Tatkala banyak orang berpikir bahwa perempuan harus setia, hati saya menjerit. Mengapa selalu perempuan yang mesti setia? Dalam cerpen "Dulu Aku Menyusu di Payudara Ibumu", terlepas dari haram atau halal apa yang tokoh utamanya lakukan, saya menabuhkan gagasan tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki.Â
Jika perempuan mesti setia dan berbakti, laki-laki juga seharusnya begitu. Kalau laki-laki boleh tidak setia dan berpaling, kenapa perempuan harus dinista apabila melakukan hal yang sama?
Tatkala melihat fenomena betapa mudah kita menjadi hakim bagi orang lain, termasuk di media sosial, hati saya pedih sekali. Kepedihan itu saya tumpahkan ke dalam puisi "Hakim di Kepala Tetangga". Â
Betapa mudah kita menjadi hakim bagi orang lain? Siapakah kita sehingga merasa berhak menghakimi orang lain? Betapa mudah kita menjatuhkan cap buruk kepada orang lain. Apakah kita lupa bahwa kita juga punya kemungkinan berbuat kesalahan?
Tatkala menonton atau membaca berita tentang perempuan yang lemah, hati saya meradang. Apakah perempuan harus selalu pasrah pada nasibnya?Â
Apakah perempuan tidak boleh memberontak atas ketidakadilan yang menimpa dirinya? Dua pertanyaan itu mengantar imajinasi saya ke dalam bait puisi, kemudian lahirlah puisi "Ekor Matanya Sebatang Pensil Warna".
Saya sengaja memilih tema tentang perempuan yang ringan-ringan saja, tema sehari-hari yang dapat dengan mudah kita temukan di pasar, di kampus, di kantor, atau di mana saja.Â
Apa pun tulisan saya, percaya saja, semua berawal dari dogma sederhana: menulis saja dulu. Jika teman-teman mau mengunjungi lapak tulisan fiksi saya, silakan mampir di label #berandaberahi.
Entah dari mana dan bagaimana awalnya, nama saya terjaring sebagai nomine dalam kategori Best Fiction untuk Kompasianival 2019. Padahal, saya tidak serajin yang lain dalam memajang tulisan di Kompasiana.Â
Tentu saja saya berterima kasih sepenuh hati kepada siapa saja yang telah mendorong perahu menulis saja dulu itu agar terus berlayar.
Maka dari itu, Mbak-mbak dan Mas-mas Kompasianer, terima kasih sudah rela meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya, mengeja kegelisahan saya, dan mencerap gagasan saya.Â