Semula saya menyangka, Pak Anies "alergi" meneruskan program gubernur sebelumnya. Apa pun itu. Tidak peduli program sebelumnya itu bermanfaat bagi warga Jakarta. Ternyata sangkaan saya keliru. Pak Anies mau juga melanjutkan program revitalisasi Monas yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Meski begitu, saya mencoba untuk tidak mengumbar nyinyir. Saya tidak mau ikut-ikutan meledek Pak Anies. Saya hanya ingin membentangkan fakta, itu pun seujung kuku, tentang revitalisasi Monas. Itu saja.Â
Mari kita sibak tiga perkara terkait revitalisasi Monas yang memicu gaduh. Kita mulai dari Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka.Â
Dalam Pasal 5 Ayat 1 (b) Kepres No. 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah DKI Jakarta disebutkan bahwa Komisi Pengarah bertugas "memberikan persetujuan terhadap perencanaan beserta pembiayaan pembangunan Taman Medan Merdeka yang disusun oleh Badan Pelaksana".
Kata kuncinya "persetujuan". Jadi, harus ada persetujuan Komisi Pengarah jika Badan Pelaksana mau mengutak-atik Monas. Kalau Komisi Pengarah tidak setuju, Badan Pelaksana tidak boleh bandel. Apalagi membangkang. Begitulah aturan mainnya.
Siapa saja yang termasuk dalam Komisi Pengarah? Kita bisa melihat keanggotaan Komisi Pengarah dalam Pasal 4 di Kepres tersebut. Komisi Pengarah diketuai oleh Menteri Sekretaris Negara. Anggotanya terdiri atas (1) Menteri PU, (2) Menteri Lingkungan Hidup, (3) Menteri Perhubungan, (4) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, (5) Menteri Pariwisata, dan (6) Gubernur DKI Jakarta yang merangkap selaku sekretaris.
Apakah Pak Anies merevitalisasi Monas atas persetujuan Komisi Pengarah? Basuki Hadimuljono, dinukil Kompas.com, menyatakan bahwa revitalisasi Monas dikerjakan tanpa izin atau persetujuan Komisi Pengarah baru terjadi pada era Gubernur Anies. Pendapat Menteri PUPR itu menegaskan bahwa gubernur sebelumnya selalu minta izin.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, ikut menanggapi. Menurut beliau, dilansir Detik.com, revitalisasi Monas yang sedang dikerjakan tidak sesuai dengan prosedur. Dengan kata lain, ada tahapan yang dilangkahi atau diabaikan oleh Gubernur DKI Jakarta.
Kemudian, pohon yang ditebang semaunya dan tidak jelas ke mana rimbanya. Padahal, keberadaan pohon-pohon di kawasan Monas bukan sekadar pengindah atau penyejuk mata. Ada fungsi lain yang sangat vital bagi warga Jakarta, yaitu sebagai "paru-paru kota".
Puluhan tahun pepohonan di kawasan Monas menjadi teman setia bagi warga Jakarta dalam menyaring polusi. Selain itu, pepohonan di kawasan Monas berperan dalam upaya menyerap air. Ini cocok dengan slogan "air itu masuk ke tanah" dan bukan dialirkan ke laut yang, menurut Pak Anies, melanggar sunatullah.
Terakhir, hamburan komentar terhadap Pak Anies yang "pedas".
Terlepas dari "kemungkinan keliru secara administratif", akibat lalai meminta izin, tampak bahwa komentar-komentar yang ditujukan kepada Jakarta-01 banyak yang sangat menyudutkan. Padahal tidak ada di antara kita yang benar-benar tahu detail rencananya, belum pernah melihat maketnya, atau mengetahui akan seperti apa hasil akhirnya.
Berkaitan dengan fakta tersebut, mestinya kita pasang rem agar tidak nyinyir berlebihan. Jangan sampai memang rancangan perbaikannya keren, kemudian malah pasukan penyinyir yang paling duluan nongkrong di Monas ketika recitalisasi kelar. Kalau itu terjadi, potensi bumerang bisa saja terjadi.
Di sinilah pentingnya "pasang rem" itu. Meskipun pada hakikatnya kita semua paham bahwa Pak Anies butuh kritik, baik dari para pengagumnya maupun dari para pencelanya. Saya percaya, Pak Anies tidak antikritik. Buktinya beliau tetap tersenyum sekalipun kerap menjadi sasaran cemoohan.
