Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis Saja Dulu: Perjalanan Sebuah Dogma

7 November 2019   22:07 Diperbarui: 9 November 2019   10:00 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Saya percaya, tidak ada sesuatu yang benar-benar gampang dilakukan. Bahkan makan saja butuh proses dan waktu agar bisa menyuap atau mengunyah sendiri. Bayi tidak serta merta mampu menghabiskan sepiring nasi lengkap dengan peretelannya. 

Mula-mula hanya mengonsumsi air susu ibu, kemudian makanan yang dihaluskan, baru perlahan-lahan menikmati makanan yang bertekstur keras dan dalam porsi lebih banyak. 

Itu pun masih harus dikunyahkan dan disuapi dulu. Jika ada bayi yang langsung cekatan menyuap dan mengunyah sendiri, ia pasti bayi ajaib.

Saya pun percaya, menulis juga kurang lebih seperti itu. Sehebat apa pun seorang penulis, ia pasti pernah melewati masa belia di dunia tulis-menulis. 

Penulis yang sekarang dapat dengan mudah menyelesaikan tulisan, dari beberapa halaman hingga ratusan halaman, pasti pernah mengalami masa-masa "bayi" dalam menulis. 

Barangkali ia punya banyak tulisan pada masa lalu yang disimpan rapat di komputernya, tulisan yang berantakan dan sangat tidak ramah baca, tetapi disimpan sebagai kenang-kenangan bahwa ia pernah menjalani proses belajar menulis, seperti bayi pernah belajar secara alamiah mengunyah dan menelan makanan.

Bagaimana dengan pengalaman saya berproses dalam belajar menulis? Ya, seperti bayi. Ada sisi yang saya pelajari secara alamiah, ada sudut teknis yang mati-matian saya selami, ada pojok santai dari rimba kata yang saya biarkan mengalir saja seperti air. Fondasi kepenulisan saya bukanlah sesuatu yang sangat serius. 

Mula-mula sekadar suka, meskipun bukan iseng-iseng. Setelah itu, baru pelan-pelan saya amati gaya beberapa penulis idola saya. Dan, jreng, dari sanalah fondasi itu mulai mendapatkan lantai, dinding, dan atap. Bahkan lambat laun sudah mulai ada kamar-kamar di dalamnya, seperti kamar fiksi, kamar nonfiksi, dan kamar faksi.

Jadi, sekali lagi, saya memasuki dunia menulis dari pintu yang saya namai menulis karena suka. Ya, saya menulis karena suka dan dari suka lahirlah cinta. 

Hasilnya, saya makin jatuh cinta pada dunia menulis. Jika hari ini saya membaca ulang tulisan saya semasa SD atau SMP, pipi saya mendadak panas dan memerah. 

Sebagian hati saya dipenuhi rasa malu karena pernah menulis dengan amat awut-awutan, sebagian lagi dipenuhi rasa haru karena bangga pada kesukaan yang kemudian berubah menjadi kecintaan.

Hari ini saya masih menulis karena cinta saya pada dunia kata tidak pernah pupus. Sesibuk apa pun, serepot apa pun, saya berusaha menyisihkan waktu untuk menulis. Kadang sekadar catatan ringan di atas selembar kertas, kadang  berupa letupan puisi yang saya simpan di ponsel. 

Ada rasa bahagia yang tidak terukur setiap kali saya menyelesaikan tulisan. Bahkan saya memberanikan diri untuk mengikuti perlombaan-perlombaan menulis. 

Saya tidak mengincar hadiahnya, tetapi membidik apakah tulisan saya layak dipertarungkan atau tidak. Kadang-kadang menang, kadang-kadang kalah. Sekalipun sering muncul rasa kesal kalau dikalahkan justru oleh tulisan yang berantakan, seperti bocah yang wajahnya celemotan karena asal suap makanan.

Setelah melewati pintu menulis karena suka, saya mencanangkan dogma baru dalam menulis. Menulis saja dulu. Saya bukan orang pertanian, tetapi saya terangsang menulis tentang pertanian. Ladalah, dapat juara pertama di Kementan RI-Kompasiana. 

Saya bukan orang ekonomi, walaupun aktivitas sehari-hari saya berkaitan erat dengan keuangan, tetapi gairah saya meledak-ledak untuk menulis tentang ekonomi.

