Hari ini saya masih menulis karena cinta saya pada dunia kata tidak pernah pupus. Sesibuk apa pun, serepot apa pun, saya berusaha menyisihkan waktu untuk menulis. Kadang sekadar catatan ringan di atas selembar kertas, kadang  berupa letupan puisi yang saya simpan di ponsel.Â
Ada rasa bahagia yang tidak terukur setiap kali saya menyelesaikan tulisan. Bahkan saya memberanikan diri untuk mengikuti perlombaan-perlombaan menulis.Â
Saya tidak mengincar hadiahnya, tetapi membidik apakah tulisan saya layak dipertarungkan atau tidak. Kadang-kadang menang, kadang-kadang kalah. Sekalipun sering muncul rasa kesal kalau dikalahkan justru oleh tulisan yang berantakan, seperti bocah yang wajahnya celemotan karena asal suap makanan.
Setelah melewati pintu menulis karena suka, saya mencanangkan dogma baru dalam menulis. Menulis saja dulu. Saya bukan orang pertanian, tetapi saya terangsang menulis tentang pertanian. Ladalah, dapat juara pertama di Kementan RI-Kompasiana.Â
Saya bukan orang ekonomi, walaupun aktivitas sehari-hari saya berkaitan erat dengan keuangan, tetapi gairah saya meledak-ledak untuk menulis tentang ekonomi.
Bagaimana dengan teknik menulis? Kembali lagi pada "cermin filosofis bayi" tadi. Saya tentu mempelajari teknik menulis. Semua sisi saya pelajari.Â
Dari hal remeh seperti kaidah ejaan hingga hal ruwet seperti kecerdasan gramatikal. Dari perihal enteng seperti penempatan tanda baca hingga perkara berat seperti gaya tulisan. Semuanya saya tekuni karena saya berangkat dari suka dan cinta.
Pada fase awal mencari gaya menulis, saya memakai taktik amati, tiru, dan modifikasi. Saya juga menanam bibit prinsip: kalau orang bisa mengapa saya tidak bisa! Taktik dan prinsip itulah yang membentuk gaya menulis saya. Terbentuk setelah saya melewati hari-hari "yang berkeringat".Â
Hasilnya sungguh menyenangkan. Saya merasa telah menemukan gaya sendiri. Gaya yang khas dan berbeda dari gaya menulis para idola saya.
Jika teman-teman berkeliaran membaca tulisan-tulisan saya di Kompasiana, teman-teman niscaya akan merasakan cita rasa berbeda.Â
Saya memang mengulik segala hal tentang perempuan, dari berbagai sisi dan dengan bermacam sudut pandang, tetapi saya meneropongnya dari kacamata "perasaan si aku". Begitu gaya pilihan saya dalam menulis fiksi, terutama cerpen dan puisi.