Kiranya tiga fakta di atas sudah cukup.Â
Sekarang tinggal kebesaran hati Badan Pelaksana untuk tidak sembarangan menebang pohon di kawasan Monas. Artinya, harus ada perhitungan matang apabila Badan Pelaksana mau menebang pohon. Jangankan sepuluh, sebatang pohon saja harus ditimbang masak-masak.
Faktanya mengenaskan. Bukan cuma sebatang, melainkan 205 batang. Angka ini saya pulung dari Kompas.com. Saya memilih angka tersebut karena tercengang. Kompas.com menemukan fakta bahwa nasib ratusan pohon yang ditebang itu tidak ketahuan berada di mana.
Isa Sanuri, Kepala UPT Monas, menegaskan bahwa tidak semua pohon ditebang. Pohon yang masih kuat dan bagus akan dipindahkan. Dipindahkan ke mana? Jejaknya tidak ditemukan. Kalau benar dipindahkan pasti ada jejak pemindahan. Kendatipun akan diganti dengan pohon baru, butuh puluhan tahun untuk menunggu ratusan pohon pengganti itu tumbuh rimbun dan besar.
Kecuali Pak Anies punya kesaktian semacam kedigdayaan Bandung Bondowoso. Jika Bandung Bondowoso sanggup membangun seribu candi dalam semalam, siapa tahu Pak Anies mampu menumbuhkan ratusan pohon yang tingginya puluhan meter hanya dalam satu kedipan mata.
Dalam hal izin, saya masih berharap Pak Anies tidak terlalu menonjolkan kesaktian dengan terus "meledek" aturan. Tinggal menyapa enam menteri anggota Komisi Pengarah. Ajak minum kopi sambil mempresentasikan rancangan revitalisasi. Jangan tanggung-tanggung, enam menteri harus diberi tahu hingga ke bagian paling kecil.
Harapan ini tidak ada kaitannya dengan "gubernur seiman" yang kerap dilontarkan sebagian warganet. Memang benar, Pak Anies terpilih karena yang memilih beliau lebih banyak dibanding yang memilih Pak Ahok. Akan tetapi, warga Jakarta yang tidak memilih beliau punya hak yang sama dan setara untuk didengarkan jeritan hatinya.
Bagi saya, pemimpin wilayah adalah milik seluruh warga di wilayah yang dipimpinnya, baik yang memilih maupun tidak. Pemimpin terpilih tidak boleh main pilih kasih: yang memilih dielus-elus, yang tidak memilih dijauhi. Jika itu terjadi, tiada guna macam-macam pemilukada digelar.
Warga Jakarta yang semasa pilgub tidak memilih Pak Anies, tidak perlu juga berkecil hati. Rasa tidak puas pasti ada. Namun, sebaiknya menahan diri dari keinginan mencaci maki. Kritik perlu, pedas boleh, asalkan tidak main fisik. Apalagi sampai membawa-bawa ras asal leluhur Pak Anies.Â
Dengan demikian, patutlah kiranya semua pihak "menyembunyikan kuku dulu". Terutama Pak Anies. Kalau bisa seluruh kesaktian yang dimiliki disimpan dulu, termasuk "kesaktian merangkai kata".
Sebaiknya Pak Anies meluangkan waktu untuk bersantai di sudut-sudut teduh di pelataran Monas dan merenungkan saran-saran warganet. Yang baik diambil, yang berguna diserap.
Salah satu "sodokan" yang patut direnungkan datang dari Walhi, seperti lansiran Kompas.com, terutama dalam hal ruang terbuka hijau. Saya juga berharap, Pak Anies membuka sanubari agar kian peka terhadap situasi Jakarta. Sebab, Pak Anies terkenal sebagai "gubernur rasa presiden".
Amel Widya
Rujukan:
Kepres RI No. 25 Tahun 1995
Revitalisasi Monas Tak Kantongi Izin
Revitaliasi Monas Tak Sesuai Prosedur
205 Pohon di Monas Ada di Mana?
Walhi Desak DPRD DKI Jakarta Bergerak Hentikan Revitalisasi Monas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H