Bagaimana dengan teknik menulis? Kembali lagi pada "cermin filosofis bayi" tadi. Saya tentu mempelajari teknik menulis. Semua sisi saya pelajari. 

Dari hal remeh seperti kaidah ejaan hingga hal ruwet seperti kecerdasan gramatikal. Dari perihal enteng seperti penempatan tanda baca hingga perkara berat seperti gaya tulisan. Semuanya saya tekuni karena saya berangkat dari suka dan cinta.

Pada fase awal mencari gaya menulis, saya memakai taktik amati, tiru, dan modifikasi. Saya juga menanam bibit prinsip: kalau orang bisa mengapa saya tidak bisa! Taktik dan prinsip itulah yang membentuk gaya menulis saya. Terbentuk setelah saya melewati hari-hari "yang berkeringat". 

Hasilnya sungguh menyenangkan. Saya merasa telah menemukan gaya sendiri. Gaya yang khas dan berbeda dari gaya menulis para idola saya.

Jika teman-teman berkeliaran membaca tulisan-tulisan saya di Kompasiana, teman-teman niscaya akan merasakan cita rasa berbeda. 

Saya memang mengulik segala hal tentang perempuan, dari berbagai sisi dan dengan bermacam sudut pandang, tetapi saya meneropongnya dari kacamata "perasaan si aku". Begitu gaya pilihan saya dalam menulis fiksi, terutama cerpen dan puisi.

Tatkala banyak orang berpikir bahwa perempuan harus setia, hati saya menjerit. Mengapa selalu perempuan yang mesti setia? Dalam cerpen "Dulu Aku Menyusu di Payudara Ibumu", terlepas dari haram atau halal apa yang tokoh utamanya lakukan, saya menabuhkan gagasan tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki. 

Jika perempuan mesti setia dan berbakti, laki-laki juga seharusnya begitu. Kalau laki-laki boleh tidak setia dan berpaling, kenapa perempuan harus dinista apabila melakukan hal yang sama?

Tatkala melihat fenomena betapa mudah kita menjadi hakim bagi orang lain, termasuk di media sosial, hati saya pedih sekali. Kepedihan itu saya tumpahkan ke dalam puisi "Hakim di Kepala Tetangga".  

Betapa mudah kita menjadi hakim bagi orang lain? Siapakah kita sehingga merasa berhak menghakimi orang lain? Betapa mudah kita menjatuhkan cap buruk kepada orang lain. Apakah kita lupa bahwa kita juga punya kemungkinan berbuat kesalahan?

Tatkala menonton atau membaca berita tentang perempuan yang lemah, hati saya meradang. Apakah perempuan harus selalu pasrah pada nasibnya? 

Apakah perempuan tidak boleh memberontak atas ketidakadilan yang menimpa dirinya? Dua pertanyaan itu mengantar imajinasi saya ke dalam bait puisi, kemudian lahirlah puisi "Ekor Matanya Sebatang Pensil Warna".

Saya sengaja memilih tema tentang perempuan yang ringan-ringan saja, tema sehari-hari yang dapat dengan mudah kita temukan di pasar, di kampus, di kantor, atau di mana saja. 

Apa pun tulisan saya, percaya saja, semua berawal dari dogma sederhana: menulis saja dulu. Jika teman-teman mau mengunjungi lapak tulisan fiksi saya, silakan mampir di label #berandaberahi.

Entah dari mana dan bagaimana awalnya, nama saya terjaring sebagai nomine dalam kategori Best Fiction untuk Kompasianival 2019. Padahal, saya tidak serajin yang lain dalam memajang tulisan di Kompasiana. 

Tentu saja saya berterima kasih sepenuh hati kepada siapa saja yang telah mendorong perahu menulis saja dulu itu agar terus berlayar.

Maka dari itu, Mbak-mbak dan Mas-mas Kompasianer, terima kasih sudah rela meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya, mengeja kegelisahan saya, dan mencerap gagasan saya. 

Terima kasih pula jika berkenan memilih saya, alias nge-vote saya di tautan Kompasianival Award 2019, sebab hanya terima kasih yang dapat saya haturkan kepada kalian.

Jadi, menulis saja dulu.

Amel Widya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun