :

  • Memandikan dan menyembelih kambing kendhit. Kambing kendhit merupakan simbol dari sesuatu yang istimewa sebagai persembahan. Hal tersebut yang melatarbelakangi pemilihan kambing kendhit sebagai persembahan pada prosesi larungan di Telaga Ngebel. Setelah kambing kendhit disembelih, darahnya dikumpulkan untuk dilarung di Telaga Ngebel.

  • Pelarungan darah kambing kendhit. Kegiatan melarung darah kambing kendhit  ke dalam Telaga Ngebel menjadi inti dari prosesi larungan. Persembahan yang diberikan masyarakat Ngebel dialirkan bersama air Telaga Ngebel yang dianggap sebagai berkah. Darah yang dilarung sebagai representasi rasa syukur dan hormat masyarakat Ngebel terhadap keberadaan Telaga Ngebel.

  • Penguburan kaki dan kepala kambing kendhit. Setelah pelarungan darah, kaki dan kepala kambing kendhit dikubur di dalam tanah. Bahkan kaki dan kepala kambing kendhit tersebut dibungkus kain kafan. 

  • Penguburan tersebut dimaksudkan agar persembahan yang telah diberikan dapat menyatu dengan tanah Telaga Ngebel.
  • Melarung gunungan berisi hasil bumi baik berupa sayur-sayuran dan buah-buahan pada malam hari yang harus dilakukan tepat pada pukul 24.00 WIB ke telaga oleh beberapa orang yang sudah terlatih. 

  • Keliling dengan jalan kaki tanpa alas kaki di jalan memutar Telaga Ngebel yang dilaukan pemuda Ngebel dengan membawa obor pada malam satu Suro

Serangkaian prosesi di atas hanya dilaksanakan dan diikuti oleh orang-orang tertentu khususnya warga Telaga Ngebel. Larungan di Telaga Ngebel dengan konsep tradisional tersebut tertutup untuk umum agar ketenangan dan kekhususkan dalam kegiatan terjaga dengan baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun